Re:
“Halah alasan.”
Dua kata yang membuat saya mengalami overthink lagi barusan. Banyak dari kita yang sering mendengar kata itu, atau bahkan mungkin menjadi orang yang mengucapkannya sendiri. Dua kata, yang pernah membuat saya sakit hati. Tapi tentu saja saya tidak akan menceritakannya disini.
Ketika dihadapkan pada sebuah situasi tertentu, lalu kita mendapati kata “halah alasan” terlontar dari mulut seseorang dan ditujukan kepada kita, bagaimana seharusnya kita merespon?
Ketika diberikan sebuah pertanyaan, tentu saja sudah sepatutnya kita menjawab. Lalu kemudian si pemberi pertanyaan tidak menerima jawaban kita, dan berdalih bahwa itu ‘hanyalah alasan’ yang kita buat. Tetapi saat kita mendapat pertanyaan, maka jawaban yang kita berikan itu bukankah sama saja dengan sebuah alasan? Sayangnya, ketika kata “alasan” itu ditambahi dengan kata “halah” di depan, kok, rasanya seperti sedang diremehkan atau tidak dipercayai, ya?
Apakah ini hanya perasaan saya saja yang berlebihan?
Atau ada juga yang merasa sama?
Ray
Bapak-bapak itu memandangiku terus dari atas ke bawah, seolah-olah aku ini kriminal yang kedapatan nyolong ikan teri di empangnya. Well, gak ada yang pelihara ikan teri di empang. Tapi mari kita flashback 1 jam yang lalu:
Namanya Pak Har, tetanggaku sebelah kiri rumah pas. Punya sebuah warung kecil yang menjual aneka kebutuhan sehari-hari di depan rumahnya. Tapi aku tidak pernah mau membeli barang disana, nanti kalian akan tahu alasannya.
Kalau aku sedang butuh sesuatu dan tidak terlalu banyak barang yang ingin ku beli, aku biasanya lebih memilih untuk pergi ke tokonya Koh Im yang super lengkap dan selalu dijual dengan harga grosir itu meski aku belinya eceran. Kalau aku sedang butuh banyak barang, aku baru akan ke department store atau mall sekalian cuci mata.