Re:

AvaRe
Chapter #22

Dongeng 21 - Tanda Tanya

Re:

Mari kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia. ‘Bahagia’ adalah suatu keadaan atau perasaan senang dan tenteram yang bebas dari segala hal yang menyusahkan.

Menurut saya, ketika kita merasa senang, tidak ada beban, itu adalah bahagia. Tetapi, yang sering kita lupakan adalah: kebahagiaan ini tidak akan bertahan selamanya. Dan inilah salah satu kemutlakan dalam dualitas alam semesta yang senantias terus berputar.

Tetapi sudah pasti, semua orang akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan kebahagiannya sendiri. Kalaupun ada yang berkata apa yang ia lakukan adalah untuk membahagiakan orang lain, itu sebenarnya hanyalah salah satu cara untuk mendapatkan kebahagiaan bagi diri sendiri.

Ada banyak cara yang dilakukan manusia untuk memperoleh kebahagiaan selaras dengan fakta bahwa kebahagiaan itu memang relatif. Disisi lain, banyak orang meyakini dengan suatu kebahagiaan tunggal, yaitu yang sering disebut: kebahagiaan tertinggi. Sebuah level kebahagiaan yang melampaui batas imajinasi manusia. Sebuah kebahagiaan, yang dalam bayangan manusia, melebihi segala kebahagiaan yang pernah mereka rasakan di dunia.

Demi mencapai kebahagiaan tertinggi ini, kebanyakan orang yakin hanya bisa didapatkan melalui ajaran agama. Sedikit lainnya percaya bahwa demi mencapai kebahagaiaan ini harus melalui pemahaman spiritual dan latihan yang keras, beberapa lagi, menempatkan dirinya untuk tidak mempercayai adanya ‘kebahagiaan tertinggi’ ini.

Dalam kebanyakan kasus, orang-orang merujuk ‘kebahagiaan tertinggi’ ini sebagai surga atau firdaus. Sebuah tempat yang digambarkan begitu indah, memiliki segalanya, dimana manusia bisa mendapatkan dan melakukan apapun yang ia mau.

Sayangnya, tujuan ini terkadang seperti salah jalur. Agama, yang awalnya adalah sebuah sarana bagi manusia untuk meraih ‘kebahagaiaan tertinggi’, dewasa ini saya lihat telah jauh menyimpang dari tujuan aslinya. Banyak agama yang telah di ‘korupsi’.

Sebenarnya apa yang salah?

Kenapa bisa begitu?

Mungkin anda sendiri sudah tahu jawabannya.

Ray

Aku masih sedikit ragu untuk membaca buku catatan itu. Haze sudah agak lama mengabaikanku sendirian, sambil rebahan membelakangiku di atas dipan memainkan ponselnya. Aku duduk bersila di samping Haze. Mbah Rati entah sedang apa di dalam sana.

Kupejamkan mataku, sambil menghirup napas pelan-pelan. Kucoba memikirkan kembali salah satu pertanyaan Haze, sebenarnya untuk apa aku melakukan perjalanan ini? Begini, mungkin biar ku runut satu-satu:

Aku pergi camping dengan Haze kapan hari adalah untuk berdamai dengan masalah keluargaku, dengan trauma masa laluku, dan sebagai usaha untuk memaafkan diriku sendiri. Nah, disinilah letak masalahnya. Malam itu, setelah semuanya selesai dan Haze sudah tertidur dan aku masih terjaga sendiri, entah kenapa tiba-tiba aku merasakan sebuah keinginan untuk pergi ke suatu tempat, dan tempat pertama yang ingin ku tuju adalah disini. Alasannya? Intuisi saja. Aku adalah orang yang sebenarnya cenderung suka mengikuti intuisiku apapun itu, karena mereka jarang salah. Nah, maka dari itu, kucari waktu yang pas untuk memulai perjalanan ini.

“Ah,” ujarku tiba-tiba. Haze membalikkan badannya, menatap ke arahku.

“Kayaknya aku udah tahu kenapa aku kesini,” gumamku.

“Kenapa?” tanya Haze dengan masih berbaring.

