Re:

AvaRe
Chapter #15

Dongeng 14 - Monster

Re:

Mungkin ada di antara anda yang pernah mendengar pertanyaan ini, dan saya sendiri sering menanyakan hal yang serupa: “Apakah monster itu dilahirkan atau diciptakan?”

“Monster” … apa yang kalian bayangkan? Sesosok makhluk mengerikan, bertubuh besar dipenuhi bulu dan bertanduk yang ada di dalam kisah-kisah dongeng? Boleh saja. Tetapi bukan monster itu yang saya maksud. Monster yang saya bahas adalah perwujudan sisi tergelap manusia. Karena itu, mereka tidak memiliki bulu, apalagi tanduk. Mereka sama seperti anda, berjalan dengan kedua kaki, yang suka berbicara tanpa henti.

Saya adalah salah satu orang yang percaya bahwa monster itu dicipta, bukan dilahirkan. Monster itu ada di dalam diri setiap manusia, bersembunyi. Dan mungkin jika diberi lampu hijau, dia akan menyeruak keluar menunjukkan jati dirinya suatu saat nanti.

… .

Ray

Kenapa ya, manusia itu melakukan kejahatan?” kudengar Haze menggumam sendirian di pojokan dengan terus memandangi ponselnya.

“Kenapa Ze?” sahutku kepada Haze. Kulihat Haze tiba-tiba berdiri terkejut mendengar sahutanku. “Hah? Apa? Kenapa Bang?”

“Ngomong sendiri? Kirain nanya,” balasku kemudian lalu mengacuhkannya dan memandang kembali layar komputerku. Beberapa saat tak terdengar lagi suara Haze, hingga tiba-tiba, anak itu sudah berdiri disebelah kananku.

“Bang,” kata Haze pelan. Kali ini aku yang terkejut karena memang tidak menyadari kedatangannya. “Kenapa ya, manusia itu melakukan kejahatan?” tanyanya kemudian. 

“Nanya?” tanyaku padanya, memastikan kalau kali ini dia benar-benar bertanya, walau aku sudah tahu sih kalau dia emang nanya. Haze mengangguk.

“Kenapa kamu melakukan kejahatan?” tanyaku kemudian. Kulihat Haze mengerutkan kening. “Aku … gak melakukan kejahatan kok,” jawabnya ragu-ragu. Aku refleks tertawa mendengar jawabannya dan melihat ekspresi bingungnya yang konyol.

“Hahaha, maksudku, lu pernah melakukan suatu kejahatan, kan?” akhirnya kuperjelas maksud pertanyaanku tadi. Haze meraih kursi di ujung, lalu duduk di sampingku. Sepertinya ini akan menjadi perbincangan yang serius.

“Mmm, yah, pernah … mungkin. Kalau apa yang biasanya ‘kulakukan’ sama om-om dan tante-tante kesepian itu bisa dikategorikan kejahatan,” jawab Haze dengan setengah menggumam. Kurasakan dia tidak nyaman membicarakan itu.

“Pertama, mungkin kita perlu pahami dulu apa itu kejahatan. Jadi, kejahatan itu apa?” aku bertanya lagi. Ya, beginilah caraku mengobrol dengan seseorang. Jika dia memiliki sebuah pertanyaan, aku akan berusaha supaya dia sendiri yang mendapatkan jawabannya. Aku tidak akan berusaha menjawab pertanyaanya. Aku hanya berusaha mendorongnya supaya dia bisa mendapatkan jawabannya sendiri, dengan caranya sendiri.

“Apa ya? Membunuh, merampok, memukul? Kupikir itu kejahatan,” jawab Haze.

“Apa iya? Bukankah itu cuma ‘contoh’ kejahatan saja, bukan definisi dari ‘kejahatan’ itu sendiri?”

Haze mengerutkan keningnya lagi sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Iya juga ya. Bentar Bang,” kata Haze sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya, lalu mengetikkan sesuatu.

“Jadi, kejahatan kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya adalah perbuatan yang jahat, sifat yang jahat, dosa, perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis,” jelas Haze sambil membaca hasil browsing di ponselnya. Aku benar-benar tidak bisa menahan ketawa melihat tingkah polos anak ini.

