Re:

AvaRe
Chapter #12

Dongeng 11 - Diam Saja

Ray

Gadis itu masih terus menangis sesenggukan. Mbak Rara terus mengelus-elus punggungnya, sambil mengatakan kata-kata penyemangat. 

“Aku mau mati aja, gak kuat,” kata gadis itu disela tangisannya.

Hush! Omonganmu! Gak boleh ngomong begitu, lah,” kata Mbak Rara menanggapi.

Gadis itu bernama Asmi, sepupu jauhnya Mbak Rara, yang datang kesini kemarin dari luar kota. Alasannya: kabur. Ia mengatakan gak kuat dipaksa nikah oleh orangtuanya karena usianya yang sudah hampir kepala tiga.

Disisi lain ruangan, ada aku, yang juga sedang menghadapi kasus yang hampir sama. Bukan, aku tidak sedang dalam posisi seperti Asmi yang depresi karena dipaksa untuk segera menikah, tapi aku sedang diposisi mirip seperti Mbak Rara yang sedang berusaha menenangkan seseorang yang curhat ingin mati. Entah sejak kapan studio tato kecil ini berubah jadi lembaga konsultasi psikologi ala-ala, yang tentu saja, sangat tidak profesional karena dipenuhi oleh orang-orang slenge’an dan gak jelas, yang sering dipandang negatif oleh masyarakat.

“Terus aku harus gimana, Ra?” suara Asmi terdengar lemah. “Aku gak mau pulang, aku gak mau nikah,” lanjutnya.

“Kamu udah coba bicarakan baik-baik? Jelasin alasanmu?” tanya Mbak Rara. 

“Percuma, Ra, mereka gak bakal mau denger. Mereka itu kolot! Nanti pasti bawa-bawa alasan bikin malu keluarga lah, malu sama tetangga lah, bawa-bawa agama lah, bawa-bawa anak durhaka lah, muak aku Ra,” balas Asmi sambil sedikit emosi. Dan begitulah percakapan mereka sejak tadi, berputar-putar disana terus, entah kapan bisa menemui titik terang.

Bukannya aku tidak peduli dengan masalah Asmi—walau sebenarnya aku memang berusaha untuk tidak peduli sih—tapi karena anak dihadapanku ini, juga dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

“Bang, dengerin gak?” tanya Haze membuyarkan lamunanku. “Eh, iya. Apa? Lu ngomong apa?” tanyaku, yang mendapat balasan decakan dari bocah bernama Haze itu.

Umurnya baru akan 18 tahun. Siswa tahun akhir SMA, yang kebetulan sekolahnya adalah SMA ku yang dulu. Jadi bisa dibilang, Haze ini adik kelas jauhku. Ini anak lumayan ganteng, lebih ganteng dari diriku—ehem.

Tampangnya blasteran entah bule atau apa aku juga gak yakin, tapi yang jelas tampang blasteran pokoknya, dengan tinggi badan yang lumayan untuk ukuran anak SMA pada umumnya. Haze ini, adalah satu-satunya makhluk hidup berwujud manusia yang tahu identitas hantu bernama Re yang sebenarnya. Bagaimana ceritanya? Kapan-kapan saja kalau ingat. Karena saat ini ada masalah yang lebih penting.

“Aku harus gimana ini Bang? Aku gak mau di DO lah, ujian akhir buat kelulusan tinggal dua bulan lagi. Yakali masa aku di DO? Please, cariin solusi …” rengek Haze. Aku hanya bisa bersedekap sambil menghela napas. Bahkan aku sampai lupa rokokku yang kunyalakan tadi, kini sudah hampir habis di atas asbak  tanpa sempat kuhisap.

Mungkin ada dari kalian yang berpikir, memangnya anak SMA seperti Haze sedang dalam masalah apa sih? Palingan juga masalah anak-anak ABG seperti biasa, maka, kalian salah. Masalah yang sedang dihadapi Haze ini jauh lebih rumit, bahkan membuat diriku sendiri merasa pusing dibuatnya.

Karena aku anak tunggal, dan aku tinggal sendirian, ditambah Haze adalah satu-satunya yang mengetahui kedok topengku, aku merasa hubunganku dengan Haze ini cukup dekat seperti saudara. Ya, dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Itulah kenapa, aku bisa merasa segalau ini memikirkan masalah orang. Benar-benar tidak seperti diriku.

Aku sebenarnya ingin menceritakan siapa itu Haze, tapi kusuruh dia saja yang bercerita sendiri. Karena kurasa cerita ini terlalu personal jika aku yang adalah orang lain yang menceritakannya.

Haze

Manusia adalah mahluk yang paling menjijikkan di dunia.

Mereka berbicara bak malaikat, tetapi sambil menyembunyikan sosok iblis sejatinya.

Manusia adalah makhluk paling rumit di dunia.

Bersikap seolah peduli, tetapi tak lain hanya sebagai bentuk pemuas ego sendiri.

Lihat selengkapnya