“Warna jingga di ufuk barat membangunkan lamunanku. Merekah oranye bercampur ungu dan sedikit merah jambu, menderu bersama deru kencang angin permulaan kemarau. Yang hijau kini tak lagi hijau, tak merah, tak juga coklat.
Ada satu hal yang selalu menarik bayanganku di kala senja datang menyapa. Terasa lembut ia menyapu wajahku, tapi perasaan keras dan berat seolah menghantam tubuhku. Sakit di punggungku terasa, ketika aku mulai menyadari betapa hinanya kehidupan ini.
Harapanku melebur bersama hembusan angin senja. Keinginanku hanya tinggal kerangka. Hitam legam, dan merah darah. Rasanya, aku hancur tak lagi berbentuk. Andaikata bisa kuulang kembali waktu itu, andaikata terang itu tak kusia-siakan. Aku terpuruk dalam penyesalan tak berujung.
Ketika hamba kini lupa pada tuannya. Ketika buah kini tak mau mengakui pohonnya. Ketika bunga malu pada pupuknya. Ketika mata kini tak mampu lagi meneteskan airnya.
Lingkaran setan ini mulai meluas. Merenggut keinginan, kebebasan, … harapan. Merenggut kebahagiaan nyata, mengubahnya menjadi semu. Kehidupan kini bagai mainan plastik. Hanya buatan instan, tak nyata, dan palsu.
Senja kini semakin merekah. Meninggalkan sejuta keniscayaan yang meragukan. Meninggalkan berbagai harapan yang tertanggalkan. Penyesalan kini hanya akhir. Karena senja kini sudah tiba dan menyapa. Kegelapan tak lama lagi akan menguasai dunia. Tapi tak apa. Tak akan ku kubur berbagai harapan ini bersama dengan jasadku nanti. Ku yakin pasti, fajar kan datang menyingsing. Mengulang kembali, dan meneruskan semua perjalanan yang sudah terjadi. Dia sudah hampir disini. Kembali.”
Setelah meletakkan pena di meja di sampingnya, tangan Rati yang mulai berkeriput itu mengelus lembut sampul biru buku itu. Sebuah buku catatan tua yang telah usang dan termakan waktu, yang ia pastikan, hanya akan ia isi ketika memang ‘waktu’nya saja. Perlahan ia lalu membukanya kembali, membacanya lagi, berulang-ulang, catatan yang baru saja ia tuliskan.
“Sebentar lagi saya nyusul, Mbah,” gumamnya pelan, sambil membuka laci meja tua yang masih tampak kokoh karena terbuat dari kayu jati murni. Lalu ia keluarkan sebuah buku yasin yang sudah usang, dengan foto yang bertuliskan: Alm. Ki Atmojo. Suaminya, yang telah berpulang lima tahun yang lalu.
Pikiran Rati mnelayang kembali ke masa lalu, membuka kembali kenangan-kenangan lamanya. Sebuah masa lalu yang pernah menghancurkannya, meleburkannya, juga yang membangunnya serta yang memberinya sebuah jiwa yang sekokoh baja. Masa lalu yang ketika ia ingat lagi telah cukup menyiksanya, tetapi ia juga menyadari, bahwa tidak ada yang bisa melupakan sebuah sejarah kehidupan, apalagi jika itu mampu membuatnya tetap berdiri dan menatap ke depan.
Surati namanya. Tetapi ia lebih senang dipanggil Rati. Kini usianya sudah hampir delapan puluh sembilan tahun. Satu tahun lagi, dan ia akan berusia genap sembilan puluh. Tetapi entahlah, ia sendiri tidak tahu kapan tepatnya ia dilahirkan. Jadi usianya kini hanya sekedar kira-kira.
Meski usianya yang kini telah senja dan kulitnya yang sudah banyak berkeriput dimana-mana, tetapi badannya masih mampu berdiri tegak, tak perlu pakai bantuan tongkat. Senyumnya ramah, menyisakan sisa-sisa akan betapa mempesonanya ia dimasa muda.
