Re:

AvaRe
Chapter #17

Dongeng 16 - Menari Bersama Iblis (Bagian 2)

Re:

Semua orang saling menyakiti satu sama lain.

Kita pernah menyakiti orang lain, dan kita pernah tersakiti oleh orang lain.

Semua itu bagaikan sebuah siklus yang akan terus berputar, hingga saatnya kita mati nanti. Lalu, apakah yang akan menanti kita setelah kematian? Akankah siklus itu benar-benar terhenti? Atau ternyata masih akan terus berlanjut?

Kenapa … banyak orang yang takut mati?

Saya memiliki sebuah teori sederhana untuk menjawab pertanyaan ini. Kematian adalah sesuatu yang tidak diketahui. Sebuah misteri besar, yang apapun terjadi setelah itu, hanya diceritakan dari sudut pandang ‘kepercayaan’. Bukan sebuah bukti konkret, tetapi hanya iman. Konsep yang ambigu seperti itu, tidak akan serta merta melepaskan perasaan takut yang terlanjur melekat di beberapa orang. Mau bagaimanapun, apapun yang terjadi setelah kematian masihlah misteri.

Saya sendiri, tidak tahu apa yang terjadi nanti. Apa yang saya pegang, tak ada bedanya dengan ‘iman’ yang juga dipegang oleh orang-orang. Hanya konsepnya saja yang mungkin sedikit berbeda.

Saya tidak percaya dengan konsep kehidupan setelah kematian, yang merupakan sebuah titik akhir dari kehidupan, dimana kita akan selamanya di fase itu. Saya percaya bahwa dunia ini bagaikan sebuah roda yang terus menerus berputar. Demikianlah kehidupan dan kematian. Semua akan terus berputar, bereinkarnasi. Tidak ada penghakiman akhir, tidak ada kehidupan abadi.

Orang-orang takut akan kematian karena selain itu adalah sebuah misteri besar yang tidak akan pernah terpecahkan hingga kita mengalaminya sendiri, juga karena kehadirannya mutlak dan tidak ada siapapun yang bisa menghindar dari padanya. Sesuatu yang pasti, tetapi dipenuhi dengan ketidakpastian. Sebuah paradox besar, yang akan dihadapi oleh siapapun pada saatnya. Sebuah misteri terbesar yang pernah ada.

Ray

Kepalaku sakit. Badanku rasanya sangat berat. Tenggorokanku kering. Aku pingin muntah.

Astaga, sebanyak apa aku minum semalam? Aku masih ingat tentang mengatakan hal konyol pada Haze. Dan aku masih ingat, setelah anak itu keluar dari kamarku dan masuk ke kamarnya, aku pergi ke dapur untuk mengambil beberapa botol lagi.

Kuedarkan pandanganku yang masih agak buram ke sekeliling ruangan. Rocco tak ada dimanapun, dan kulihat ada empat botol anggur tergeletak di samping kaki ranjangku. Ah, sialan.

Dengan perut yang bergejolak ingin segera memuntahkan isinya, aku berjalan terhuyung ke kamar mandi. Untung saja, di kamarku ada kamar mandi, kalau tidak aku harus berjalan keluar menuju kamar mandi di sebelah dapur yang agak jauh disana. Bisa-bisa, isi perutku akan tertumpah di tengah jalan.

Setelah memuntahkan semua isi perutku dan membasuh mukaku, kepalaku sudah agak ringan. Ah, sekarang jadi lapar. Kalau diingat-ingat, aku memang belum makan apapun sejak kemarin siang. Jam berapa sekarang?

Kulihat Haze sedang duduk di meja makan dapur sambil menikmati roti bakar dan menonton TV, dan Rocco sedang duduk di lantai di dekatnya. Melihatku yang berjalan mendekat, Rocco segera mengibas-kibaskan ekornya dan berlari melompat-lompat ke arahku. Haze ikut menoleh ke arahku sambil mengunyah roti bakarnya.

Welcome back,” sapa Haze.

“Jam berapa sekarang?” tanyaku.

“Hm?” Haze menoleh kesana kemari mencari keberadaan jam yang memang tidak ada dimanapun, lalu meraih ponselnya di meja. “Jam sebelas empat belas,” katanya kemudian.

“Ah. Aku laper. Ada makanan gak?” tanyaku. Haze menggeleng, lalu menyodorkan roti bakar di tangannya yang tinggal sedikit.

