Re:

AvaRe
Chapter #23

Dongeng 22 - Benih Bintang

Re:

Saya jadi teringat dengan perkataan seorang Fisikawan Amerika bernama Lawrence M. Krauss, yang mengatakan, “Setiap atom di dalam tubuhmu berasal dari ledakan bintang. Atom yang berada di tangan kirimu bisa jadi berasal dari bintang yang berbeda dari yang ada di tangan kananmu. Ini adalah hal yang paling puitis yang kutahu mengenai fisika. Kalian semua adalah serbuk bintang.”

Atau perkatan dari seorang Astronomer yang juga sama-sama berasal dari Amerika, yaitu Carl Sagan, “Nitrogen di dalam DNA kita, kalsium di dalam gigi kita, zat besi di dalam darah kita, karbon di dalam pie apel kita, semua tercipta dari bintang yang hancur. Kita terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari bintang.”

Disaat yang sama, saya juga teringat pada satu kutipan yang saya lupa dimana saya pernah mendengarnya, yang berbunyi kurang lebih, “Jika kamu ingin mengetahui rahasia alam semesta, sebenarnya jawabannya sudah ada di dalam dirimu.”

Kalua begitu, apa korelasi dari ketiga kutipan yang saya bawa di atas? Bagi saya, itulah kunci. Sebuah kunci utama yang akan membawa kita menuju gerbang petualangan kita selanjutnya, perjalanan terakhir kita. Tapi saya tidak mau terburu-buru. Biarlah perjalanan ini berjalan dengan iramanya sendiri. Saat ini, kita masih setengah jalan. Kita nikmati dulu.

Ray

“Bang? Bang!” teriak Haze membuyarkan lamunanku. “Masih lama?” tanyanya kemudian. aku menatapnya, lalu mendengus. Pikiranku kosong. Aku juga bingung. Aku lalu menatap segelas cup kopi yang masih hangat yang kubeli di stand kopi minimarket di sebelah.

“Mau kemana, ya?” gumamku. 

“Kayak orang bego banget gak sih?” tanya Haze sambil membuka bungkus snack di kursi di sampingku.

“Hush!” sergahku. Ya, setelah meninggalkan rumah Mbah Rati, aku benar-benar blank mau pergi kemana. Tadi sih udah yakin sama insting. Nyatanya, sampai disini malah bingung mau kemana lagi.

Tak lama, kulihat beberapa pemuda memarkirkan beberapa motornya di halaman minimarket. Dari penampilannya, aku bisa menebak dengan mudah kalau mereka sepertinya akan pergi mendaki gunung. Ah, rasanya jadi ingin ikut mendaki.

Setelah menaruh carrier mereka di luar, beberapa pemuda itu masuk ke minimarket menyisakan satu orang yang sepertinya bertugas sebagai bagian jaga barang, yang berdiri tak jauh dari tempatku duduk.

“Mau naik kemana Bang?” tanyaku basa-basi. Pemuda itu, yang nampaknya lebih muda dariku, sepertinya masih mahasiswa, sontak menoleh ke arahku, terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba.

“Oh, ke gunung itu tuh Bang, itu …” katanya sambal menunjuk satu gunung besar di kejauhan yang dari sini nampak berwarna biru keabu-abuan. “Oh …” jawabku singkat sambil mengangguk-angguk.

“Darimana Nang?” tanya pemuda itu kemudian.

“Hmm? Oh, dari rumah,” jawabku. Pemuda itu lalu tertawa. “Iya juga ya,” lanjutnya. Aku hanya tersenyum menanggapi.

“Udah sering naik kesana?” tanyaku.

“Baru dua kali ini sih, Bang. Abang suka mendaki juga?” ia balas bertanya.

“Dulu lumayan, sekarang udah hampir gak pernah, sih. Disana bagus gak Bang? Jadi pengen ikutan,” kataku.

“Dari logatnya, Abang kayak bukan orang sini ya? Bagus Bang disana. Ayok bareng-bareng, hehe,” ajaknya basa-basi.

“Ntar deh, Bang, nyusul, hahaha,” kataku, bersamaan dengan teman-teman pemuda itu yang sudah keluar dari dalam minimarket.

“Duluan ya Bang. Nyusul ntar,” katanya setelah memakai kembali carriernya dan berjalan menuju motornya yang terparkir.

“Iya, siap. Hati-hati,” balasku.