Hidup sendiri semenjak ditinggal oleh suaminya, di sebuah rumah kayu kecil di sebuah desa di pinggiran Kota Malang. Ini adalah rumah kecil yang baru ia tempati sekitar enam tahun lalu atas permintaan Ki Atmojo yang mengatakan ingin pindah ke pelosok desa saja menghabiskan masa tua. Sebelumnya, Rati memiliki rumah yang berada tepat di seberang jalan raya, yang sudah ia tempati selama puluhan tahun, sehingga disana ia bisa sambil berjualan nasi empok di depan rumahnya. Nasi empok adalah sebuah menu makanan tradisional berbahan jagung, tetapi empok memiliki tekstur lebih halus daripada nasi jagung. Dipadukan dengan berbagai lauk dan sayur seperti urapan sayur atau pecel, membuat menu nasi empok buatan Rati sangat digemari oleh warga sekitar atau pelancong yang tidak sengaja mampir ke warung kecilnya.
Tepat di sebelah rumah lama Rati ada sebuah gang sempit, mungkin hanya muat satu buah motor. Jika kebetulan berpapasan dari arah berlawanan, salah satu harus berhenti dan meminggirkan motornya supaya yang satunya bisa lewat duluan. Kurang lebih 50 meter dari pintu gang, ada sebuah lapangan sepak bola kecil yang kini hanya tersisa separuh, separuhnya lagi sudah berubah menjadi bangunan rumah. Lapangan yang tersisa itu masih ditumbuhi pohon kersen, atau yang lebih sering disebut pohon ceri. Rati masih ingat, dahulu, ketika sore, ia sering duduk disana, melihat anak-anak kampung bermain sepak bola, sambil ia mengajari beberapa anak pengamen bahasa Inggris.
Bukan tanpa alasan Rati pernah menjadi seorang guru bahasa Inggris-apa-adanya kepada anak-anak pengamen itu. Begini ceritanya:
Tahun 1970-an. Seingatnya, usianya masih baru empat-puluhan tahun. Waktu itu sekitar pertengahan bulan Juli, dimana udara sedang panas-panasnya. Dua ratus meter dari rumahnya, ada sebuah perempatan yang kerap kali banyak anak-anak pengamen atau penjaja asongan duduk-duduk disana. Tempat itu selalu ramai karena ada sebuah pohon beringin tua yang sangat rindang, menjadikannya tempat yang nyaman untuk berteduh, meski tidak bisa sepenuhnya menghilangkan suhu udara yang begitu menyengat.
Setiap pagi, siang, atau sore, anak-anak itu akan banyak yang berkumpul disana, di kedua sisi jalan, menyanyi, atau menjajakan barang dagangannya. Seolah sedang menunggu peluit yang tak terdengar, sambil melihat aba-aba ke arah lampu lalu lintas, dan ketika lampu merah akhirnya menyala, serentak mereka berlari ke tengah jalan, sambil membawa senjata perang masing-masing seadanya: sebuah tongkat kayu kecil dengan beberapa tutup botol kola yang dipaku renggang, yang ketika digoyangkan akan menimbulkan bunyi ‘ecrek-ecrek’, bekas botol susu yang diisi dengan pasir atau beras, lalu ditutup dengan plastik bekas ciki dan dililit karet gelang yang kalau digoyang juga sama-sama menimbulkan bunyi ‘ecrek-ecrek’, hanya saja memiliki nada yang sedikit berbeda, ada pula yang hanya bersenjatakan suara sendiri, meski terdengar cempreng. Ada yang membawa sebuah tatakan kayu yang dikalungkan ke leher, yang berisi beraneka macam makanan ringan: kacang, permen, manisan mangga, atau bahkan rokok eceran. Ada pula yang membawa beberapa tumpuk koran yang baru terbit pagi itu.
Anak-anak itu terus menyerang tanpa rasa takut, seolah-olah selama beberapa detik lampu merah itu, merekalah sang pemilik jalanan. Dan ketika lampu kembali hijau, mereka mundur, kembali bersama pasukan masing-masing, sambil menunggu sinyal lampu menyerang selanjutnya.
