Re:
Bagaimana dengan pertanyaan terakhir saya?
Apakah anda sudah menemukan jawabannya?
Tetapi biarkan saya menanyakannya lagi, “Apa dan siapa itu manusia? Untuk apa manusia hidup?”
Rasanya, saya sudah pernah menanyakan pertanyaan sejenis. Tetapi pertanyaan kali ini akan saya bawa ke ranah yang sedikit lebih tinggi. Bukan lagi di ranah manusia sebagai makhluk hidup ataupun makhluk sosial. Tetapi manusia sebagai makhluk hidup yang paling mendekati sempurna dalam dualitas semesta.
Mulai dari sini, topik saya akan lebih berat. Mungkin akan banyak menyinggung lebih dari sebelum-sebelumnya. Mungkin akan ada banyak yang terluka perasaannya, mual, eneg, merasa tidak nyaman. Saya mungkin akan mulai menggoncangkan tradisi dan kebiasaam yang telah lama ada. Mendobrak paksa pintunya, membuka lebar-lebar pemandangan yang ada di luar. Menyeret anda dari dalam goa Plato. Maka, tak bosan-bosannya saya katakan lagi: silahkan tutup buku ini sebelum kita melangkah lebih jauh lagi.
Tetapi jika anda masih ada disini, baiklah, biar saya mulai.
Manusia, dan segala kompleksitasnya. Terlalu banyak topik yang bisa kita mulai jika sudah membahas tentang manusia. Semua ada. Yang lucu, yang sederhana, yang menyebalkan, yang baik hati, yang kejam. Manusia punya semua.
Ketika kita dilahirkan, kita tidak membawa apa-apa. Tetapi seiring waktu, orang-orang di sekitar kita memberikan harapannya, hingga sampai dimana harapan-harapan itu kita jadikan milik kita sendiri.
Hidup yang penuh misteri. Kita tidak tahu dengan siapa kita akan bertemu nanti, kita tidak tahu kejadian apa yang akan kita lihat di jalan nanti, kita tak tahu, kapan kita akan mati.
Dengan segala kemisteriusan kehidupan, sudah menjadi sifat alami manusia untuk terus berkeinginan mempertahankan kelangsungan hidupnya, layaknya makhluk hidup-makhluk hidup yang lain. Tetapi ada satu hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain: kemampuan otak.
Kenapa saya sebelumnya mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang paling mendekati sempurna, tak lain adalah karena kemampuan otak manusia yang sangat luar biasa. Tetapi, tidak semua manusia memiliki kapabilitas yang sama dalam mempergunakannya. Ini pulalah salah satu bagian dari kerumitan yang saya maksud. Tapi bagaimanapun, ketika kita mampu menyingkap kerumitan ini, maka yang ada tak lagi sebuah benang ruwet. Yang terlihat hanyalah sebuah jalan yang terang dan membentang. Semoga.
Ray
Akhirnya kereta tiba di tujuan. Masih jam sebelas siang lebih sedikit. Kumasukkan kertas dari Pak Ringgit tadi kedalam kantung celanaku. Setelah menunggu antrian untuk keluar dari gerbong, segera ku langkahkan kakiku keluar dari stasiun Kotalama.
“Rasanya masih goyang-goyang,” ujar Haze di belakangku sambil membenarkan tali ranselnya. “Mau kemana sekarang, Bang?” tanyanya kemudian. Aku mengecek ponselku sebentar untuk melihat apakah ada pesan yang masuk.
“Langsung apa cari makan dulu?” tanyaku balik pada Haze.
“Makan,” jawabnya dengan berbinar. Tentu, aku juga sudah merasa sedikit lapar. Tanpa pikir panjang, ku ajak Haze melipir ke warteg sederhana yang ada di dekat stasiun, sambil sekalian aku mau merokok setelah sekian lama.
Setelah cukup puas, barulah aku memesan sebuah taksi online untuk membawaku ke tujuan selanjutnya: rumah Mbah Rati.
“Dari mana, Mas?” tanya sopir taksi online ketika pintu mobil baru saja ku tutup.
“Oh, dari rumah, Pak,” jawabku ala kadarnya. Sopir itu tertawa. “Bisa ae Masnya. Ini sudah sesuai map ya?” tanya sopir kemudian.
“Hmm, kurang lebih lah, pak,” jawabku.
“Lho? Kok kurang lebih? Ini saya turunin sesuai titik tapi ya?” sopir itu menoleh ke arahku sejenak. Aku mengiyakan saja pertanyaannya.
“Ini jauh dari sini, Bang?” tanya Haze.
“Dari sini mah jauh, setengah jam mungkin? Kalau gak macet,” jawabku. Haze tidak berkata apa-apa lagi, hanya membuka bungkus lolipopnya yang tadi beli di minimarket.
Setelah agak lama melewati area perkotaan, mobil mulai masuk ke kawasan pedesaan. Rumah-rumah dan bangunan yang tadinya padat di kiri-kanan jalan, mulai digantikan dengan hamparan sawah dan kebun di sana-sini. Meski kata orang cuaca disini dingin, menurutku apalagi masih tengah hari begini sama saja panasnya. Meski memang kuakui … rasanya sedikit sejuk.
Jalanan berkelok-kelok dan sesekali menanjak. Akhirnya, tiba di titik sesuai pesananku, dan kami pun diturunkan disana. Di depan sebuah gapura tua yang tampak berlumut di beberapa tempat dan beberapa bagian dindingnya yang tercongkel menampakkan tatanan batu bata di dalamnya. Di sebelah kiri dan kanan ada lahan kebun ilalang, dan di depannya ada sawah padi yang sudah sedikit menguning. Sebentar lagi siap panen rupanya.
“Turun disini, Mas?” tanya sopir itu sambil tolah-toleh memperhatikan tempat tujuanku yang tidak ada apa-apa.
“Iya Pak, disini aja. Tinggal jalan deket kok. Ini, makasih ya,” kataku sambil menyerahkan ongkos taksi, lalu bergegas berjalan melewati gapura.
“Kembaliannya Mas?!” teriak sopir itu saat aku sudah melangkah pergi.
“Ambil aja …!” balasku juga sambil berteriak.
Meski di kiri-kanan ditumbuhi semak ilalang, tetapi berjalan di tempat terbuka di tengah hari seperti ini memang benar-benar menyebalkan. Panas. Apalagi jalanan sedikit menanjak. Jalan ini cukup sempit, mungkin cuma muat satu motor … dua mungkin kalau harus mepet ke pinggiran, dan masih berupa jalan tanah yang sudah mengeras, saking seringnya dilewati orang dan kendaraan.
“Bang, ini ke rumahnya si mbok-si mbok itu?” tanya Haze memecah keheningan.
“Iya, Mbah Rati namanya,” jawabku sambil menenggak habis botol air mineral tanggung yang tadi tinggal separuh.
“Siapanya Bang Re? Mbahnya?”
“Bukan … gimana ya, aku dulu gak sengaja kenal sih,”
“Oh, gimana tuh ceritanya?”