“Kita mau kesana, Bang?” tanya Haze yang dari tadi hanya diam, setelah para pemuda itu akhirnya pergi. Aku menggeleng sambil menyeruput kembali kopiku.

“Kirain,” gumamnya.

“Kenapa? Kamu mau naik? Ayo aja kalau kamu pengen,” kataku datar. Haze malah menatapku dengan tatapan sebal. Entah kenapa. Aku memang kadang gak paham sama isi pikiran anak ini. Ia lalu meraih rokokku yang kutaruh di atas meja, lalu menyalakannya.

“Kamu sekarang jadi perokok, Ze?” tanyaku.

“Kan Bang Re yang ngajarin,” jawabnya sambil menjulurkan lidah. Hah, dasar.

“Ngomong-ngomong, Bang Re udah ingat semuanya?” tanya Haze kemudian.

“Ingat apa?”

“Yang katanya Bang Re lupa ingatan. Kayak sinetron,” katanya dengan nada mengejek. Kenapa hari ini anak ini rasanya benar-benar sangat menyebalkan? Aku hanya mengangkat bahuku sebagai jawaban, dan tidak mengatakan apa-apa.

Haze

Biar aku menceritakan ini. Sejujurnya, aku belum mengatakan ini pada Bang Re. Rasanya, sangat sulit menunggu waktu yang tepat. Sejujurnya, aku sangat … bingung. Aku bahkan sejak tadi bertanya-tanya, apa arti semua ini? Maksudku, aku tahu kalau Bang Re tiba-tiba mengajakku pergi ke suatu tempat, aku sudah mencoba memahami manusia yang terlalu sulit dipahami itu. Aku bukannya mengatakan kalau aku sudah memahami isi kepala orang itu, tapi aku tahu bahwa dia memang sesulit itu untuk dipahami, karena itulah aku paham. Aargggghhhh, apa sih yang kubicarakan ini.

Sejujurnya aku sama sekali tidak paham apa maksud perjalanan ini, setidaknya sampai kemarin malam. Semalam, sedikitnya aku sudah agak mengerti. Mungkin ini seperti suatu perjalanan spiritual. Bagi Bang Re, atau sejenisnya. Dan aku, yang entah bagaimana terlibat dengan semua ini.

Tapi inilah yang terus menghantui pikiranku sejak tadi pagi. Kenapa aku? Dari semua orang yang kenal dekat dengan Bang Re, teman-temannya di studio tato, atau mungkin teman-temannya yang lain yang aku tidak tahu, kenapa bukan mereka, tapi aku? Aku yang sebenarnya bukan siapa-siapanya, yang ketemu dengannya dengan cara yang sangat random beberapa waktu lalu—tak begitu lama. Tapi … ada satu perasaan jauh di dalam hatiku, meski aku tidak begitu yakin, bahwa ini memanglah tugasku.

Tunggu. Tugasku? Tugas apa? Aarggghhhh, kepalaku rasanya pusing.

Ray

“Ze, kenapa?!” tanyaku heran melihat Haze memukul-mukul kepalanya lalu mendengus kesal. Entah kenapa, ia malah menatapku dengan sebal. Apa salahku?

“Kenapa?” tanyaku lagi. Lagi-lagi, ia tidak menjawab. Tangannya menyambar box susu kotak rasa stroberi di hadapannya, lalu menyeruputnya dengan cepat sampai habis.

“Sebenarnya, tujuan kita ini mau ngapain sih, Bang?” Ia akhirnya bersuara. Aku mendengus sambil memejamkan mataku, lalu bersandar di kursi dengan keras. "Mau sampe kapanpun kamu nanya itu, aku juga masih gak tau jawabannya," jawabku malas.

Entahlah, tapi memang semenjak meninggalkan rumah Mbah Rati tadi, aku rasanya benar-benar bingung mau kemana.

"Kita cari hotel aja gimana? Hotel atau penginapan yang murah-murah gitu, sekalian dipikirin nanti mau kemana ..." ujarku kemudian sambil menatap Haze, meminta persetujuannya. Anak itu terdiam agak lama, lalu mengangguk. Aku tersenyum lega, karena entah kenapa sejak tadi aku merasa Haze sedang ngambek karena tiba-tiba kuajak bepergian seperti ini.

"Cari online aja ya, kamu yang cari apa aku?" tanyaku kemudian.

"Bang Re aja," jawabnya singkat sambil ngemil snack yang tersisa satu bungkus.