Rati saat itu sedang duduk di depan warungnya sendirian sambil menunggu pembeli. Saat siang, suaminya, Ki Atmojo akan pergi ke ladang merawat sayurannya untuk suatu hari di jual ke pasar. Saat pagi, warung Rati cukup ramai diserbu pembeli, karena memang nasi empok paling enak kalau dimakan untuk sarapan. Saat siang, pembelinya sudah mulai berkurang, hanya ada satu-dua orang.
Untuk mengusir rasa bosan dan ngantuk, terkadang Rati membaca koran yang dibelinya dari anak-anak, atau membaca buku yang kadang ia beli ketika ada abang-abang yang sesekali berkeliling menawarkan berbagai macam buku bekas.
Disaat itulah, ia menagkap empat sosok bocah pengamen yang sedang jongkok di pinggir jalan di depan warung sekaligus rumahnya itu. Mereka tampak kegerahan sambil menutupi wajahnya dengan tangan. Entah kenapa, melihat anak-anak itu, ingin Rati memanggil dan mengajak mereka mengobrol. Ia lalu beranjak berdiri dan memanggil mereka.
“Hei, ngapain kamu disitu?” tanya Rati kepada mereka. Keempatnya kompak menoleh. Mereka terdiri dari tiga anak laki-laki: yang satu, yang kelihatannya paling tua, tampaknya berumur sekitar delapan belasan tahun, berambut cepak dan dua telinga bolong besar sepertinya bekas tindikan. Dua lainnya seperti masih berumur empat belas atau lima belasan tahun. Dua-duanya berambut gundul. Satunya lagi anak perempuan berusia sekitar lima belas tahunan. Pakaian mereka sangat kumal, bercampur antara debu jalanan dan keringat. Wajah mereka merona merah-hitam terpapar sinar matahari di siang bolong.
“Numpang ngasuh, Bulik,” jawab anak laki-laki yang paling tua.
“Rinio!” kata Rati sambil memerintahkan anak-anak itu untuk masuk ke warungnya. Kedua anak laki-laki dan perempuan itu tampak seperti ingin masuk, tetapi anak laki-laki yang paling tua seperti melarang, ragu-ragu.
“Kenapa? Ayo kesini,” perintah Rati lagi. Keempatnya kini malah tampak enggan.
“Sungkan, Bulik. Lagian kita cuma istirahat,” jawab anak perempuan itu.
“Iya, makanya kesini. Disitu panas. Masuk sini, berteduh. Jangan jongkok di pinggir jalan begitu. Keserempet mobil tahu rasa, kamu!” Mereka tampak sedikit tersenyum mendengar umpatan Rati.
“Mboten nopo-nopo, Bulik?” tanya si anak perempuan.
Rati hanya diam sambil melambaikan tangan menyuruh mereka agar segera masuk. Satu persatu, mereka masuk ke warung Rati lalu duduk di bangku di belakang meja panjang yang dijajar untuk pembeli. Kesan pertama Rati terhadap mereka, mereka adalah anak-anak yang sopan, terlepas bagaimana orang lain memandang mereka sebagai anak jalanan, tapi kenyataannya mereka juga tahu sopan santun.
“Sudah, duduk saja. Tak bikinin es teh dulu,” kata Rati saat melihat anak laki-laki yang paling tua masih diam berdiri. Rati lalu beranjak ke meja dimana ia biasanya meracik pesanan untuk pembeli.
“Waduh, gak usah repot-repot, Bulik,” kata anak laki-laki yang paling tua itu kemudian seraya menghampiri Rati untuk melarangnya membuatkan mereka es teh.
“Gak repot, wong ora ono sing duwe gawe. Sudah, balik duduk kamu,” perintah Rati. Mendengar jawaban Rati, sontak keempatnya tertawa. Rati hanya tersenyum sambil meracik empat gelas jumbo es teh.