Re:

AvaRe
Chapter #16

Dongeng 15 - Menari Bersama Iblis (Bagian 1)

Haze

Apa ini?

Getaran itu serasa menghujam dadaku

Kesadaranku mulai memudar

Di titik ini, tak lagi aku tahu apa yang berharga

Untuk apa aku ada disini?

Untuk apa mereka berdiri disana?

Tertawa dengan senyum lebarnya yang mengerikan

Seolah mentertawakanku yang diam meringkuk sendiri

Aku takut …

Aku takut jika aku akan melebur dan menghilang

Tapi, siapakah aku?


Re:

Apa yang anda cari dalam kehidupan anda?

Apa yang ingin anda raih?

Apakah anda sudah mendapatkan apa yang anda mau?

Apakah anda sudah mewujudkan semua cita-cita anda?

Sudahkah … anda bahagia?


Seseorang pernah bertanya kepada saya, “Re, apa tujuan anda dalam hidup?” Saya jawab, “Kebahagiaan”. Lalu dia bertanya lagi, “Bukankah itu terlalu sederhana?” Ya. Sangat sederhana. Terlalu sederhana, hingga sulit sekali mewujudkannya. Lalu, orang itu tertawa. “Kenapa sulit,” katanya. Dia lalu berkata, “Saya juga ingin bahagia. Dan menjadi bahagia itu gampang,” sayapun tersenyum dan mengiyakan. Benar. Menjadi bahagia itu memang mudah. Tetapi, mungkin definisi bahagia yang dia maksud, dan bahagia yang saya maksud agak berbeda, sehingga kita akhirnya memiliki standar pencapaian yang juga berbeda.

 Semua orang bisa dengan mudah bahagia, tetapi sering saya dapati, orang yang terlena akan kebahagiaan singkat yang mereka peroleh, hingga ketika roda waktu kembali berputar dan mendorong kebahagiaan itu menjauh, mereka kembali diliputi oleh perasaan sedih, atau kecewa. Mengais-ngais lagi sisa-sisa kebahagiaan yang mungkin masih tersisa.


Ray

“Apakah saya masih punya hak untuk bahagia?” wanita paruh baya itu menatapku dengan tatapannya yang lesu. Aku hanya menatapnya bingung. Akhir-akhir ini, kok rasanya aku sering sekali bertemu dengan orang-orang yang mengeluhkan hidupnya. Wanita paruh baya ini bernama Bu Ani, atau setidaknya hanya itu namanya yang ku tahu. Beliau adalah pedagang nasi bungkus keliling yang sudah lumayan menjadi langganan kami anak-anak di studio. Harganya murah meriah. Hanya 5 ribu, dan sudah cukup membuat kenyang. Apalagi aku sangat suka lauk ayam suwir super pedasnya, meski satu bungkus sudah buat kenyang, tapi kalau aku harus beli dua biar puas.

“Kenapa Buk?” sahut Haze dari belakangku. Semenjak Haze tinggal denganku, dia memang selalu ikut aku nongkrong di studio setiap pulang sekolah. Oh iya, aku lupa. Haze tidak jadi di drop out. Mengingat dia adalah salah satu aset sekolah dan ini sudah tahun terakhirnya, sepertinya para guru iba mendengar alasan asli dari apa yang di kerjakan oleh Haze. Ya, meski dia diwanti-wanti untuk meninggalkan dan tidak menyentuh pekerjaan itu lagi.

“Oh, adiknya Ray ya? Siapa itu namanya? Lupa saya,” ujar Bu Ani.

“Haze, Buk,” jawab Haze.

“Oh, iya, itu. Gak tau ah, susah,” balas Bu Ani kemudian. Aku tak bisa menahan tawa. Dan Haze hanya tersenyum canggung. Tak lama, kulihat bu Ani kembali murung.

“Ada masalah apa sih Buk?” aku akhirnya bertanya pada beliau. Bu Ani cemberut. “Aku bingung, Ray. Aku dikejar-kejar rentenir,” jawabnya lesu.

“Lho? Kok bisa? Bu Ani emang punya utang sama rentenir?” tiba-tiba Mbak Rara ikut nimbrung dari belakang. “Iya, Ra. Bukan aku sih, tapi anakku,” jawab Bu Ani.

