Di suatu sore tatkala sinar mentari senja mulai membias jingga, Popo si cacing tanah bergegas naik ke permukaan tanah untuk melihat matahari tenggelam yang sangat ia suka. Di seberang sana, di bawah pohon, lagi-lagi Popo lihat lelaki tua dengan pakaian yang lusuh itu masih diam mematung. Ini sudah hari kelima, batin Popo. Siapakah dia?
Dengan rasa penasaran dan agak takut, Popo bergerak pelahan menghampiri si pria tua.
“Anu … permisi?” ujar Popo. Tak ada tanggapan. Apakah dia mati? Batin Popo lagi. “Anu … permisi?” Popo mengulang sapaannya.
Dengan perlahan, lelaki tua itu membuka matanya. Ia mencari kesana kemari sumber suara yang baru saja ia dengar. Tapi ia tak melihat siapapun. “Suara siapakah ini?” tanyanya dengan khidmat.
“Ini saya,” jawab Popo. Si lelaki tua masih belum menemukannya.
“Di bawah sini, Bapa,” kata Popo sambil sedikit mengeraskan suaranya. Lelaki tua itu menoleh ke sebelah kirinya, mencari sumber suara di antara rerumputan.
“Ah, apakah itu kamu?” tanyanya saat melihat seekor cacing tanah di balik naungan rumput di samping lutut kiri sang lelaki tua.
“Iya, Bapa, ini saya,” jawab Popo.
“Ada apa anakku? Apa ada yang bisa kubantu?” tanya lelaki tua itu lagi.
Popo menggeleng. “Tidak, Bapa. Saya kemari hanya penasaran, Bapa sudah duduk disana selama lima hari. Saya hanya takut Bapa telah mengalami sesuatu yang buruk.”
“Oh, beruntungnya aku. Makhluk kecil ini mengkhawatirkanku. Tapi tenang saja, anakku, tidak akan ada hal yang buruk yang akan terjadi padaku,” jelas lelaki tua itu dengan senyuman lembut.
“Syukurlah kalau begitu. Aku takut jika anda mati disini.”