Cih. Kamu udah makan belum?” aku bertanya lagi. Lagi-lagi, Haze hanya menyodorkan roti di tangannya. Aku paham maksudnya.

“Sarapan? Makan siang?” tanyaku.

“Sarapan,” akhirnya Haze bersuara.

“Ayo keluar, cari makan,” kataku sambil mengajak Haze setelah memeriksa isi kulkas yang memang kosong. Aku belum nyetok minggu ini. Air muka Haze tampak bersemangat. “Rocco udah dikasih makan kan?” tanyaku. Haze mengangguk.

Aku kembali ke kamarku, mengenakan hoodie ku, dan berjalan keluar, mendapati Haze sudah siap siaga di teras. “Kamu yang nyetir ya, kepalaku masih pusing,” kataku pada Haze sambil menyerahkan kunci motorku padanya.

“Okey bos. Mau kemana kita?” nada suara Haze bersemangat. Kalau dipikir-pikir, aku memang jarang mengajaknya makan di luar. Demi berhemat tentu saja. Kalau bisa, sebisa mungkin, lebih baik masak sendiri, ya kan? Selain lebih hemat—tentu saja—kan juga lebih sehat. Yah, walaupun rasanya … ehem, enak kok.

“Terserah kamu mau makan apa,” jawabku.

“Hm? Beneran? Terserah?” tanya Haze. Aku mengangguk.

“Gak ada embel-embel ‘terserah tapi jangan yang mahal-mahal’ gitu? Beneran terserah?” tanyanya lagi. Aku mengangguk lagi, “Iya … terserah.”

“Beneran? Berarti mahal gak papa?” Haze masih terus mencecarku dengan pertanyaannya.

“Iya … gakpapa,” jawabku agak sebal, karena setelah isinya tertumpah keluar tadi, sekarang perutku benar-benar keroncongan.

Yes! Yuk, bos. Silahkan naik,” ujar Haze berseri-seri. Kenapa aku malah jadi geli sendiri?

“Moga aja Bang Re mabuk tiap hari,” gumam Haze.

“Hah? Kamu ngomong apa?” sergahku.

“Hm? Gak ada, yuk ah berangkat,” kata Haze sembari memacu motorku keluar halaman rumah. Setelah menutup pagar, aku bergegas naik ke boncengan motor, dan Haze mulai melajukan motorku, entah kemana.

Setelah berjalan agak lama tanpa kutahu tujuannya mau kemana, Haze akhirnya berhenti dan memarkirkan motorku di depan sebuah café … atau restoran? Entahlah. Yang jelas aku baru tahu ada tempat ini disini.

“Masih baru nih tempat ini, Bang. Katanya sih enak, tapi agak mahal,” kata Haze. Aku menyapu pandanganku untuk melihat nama tempat ini. Restoran steak? Siang-siang makan steak? Ah, sudahlah, terserah. Yang penting makan.

Aku baru sadar setelah masuk ke dalam restoran, bahwa tempat ini adalah tempat makan yang lumayan berkelas, terlihat dari desain interiornya. Aku tidak begitu memperhatikan eksteriornya tadi. Begitu masuk, kurasakan beberapa pasang mata menatap ke arahku. Dan yah, aku tahu kenapa. Setelah kulihat, kebanyakan pelanggan disini kebanyakan berpakaian cukup necis. Sesuai tema restorannya tentu saja. Sedangkan aku, hanya mengenakan sandal jepit, celana pendek, dan hoodie usangku, ditambah rambutku yang masih acak-acakan baru bangun tidur … dan aku memang belum mandi. Haze, yah, penampilannya jelas jauh lebih baik dariku. Setidaknya dia berpakaian rapi dan … sudah mandi. Ah, tapi peduli amat. Disini aku cuma mau makan.

Setelah mendapat tempat duduk di samping jendela, seorang waitres menghampiri kami sambil menyerahkan buku menu. Waitres itu menatapku dengan tatapan aneh. Aku pura-pura tidak peduli sambil menatap keluar jendela.

“Boleh ngerokok gak disini?” tanyaku pada waitres itu.