“Untuk mencari jawaban,”

“Jawaban atas?”

“Pertanyaan. Pertanyaan kenapa aku kesini,” ujarku yakin.

“Dan jawabannya?” tanya Haze sambil beranjak duduk.

“Ya ini masih mau kucari,” jawabku. Tidak menjawab, Haze menatapku heran sambil mneggaruk-garuk kepalanya, lalu kembali berbaring ke posisi semula. “Gak jelas,” gumamnya kemudian.

Ah, apa jawabanku tidak menjawab apa-apa ya? Hahaha.

Akhirnya, ku raih buku catatan tua itu yang tadi kutaruh sebentar. Mungkin jawabannya ada disini.

Aku tidak tahu bagaimana aku harus menulis ini. Sejujurnya, ini semua terlalu aneh bagiku. Kakak, kalau suatu hari nanti Kakak membaca ini, mungkin Mama sudah gak ada di dunia. Tapi Ki Mojo bilang, kalau Mama ngomong begini langsung di depan Kakak, Kakak akan sangat marah ke Mama. Mama gak paham apa maksudnya, Ki Mojo juga tidak menjelaskan apa-apa. 

Tulisan ini, Mama tujukan khusus buat Kakak.

Mama waktu itu seneng banget ketika tahu Mama sedang hamil Kakak. Tetapi, ada kejadian aneh. Mama tahu Mama harus menceritakan ini kepada Kakak suatu hari, tapi maaf, Mama gak bisa menceritakannya langsung. Malah, Mama sempat kepikiran untuk menceritakannya hanya kepada Ki Mojo dan Mbah Rati, tapi mereka malah marahin Mama. Mama kekanak-kanakan, ya?

Sebelumnya, Mama mau bilang pesan yang disampaikan Ki Mojo sebelum Mama menceritakan ini. Ki Mojo bilang, “Ray sekarang ini sedang dalam kondisi tidak ingat apa-apa. Memang saya yang buat dia lupa. Karena saya kasihan. Tapi nanti ketika dia sudah benar-benar siap, dia akan akan datang sendiri agar bisa mengembalikan ingatannya yang hilang, ceritamu ini nanti yang akan jadi pemantiknya,” Mama, tetap tidak paham apa maksudnya. Tapi Mama pikir Mama perlu mengatakan ini kepada Kakak.

Maaf berbelit-belit. Mama akan ceritakan sesuai kronologi.

Pertama, beberapa bulan setelah Mama menikah dengan papanya Kakak. Mama bermimpi, didatangi seseorang yang memakai jubah serba putih. Mama tidak tahu wajahnya. Yang Mama ingat, orang itu berkata kepada Mama, “Selamat, kamu hamil. Tolong dijaga baik-baik,” itu saja, lalu Mama terbangun dan besoknya ternyata Mama tes dan beneran hamil. Ya, mungkin ini biasa saja, ya?

Tetapi, ketika usia kehamilan Mama sekitar delapan bulan lebih, Mama bermimpi didatangi lagi oleh orang yang sama. Ya, Mama tidak tahu memang siapa, tetapi Mama punya feeling itu memang orang yang sama. Dia hanya berkata, “Saya titip,” begitu saja. Dan Mama benar-benar kepikiran ucapan itu hingga hari ini.

Kakak akhirnya lahir, dengan sehat. Mama dan Papa sangat takjub ketika di usia satu tahun, kakak sudah bisa membaca kata-kata yang sederhana. Papa bahkan sangat bangga sekali dengan Kakak. Tetapi Kakak terkadang suka melakukan sesuatu yang sering membuat Mama dan Papa bingung.

Kakak sering ngobrol sendiri, bahkan pernah bermain sendirian seolah-olah Kakak bermain dengan banyak teman. Teman Papa bilang, kalau Kakak ini katanya anak indigo. Mama tidak tahu, apa iya? Tetapi kadang, Kakak tiba-tiba diem, sambil duduk bersila macam orang lagi meditasi dan kadang Kakak duduk seperti itu bisa sampai satu jam. Padahal tidak ada yang mengajari Kakak untuk itu.

