Ray
“Apa lo lihat-lihat?” wanita paruh baya itu berteriak kepada lelaki kurus dengan pakaian lusuh yang berdiri di samping mobil mewah si wanita.
“Saya cuma mau ibu minta maaf. Apa susahnya sih?” kata lelaki itu.
“Ih, minta maaf buat apa? Saya gak salah apa-apa!” wanita itu masih tetap kukuh sambil melototi si lelaki.
“Ya, ibu tadi ngapain mendorong adik saya? Dia sampai jatuh begitu. Emang adik saya salah apa?” lelaki itu tidak mau kalah, mulai ikut berteriak.
“Eh, ya salah adik lu lah! Anak kecil tuh sekolah, yang bener. Biar bisa jadi orang kaya. Bukannya malah ngamen di pinggir jalan. Sekolah, biar tahu sopan santun, tata krama. Dih, mau jadi apa bangsa ini kalau anak mudanya sampah semua kayak gini,” kata wanita itu dengan nada agak tinggi.
Aku adalah orang yang sebenarnya sangat tidak peduli dengan urusan orang seperti ini. Tapi perkataan ibu itu benar-benar membuatku muak. “Justru negara ini gak butuh orang kayak ibu yang suka semena-mena dan gak punya empati. Sebelum berbicara tolong berkaca dulu, Bu,” kataku tiba-tiba ikut nimbrung.
“Eh, siapa lo ikut-ikutan?” ibu itu makin marah. Yah, aku sudah menebak kalau hal ini akan terjadi.
“Udah Bang, sampai mati juga gak bakal mau minta maaf dia,” kataku kepada lelaki itu, seraya mencoba mengajaknya menjauh. Cih. Orang-orang disekitar hanya melihat, tanpa mau berbuat apa-apa. Mereka pikir ini tontonan topeng monyet, apa. Bahkan ada beberapa orang yang malah merekam pertengkaran ini dengan ponselnya. Semua sama saja.
Lelaki itu berusaha menolak ajakanku. Tapi ibu-ibu itu lalu menatap kami dengan senyum dan tatapan sinis, sebelum akhirnya masuk ke dalam mobilnya dan melacunya pergi dengan kecepatan tinggi.
“Maafin aja Bang orang kayak gitu,” ujarku kemudian.