“Jadi?” tanyaku kemudian. lagi-lagi Haze tampak bingung. “Sudah paham kejahatan itu apa?” lanjutku. Haze menggeleng. “Kejahatan itu … sesuatu yang salah di mata hukum kah? Kalau menurut Bang Re gimana?”

“Kejahatan itu sesuatu yang subyektif, tapi dalam penilaiannya, entah bagaimana harus dipaksa menjadi obyektif,” jelasku akhirnya, karena gak mau pembicaraan ini berputar-putar disini terus.

“Maksudnya gimana Bang? Gak paham sumpah.”

“Maksudku, kejahatan ini subyektif karena bersifat relatif. Apa yang dianggap sebuah kejahatan, di tempat lain atau bagi orang lain mungkin itu bukanlah suatu kejahatan. Tetapi dia harus dinilai secara obyektif, maksudku adalah, itu tadi. Karena dia bersifat relatif, tidak mungkin kita bisa melakukan pemakluman hanya karena apa yang kita anggap kejahatan tapi bagi orang lain itu mungkin bukan kejahatan. Maka dibuatlah hukum atau norma itu tadi. Dimana pada akhirnya, suara mayoritaslah yang menentukan ‘nilai’ dari suatu kejahatan tersebut.”

“Tetep gak paham Bang,” Haze protes. Huh, aku memang gak pandai berbicara hal-hal seperti ini secara langsung.

“Begini, kalau aku ngomong ‘teroris’, menurutmu apakah itu adalah sebuah kejahatan?”

“Iya dong,”

“Tapi di luar sana, ada kelompok orang yang bahkan mendukung aksi terorisme itu …” belum selesai aku berbicara, Haze tiba-tiba memotong ucapanku. “Ya tapi kan teroris itu jahat? Maksudku, aku paham memang ada beberapa orang yang mendukung mereka. Dan kalau tidak salah, bahkan ada yang menganggap teroris itu sebagai pahlawan. Tapi kan tetap salah?”

“Itulah kenapa aku bilang tadi. Subyektif. Di luar sana, ada orang yang bahkan terang-terangan mendukung aksi terorisme, lebih parahnya, dengan membawa backup yang powerful seperti agama. Bagi kita, itu cuma alasan yang dibuat-buat. Tetapi jika kita mau mencoba melihat dari sudut pandang mereka, orang-orang yang melakukan aksi teror dan para pendukungnya, sebenarnya aku sendiri bisa memaklumi. Mereka menganggap itu sebagai aksi yang benar, yang entah dengan cara bagaimana mereka mencari-cari pembenaran itu. Tapi Ze, kita kan bukan pendukung mereka. Disini, di tempat dan negara ini, kita adalah bagian dari mayoritas, dimana mayoritas menyatakan dengan tegas bahwa terorisme itu salah dan merupakan suatu kejahatan yang berat. Maka disitulah nilai dari terorisme: kejahatan berat. Karena demikianlah nilai yang ditetapkan dan disetujui oleh mayoritas disini,” jelasku panjang lebar. Kulihat Haze diam, mungkin sedang berpikir, sebelum akhirnya menanggapi. “Jadi Bang, mungkinkah ada kemungkinan bahwa aksi terorisme itu tidak dianggap sebagai kejahatan jika mayoritas menyetujuinya?” tanya Haze kemudian.

“Ya,” aku menjawab singkat. Haze menatapku dengan tidak percaya.

“Gak mungkin! Ya, maksudku, aku tahu ada orang yang mendukung teroris, tapi kan hanya dalam jumlah kecil. Gak mungkin mayoritas.”

“Mungkin. Contohnya? Kamu gak lupa kan beberapa tahun lalu, ada kelompok yang menyebut diri mereka ISIS?”

“Islamic State of Iraq and Syria?”

“Yap. Terserah apapun mereka, tetapi bagi mayoritas orang di dunia, mereka adalah kelompok teroris. Bagi mayoritas orang di dunia, mereka adalah pelaku kejahatan. Tetapi kenapa kelompok mereka bisa sangat begitu besar?” tanyaku. Agak lama kutunggu jawaban Haze, tapi anak itu tidak menanggapi. Ia lalu menggeleng.