Sejak kecil, Kakak tidak pernah nangis tiap jatuh atau terluka. Mungkin Kakak tidak ingat, kalau tidak salah pas umur Kakak tiga tahun. Kakak lari-larian, lalu jatuh. Kakak tidak nangis, malah dengan santainya Kakak datang ke Mama, dan bilang, “Kakak habis jatuh, berdarah,” Mama malah yang panik. Tapi … sering Kakak tiba-tiba nangis tanpa sebab. Kadang, Kakak nangis sangat parah. Ada yang bilang Kakak hanya sedang tantrum. Tapi Mama yakin, Kakak bukan tipe anak yang akan tantrum tanpa sebab yang jelas begitu. Kakak tidak pernah bilang kenapa Kakak nangis.

Lalu suatu hari, Kakak lagi-lagi nangis, sambil meringkuk dan memegangi kepala. Mama dan Papa panik, dan langsung bawa Kakak ke rumah sakit. Anehnya, setelah diperiksa, tidak ada apa-apa. Kakak sangat sehat. Meski begitu, Kakak masih sering nangis tiba-tiba seperti itu.

Hingga Mama akhirnya kepikiran, ingin membawa Kakak bertemu Ki Mojo. Papanya Kakak tidak mau, dan mengatakan kalau Ki Mojo itu dukun. Papa memang bukan orang yang mau percaya dengan hal-hal seperti itu. Lalu diam-diam tanpa sepengetahuan Mama, Papa membawa Kakak ke psikiater. Disana, kakak didiagnosa sebagai anak autis yang menderita DMDD (Disruptive Mood Dysregulation Disorder) atau kelainan yang mempengaruhi suasana hati.

Tapi … Mama tidak terima itu. Insting Mama sebagai seorang ibu … mengatakan kalau Kakak ini normal, tidak menderita itu semua. Mama berdebat hebat dengan Papa, dan Mama tetap merasa ingin membawa Kakak menemui Ki Mojo. Kalau dipikir-pikir, mungkin ini awal renggangnya hubungan Mama dengan Papa. Tidak, Mama tidak menyalahkan Kakak, jadi jangan sampai Kakak berpikiran seperti itu.

Akhirnya, setelah lelah bertengkar, papanya Kakak bilang terserah. Berdua dengan Kakak, Mama pergi menemui Ki Mojo. Dan benar, Ki Mojo-lah orang yang berhasil membujuk Kakak untuk mengatakan kenapa Kakak suka menangis tiba-tiba. Tahu apa jawaban Kakak? Kakak bilang Kakak nangis gara-gara di belakang rumah ada yang menebang pohon, di ujung gang ada anak yang menendang kucing liar, dan sejenisnya. Padahal Kakak ada di rumah, kadang sedang bareng Mama, dan Mama pun gak tahu ada orang-orang yang melakukan semua itu. Ki Mojo bilang, itu semua karena Kakak sangat sensitif. Itu adalah kelebihan Kakak, sekaligus menjadi kelemahan terbesar Kakak. Tetapi Ki Mojo hanya berpesan untuk mengawasi Kakak saja, lalu kita berdua pulang.

Hingga puncaknya, pernah waktu kelas satu SMP, Kakak nangis sampai demam berhari-hari bahkan sampai harus rawat inap di rumah sakit dan sempat masuk ICU, cuma karena Kakak gak sengaja melihat sapi yang disembelih waktu hari raya Qurban di sekolah.

Karena Mama udah gak mau lihat Kakak seperti ini, Mama bawa Kakak lagi menemui Ki Mojo. Tapi Mama benar-benar gak tahu apa yang dilakukan Ki Mojo kepada Kakak, sampai hari ini Ki Mojo mengatakannya sendiri. Memang semenjak saat itu, Kakak sudah tidak pernah lagi bicara sendiri, gak pernah nangis tiba-tiba. Tetapi, kepribadian Kakak sedikit berubah. Kakak dulu adalah anak yang sangat hangat, baik hati, dan sangat peduli sekali. Semenjak menemui Ki Mojo, Kakak memang masih baik, tetapi Kakak menjadi lebih dingin dan seperti tidak lagi peduli dengan sekitar Kakak. Disisi lain, Papa malah terlihat lebih senang dengan Kakak yang seperti itu.