Ah, aku sepertinya pernah beberapa kali melihat anaknya. Dan kalau tidak salah Bu Ani sudah pernah menceritakan tentang anak semata wayangnya itu. Usianya mungkin awal-awal dua puluhan, laki-laki, dengan tampang acak-acakan ala anak jalanan. Aku ingat karena dia pernah ke studio kami untuk minta di tato dan terlibat adu mulut dengan Mas Adi karena tidak mau membayar dengan harga normal kami. Pernah juga aku mendengar dia hampir digebukin warga karena ketahuan mencuri ponsel di sebuah toko tak jauh dari sini. Yah, apapun itu, anak itu memang sudah cukup terkenal nakalnya.

“Emang dia ngutang berapa Buk?” tanyaku kemudian.

“Lima puluh juta, Ray!” jawab Bu Ani sambil menekankan nominal uangnya.

“Buset, buat apaan duit segitu?” Mbak Rara gak mau kalah untuk ikutan nimbrung.

“Gak tahu lah, Ra. Ku tanya gak mau jawab dia. Dan ini udah seminggu gak tahu dimana wujudnya tuh anak. Pengen kali aku kutuk dia jadi batu. Kayaknya aku mau diem-diem kabur balik ke kampungku. Males aku di rumah tiap hari gak tahu waktu di gedor-gedor sama rentenir. Malu aku sama tetangga,” Bu Ani meluapkan kekesalannya.

“Jadi Bu Ani mau pulang kampung?” tanya Mbak Rara. Bu Ani mengangguk, “Iya, ini hari terakhirku jualan kayaknya. Besok subuh-subuh aku mau pergi. Udah, aku udah gak peduli sama itu anak. Toh, ini rumah juga ngontrak. Gak ada hal yang berharga disini.”

“Yah, bakal kangen banget dong sama masakan Bu Ani,” ujar Mbak Rara. Tapi aku masih ada hal yang ingin kutanyakan pada Bu Ani, “Gak ada yang berharga gimana buk? Anak Ibuk udah gak dianggap?” tanyaku.

“Gak. Udah gak kuakui anakku lagi dia. Terserah udah, bisanya cuma malu-maluin orangtua,” nada bicara Bu Ani makin kesal.

“Ya tapi bagaimanapun kan dia masih anak Ibu,” kataku. Bu Ani menggeleng-geleng. “Buat apa punya anak kalau bisanya cuma malu-maluin orang tua? Aku tuh aslinya gak masalah dia mau kerja apa aja, asal halal. Aku gak akan minta uangnya. Tapi kalau bisanya cuma jadi penjahat, mending hidup sendiri saja dia,” ujar Bu Ani kesal. Aku menyimak, tidak mau menanggapi apa-apa lagi.


Sore itu di rumah, saat sedang asik rebahan, Haze tiba-tiba membuka pintu kamarku. “Bang, ada tamu,” katanya dengan nada agak ragu. “Hmm?” balasku. “Tamu apaan?” cukup aneh mendengar ada yang tiba-tiba bertamu tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Well, memang terkadang ada yang tiba-tiba datang ke rumah, tetapi orang-orang ini akan memberi semacam ‘kode’ terlebih dahulu sebelumnya. Kasus si Hugo kapan hari misalnya.

“Siapa? Pak RT mau nagih uang iuran lingkungan?” tanyaku sambil menyebut satu-satunya kemungkinan yang terlintas di kepala. Haze menggeleng. “Gak tahu bBng. Bukan sih kayaknya. Tadi cuma bilang ‘Ray-nya mana?’ Gitu. Yaudah aku bilang, aku panggilin bentar,” jelas Haze.

“Laki? Perempuan?” tanyaku memastikan.

“Laki-laki, Bang.”

Aku beranjak dari kasurku dengan malas, sambil mengira-ngira siapa gerangan.


“Mas,” sapa lelaki paruh baya dengan setelan kemeja berwarna putih rapi yang berdiri gugup di depan pintu rumahku. Aku terdiam di tempat, hanya diam sambil menatap lelaki itu. Kurasakan kehadiran Haze di belakangku.

“Bapak nyuruh Mas Ray buat pulang,” katanya kemudian. Kulirik sekilas Haze di belakangku. “Gak usah repot-repot. Aku gak bakal pulang,” kataku dingin. “Suruh pulang aja orang itu, Ze,” ujarku pada Haze sambil kembali ke kamarku dan mengunci pintu.


Haze

Lihat selengkapnya