“Maaf kak, tidak boleh,” jawabnya dengan nada agak ketus. Yah, memang tidak masalah. Tampangku memang begini, juga. Ada pepatah yang bilang, jangan menilai buku dari sampulnya. Yah, menurutku tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Realitanya, kita pasti akan menilai dulu segala sesuatu dari penampilan luarnya. First impression itu penting. Kalau tidak mau dinilai buruk, ya jangan berpenampilan seperti ini. Aku sadar sekali hal ini. Yah, salahku. Ah, tidak, ini salah Haze yang tidak memberitahukan kemana tujuan kita. Kalau tadi ke warteg kan juga gak bakal ada yang peduli dengan penampilanku. Well, um, aku sadar kok, jauh di dalam hatiku, kalau mau bagaimanapun ini memang salahku yang sudah jelas-jelas mengajak Haze untuk pergi makan keluar, tapi aku malah berpenampilan acak-acakan begini. Tapi, kali ini saja, aku sedang tidak punya tenaga untuk menyalahkan diriku sendiri. Jadi setidaknya, sementara aku mau menyalahkan orang lain saja dulu.

“Oh, ok” jawabku pada waitres itu.

“Bang, mau pesen apa?” tanya Haze.

“Sama kayak kamu,” jawabku. Haze kembali berkutat pada buku menu itu.

“Mbak, aku mau kopi item yang biasa ya. Gak pake gula,” kataku pada waitres itu yang masih berdiri menunggu di samping meja kami.

“Kita gak punya menu kopi item kak,” jawabnya, masih sedikit ketus.

“Oh, adanya apa? Gak ada menu kopi?” tanyaku kemudian.

“Kita adanya espresso, latte, cappucino, kayak gitu,” jawabnya menjelaskan. Cih, sama aja. Beda nama doang, batinku.

“Yaudah, espresso. Double two shot ya,” kataku. Waitres itu menatapku aneh.

“Maaf kak, gak ada,” katanya ketus.

“Katanya tadi ada menu espresso?” tanyaku mulai agak jengkel juga sama mbak-mbak judes satu ini.

“Ya tapi gak ada menu espresso double two shot,” katanya masih sama ketusnya.

“Terus gimana?”

“Ya espresso biasa aja,”

One shot? Bilangin ke baristanya, aku minta four shot, jadiin satu,” jelasku sebal.

“Gak bisa kak,” waitres itu masih ngotot.

“Udah-udah Bang. Maaf ya kak, dia habis mabuk semalem,” Haze mencoba menengahi. Aku hanya diam sambil kembali menatap keluar jendela. “Kak, aku mau red wine, ya,” kata Haze kemudian. Refleks, aku menatap tajam ke arahnya. “Pesen apa kamu?” tanyaku.

“Hahaha, bercanda duh. Kan makan steak enaknya ditemani red wine, bang. Bang Re gak mau pesen wine aja?” tanya Haze.

“Gak,” jawabku singkat. Ah, aku sudah eneg menghabiskan empat, eh, tidak, tiga setengah botol kemarin. Hari ini tidak lagi.

“Aku mau … ice latte ya kak, less sugar, less ice,” terang Haze. Waitres itu hanya diam sambil mencatat pesanannya. “Bang?” Haze menatap ke arahku.

“Espresso, empat gelas. Tapi jadiin satu, terserah deh, mau dimasukin teko juga gakpapa,” kataku tanpa melihat ke arah mbak-mbak waitres itu. Sedikit ku lirik, dia melihat sejenak ke arahku, tetapi hanya diam dan mencatat pesananku.

“Buat makannya … hmm, aku pengen nyoba ini sih dari dulu,” gumam Haze sambil menatap ke arahku. “Terserah,” kataku singkat, entah apa maunya itu anak. Haze hanya cengar-cengir.

“Wagyu premium yang 200 gram satu, wagyu 400 gramnya satu, hmm … ah, cumi bakar dua, sama … kentang goreng yang large satu,” ujarnya. Waitres itu menatap Haze tidak percaya.

“Wagyu premium 200 sama 400 kak?” tanya waitres itu kemudian. Haze mengangguk.

“Kok beda?” aku ikutan bertanya pada Haze.

“Bang Re yang 400, aku yang 200. Kan aku udah ngemil banyak roti tadi. Jadi aku pesenin yang gede buat Bang Re, baik kan aku?” ujar Haze sambil terus cengar-cengir, seolah habis dapat jackpot. Padahal aku yang bayar, juga.