Ya, pikir Mama, mungkin ini memang karena usia Kakak juga yang sudah mulai dewasa. Efek pubertas. Tapi Mama mau jujur, kadang Mama kangen banget sama Kakak yang dulu sangat hangat dan menenangkan. Meski Mama tahu, bagaimanapun Kakak tetaplah Kakak, anak Mama. Tidak ada yang berubah.

Aku menatap kosong tulisan ibuku itu. Kepalaku pusing. Lagi-lagi, kurasakan tubuhku mulai dibajiri keringat dingin. Rasa sakit yang menyengat itu kembali muncul di kepalaku. Refleks, aku memegangi kepalaku dan meraung kesakitan. Pandangan mataku menjadi kabur, dan … kosong. Aku tidak ingat apa-apa lagi.

Hal pertama yang kulihat setelah itu adalah, sepertinya aku sedang dalam posisi berbaring telentang, dan Haze yang duduk di sampingku sambil bermain ponsel, ketika melihatku sadar kembali segera berlari memanggil Mbah Rati di dalam rumah. Hal kedua yang kulihat, sebuah sorot lampu neon dari langit-langit dan dua ekor ngengat yang berterbangan mengitarinya, saling mengejar satu sama lain. Di seberang sana, langit sudah menghitam.

“Ini, minum dulu,” kata Mbah Rati sambil menyodorkan segelas teh hangat kepadaku yang baru saja beranjak duduk sambil memegangi kepalaku yang rasanya masih sedikit berdenyut-denyut. Aku lalu teringat dengan buku catatan itu, dan sudah tidak ada dimanapun, mungkin sudah disimpan kembali oleh Mbah Rati.

“Saya pingsan?” tanyaku entah kepada siapa, yang jelas siapapun yang ada di situ saat itu, baik Mbah Rati ataupun Haze.

“Iya,” jawab keduanya secara bersamaan.

“Berjam-jam,” lanjut Haze. “Tadi Bang Re tiba-tiba teriak sambil kesakitan. Aku bingung mau manggil 911, tapi baru inget disini gak bisa. Ehm, oke, maaf. Maksudnya, tadi aku pengen mesen taksi online buat bawa Bang Re ke rumah sakit, tapi tiba-tiba Mbah Rati dateng dan ngelarang. Katanya biarin aja gak papa, tapi aku masih khawatir,” jelas Haze tanpa kuminta. Aku hanya diam sambil memandangi gelas teh di genggamanku.

“Kamu sudah ingat?” tanya Mbah Rati kemudian setelah menunggu Haze selesai menyerocos.

“Rasanya … saya seperti baru bangun dari tidur panjang,” kataku sambil masih fokus pada gelas di tanganku. Mbah Rati menatap lekat ke arahku sejenak, sebelum akhirnya kembali berbicara, “Saya gak tahu apa yang sudah kamu ingat. Saya bahkan gak tahu siapa Ray sebenarnya. Yang saya tahu, hanya Ray, anak satu-satunya Arina, salah satu murid yang paling kusayang dulu. Ray, seorang anak yang diam-diam membuat Mbah Mojo sangat tertarik padanya, tapi saya tidak tahu kenapa. Dan yang saya tahu, tugas saya sudah selesai. Hari ini, menginap disini, kalian berdua. Besok, segera pergi. Bukannya saya mengusir, tetapi kamu yang paling tahu alasannya kenapa. Saya bahkan tidak tahu alasannya, hanya menyampaikan pesan dari Mbah Mojo saja. Sebenarnya, keinginan saya malah supaya kamu terus disini saja yang lama. Tetapi tidak mungkin saya mengabaikan amanat terakhir Mbah Mojo.”

Aku hanya mengangguk, tanpa membalas sepatah kata pun. Sedangkan Haze hanya menatapku dan Mbah Rati bergantian dengan tatapan bingung.

Re:

Mari kita kembali ke permasalahan terakhir kita: apa yang salah dengan agama saat ini?

Lihat selengkapnya