“Karena meski mayoritas di dunia menolak mereka, tetapi di tempat dan negara mereka berada, mereka memiliki dukungan yang besar,” lanjutku akhirnya.

“Cuma dukungan kan gak mungkin bisa membuat mereka sebesar itu?” tanya Haze.

“Dukungan apa dulu? Dukungan yang mereka dapatkan bukan cuma sekedar aksi supporter sambil teriak ‘semangat-semangat’ begitu. Dukungan ada banyak macamnya. Dan terutama akses mereka terhadap kekuatan terbesar dan paling mengerikan yang pernah diciptakan umat manusia …” aku berhenti sejenak untuk menghela napas, tetapi Haze lagi-lagi menyela ucapanku. “Kekuatan terbesar dan paling mengerikan? ISIS punya itu? Apa? Bom atom kah? Bom nuklir?” tanya Haze lagi. Aku menggeleng. Kulihat Haze tak henti-hentinya memasang muka kebingungan dari tadi.

“Uang,” kataku singkat. Haze membelalakkan matanya. “Wait, how? Bagaimana uang bisa menjadi senjata paling berbahaya?” tanyanya tidak percaya.

“Hampir segala hal di dunia ini bisa kamu dapatkan dengan uang. Bom atom atau nuklir yang kamu sebutkan tadi, tidak akan bisa tercipta tanpa uang. Uang bisa membeli senjata, membeli massa, membeli kekuasaan. Bom atom memang bisa menghancurkan sebuah negara, tetapi selama negara itu memiliki uang, ia bisa bengkit lagi entah cepat atau lambat, tergantung banyaknya uang yang negara itu miliki. Tetapi negara tanpa uang, kehancurannya akan lebih mengerikan daripada yang disebabkan oleh bom atom. Bom atom mungkin membunuh jutaan manusia, tetapi hanya sekejap. Tanpa memberikan manusia rasa sakit dan penderitaan yang panjang sebelum akhirnya mati, meski tidak bisa dipungkiri wilayah itu akan menyisakan radiasi yang berbahaya. Tapi bagi negara dengan uang yang banyak, itu tidak begitu masalah. Mereka masih bisa bangkit lagi. Tetapi tanpa uang, manusia harus dihadapkan dengan banyak permasalahan sosial. Kesehatan yang terus memburuk, kelaparan, gizi buruk, kekacauan, kekerasan dimana-mana. Norma dan hukum pun tak lagi berlaku. Kejahatan yang kamu pahami, tak akan lagi dianggap sebagai kejahatan di tempat itu. Manusia-manusia itu, dibunuh dengan perlahan dan dengan cara yang mengerikan. Semua karena uang,” aku menghembuskan napas panjang dan menyandarkan badanku di kursi. Berbicara panjang lebar begini benar-benar menguras tenaga.

“Benar juga …” kudengar Haze menggumam pelan. “Jadi, sebenarnya kejahatan itu apa, Bang? Kepalaku serasa mau meledak. Sebenarnya jahat itu apa? Sebenarnya …” ucapan Haze terhenti, suaranya tercekat. Aku hanya menatapnya dengan lekat, menunggu dengan sabar tanpa menanggapi sampai dia bisa menyelesaikan perkataannya. “… aku … sebenarnya hidup ini apa?” pertanyaan itulah yang akhirnya terlontar dari mulutnya.

“Nih, minum dulu,” kusodorkkan botol air mineral yang tinggal separuh kepada Haze, untuk memberikan jeda bagi kita berdua untuk menjernihkan pikiran sejenak.

“Yah …” kataku setelah jeda yang cukup panjang. “Sebenarnya definisi kejahatan seperti yang kamu baca dari kamus tadi tidak salah. Tetapi untuk mempermudah dan mengurangi bias dalam pengartiannya, kejahatan bagiku adalah apapun perbuatan yang dilakukan manusia, yang membawa dampak buruk atau kerugian bagi makhluk lain. Se-simple itu.”

“Jadi entah itu terorisme, pembunuhan, perampokan, penghinaan, korupsi, perang, ujaran kebencian, atau bahkan sekedar memukul orang lain, itu adalah kejahatan karena membawa dampak buruk dan kerugian bagi orang lain,” lanjutku.

Lihat selengkapnya