“Wagyunya yang 200 gram satu porsinya enam ratus ribu, yang 400 gram satu juta lima puluh puluh ribu, kak. Beneran mau pesan ini?” waitres itu bertanya tak percaya. Tentu saja, melihat seorang anak umur belasan tahun, dan seorang laki-laki gak muda gak tua dengan penampilan acak-acakan (mirip gembel), memesan menu termahal disini, siapapun pasti heran. Haze mengangguk ke arah waitres itu dengan yakin. Entahlah, rasanya aku sudah benar-benar menjadi sugar daddy anak ini.

“Ah, tambah satu deh kak yang 400 gram, tapi buat di bawa pulang, ya,” kata Haze kemudian. “Gak papa kan, Bang? Buat nanti malem, hehe,” Haze menatap ke arahku meminta persetujuan. “Terserah,” aku hanya menjawab singkat, lagi. “Dua deh, yang dibawa pulang,” timpalku kemudian. Waitres itu semakain menatap tak percaya.

“Ada tambahan lagi, kak?” tanyanya, menatap ke arahku, tatapannya sudah tak judes seperti tadi. Aku hanya diam, sedangkan Haze menggeleng. Setelah itu, waitres itu bergegas pergi untuk memproses pesanan kami.

Astaga, berapa banyak uang yang kuhamburkan siang ini? Yah, tapi tak apa lah, sekali-kali. Padahal, budgetku untuk menyetok makanan selama seminggu tak pernah lebih dari harga steak 200 gram tadi, hahaha.

“Bang Re, Bang Re itu aslinya sultan, ya?” tanya Haze ditengah waktu luang kami menunggu pesanan datang.

“Hah?” tanyaku heran.

“Iya, itu … anak orang kaya. Buktinya aku pesan makanan semahal itu, Bang Re biasa aja. Kalau aku yang bayar, udah pingsan di tengah jalan aku. Bapak-bapak kemarin juga, penampilannya kayak orang kaya banget. Itu siapanya Bang Re?” tanya Haze kemudian. Ah, ini dia. Upaya mengorek masa lalu dimulai.

“Bukan siapa-siapa. Udah, makan aja dulu, jangan bikin nafsu makanku rusak,” jawabku. Haze hanya tersenyum dan mengangguk, lalu bermain dengan ponselnya. Aku kembali memandang ke luar jendela. Tidak melamun, hanya … entahlah, aku tidak memikirkan apa-apa.

“Mau pulang, Bang?” tanya Haze saat sudah di parkiran.

“Emang mau kemana?” aku bertanya balik.

“Entahlah, Bang Re gak pingin kemana, gitu?” aku menggeleng.

“Bang Re masih mabuk?” tanya Haze kemudian.

“Enggak … kayaknya,”

“Main kemana gitu yuk, Bang,” ajak Haze.

“Kemana?”

“Bang Re gak tahu tempat yang asri, adem, gitu kah?” tanya Haze. Aku diam, bingung. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul setengah satu siang. Mau kemana siang-siang begini? Tiba-tiba terlintas satu ide dan tempat di kepalaku.

“Ze,” ujarku kemudian.

“Hm?” respon Haze sambil menatapku.

Camping, yuk,” ajakku.

“Hah? Sekarang?” kali ini Haze yang tampak heran dengan ajakanku.

“Iya. Besok kamu bolos aja sekolahnya,” kataku sambil menyalakan batang rokok yang sudah kutahan sejak tadi.

Camping kemana? Gunung?” tanya Haze.

“Bukan gunung. Ada lah … aku tahu tempat bagus. Di daerah pegunungan, tapi bukan di gunungnya juga,” jelasku. Muka Haze tampak ragu, tapi kemudian ia mengangguk. “Yaudah ayo,” aku tersenyum, lalu kuraih kunci motor dari tangan Haze.

“Sekarang mau pulang dulu, Bang?” tanya Haze saat sudah di atas motor.

“Enggak, ke minimarket dulu, cari logistik,” kataku sembari mulai melajukan motor.

“Gak entar aja sekalian berangkat?”

“Sekarang lah, mumpung udah di luar. Kalau nanti, ribet lagi packingnya,” jawabku. Haze tak menjawab. Setelah terdiam agak lama, “Rocco gimana?” tanya Haze.

“Di ajak,” jawabku.

Lihat selengkapnya