Setelah akhirnya menemukan satu hotel tidak terlalu kecil tapi juga tidak terlalu besar—bintang tiga—yang jaraknya ta kjauh dari sini, kuputuskan untuk langsung kesana saja. Mungkin kami berjalan sekitar 15 menit, sampai akhirnya tiba di depan gerbang hotel itu, dan aku langsung segera melakukan early check in. Tidak masalah, daripada harus berkeliaran gak jelas seperti orang yang gak punya tujuan—dimana itu sepertinya sudah menggambarkan situasiku saat ini, hahaha.

Setelah mendapatkan kunci kamar dan memasukkan barang-barang kami yang tidak seberapa, aku keluar kamar ke arah bagian lorong yang terbuka, tempat smoking area, sedangkan Haze dengan sigap bergegas mendahuluiku untuk masuk ke kamar mandi karena katanya sudah kebelet sejak tadi.

Suasana di hotel ini lumayan sepi, padahal sekarang sedang musim liburan. Sambil menghisap rokokku, aku bisa melihat pemadangan jajaran pegunungan di kejauhan.

Early check in?” sebuah suara tiba-tiba muncul disamping kiriku, sedikit mengagetkanku. Kulihat si pemilik suara seorang laki-laki berwajah khas kaukasia yang nampaknya berusia tak jauh berbeda dariku, sedang bersandar ke pagar dan mengapitkan sebatang rokok di antara kedua bibirnya.

Can I borrow your lighter?” tanyanya lagi. Tanpa menjawab, kuulurkan korek murah tiga ribuanku yang sejak tadi masih kugenggam kepadanya.

“Ma-kasih,” katanya agak terbata-bata sembari meraih korek dari tanganku. Aku hanya mengangguk lalu kembali memandangi pemandangan dihadapanku.

Vacation?” tanyanya kemudian sambil mengembalikan korekku. Aku mengangguk.

You too?” aku balik bertanya, rasanya agak aneh juga sejak tadi tidak menjawab pertanyaannya.

Yep. Honestly, I really want to go there …” katanya sambil menunjuk ke arah pegunungan. Aku hanya tersenyum.

Oh, right. I’m Luke. I didn’t see anyone else here since yesterday. I mean the guests, not the staff, haha, you’re the first one. Congrats! Hahaha,” kata pria itu sembari tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya kepadaku.

Ray. You came here alone, then?” tanyaku sambil membalas uluran tangannya.

Yep. Backpacking through Southeast Asia, and ended up here since yesterday.

“Asal dari mana?” tanyaku, masih menggunakan bahasa Inggris.

“Louisiana, New Orleans. Tapi rasanya sudah hampir delapan tahun aku tidak pulang. Kurasa sekarang aku sudah tidak punya rumah. Maksudku, sejak saat itu aku sudah tidak pernah membayar tagihan apapun yang menyangkut rumahku di New Orleans, hahaha. Mungkin mereka sudah menjualnya,” aku hanya tersenyum mendengar jawabannya.

“Menarik. Aku juga pernah kepikiran ingin menjadi seorang backpacker,” kataku kemudian.

Just do it then,” jawab Luke sumringah.

“Tidak semudah itu,” sergahku.

“Kau tahu, aku tidak tahu apa yang menghalangimu, tapi bukankah penghalang terbesarmu adalah dirimu sendiri?” ujar Luke sambil menatapku serius. Aku hanya diam sambil menghisap rokokku.

“Kalau begitu, ayo kesana,” katanya kemudian sambil menunjuk pegunungan yang sedang kupandangi itu.

“Hah?!”

Maybe you can find something there,” ujarnya bersemangat.

Yeah, the tress. A lot of trees … and mosquitos,” jawabku malas-malasan.

“Hahaha, bukan itu. Tapi sesuatu yang selama ini mungkin kamu cari-cari,” jelasnya. Baru aku membuka mulutku untuk bertanya apa maksudnya, suara pintu terbuka dibelakangku mengalihkan perhatianku. Haze keluar sambil menggosok-gosok rambutnya yang masih agak basah.

“Udah bang, gak mau mandi?” tanyanya kepadaku, lalu bergantian menatap Luke yang sedang berdiri di sampingku.

Your lil bro?” tanya Luke padaku. Aku mengangguk. Ia lalu tersenyum ke arah Haze.

What’s your name?” 

“Haze,” jawab Haze yang masih agak bingung dengan situasi tiba-tiba ini.

Hey, let’s go there!” ujar Luke bersemangat kepada Haze sambil lagi-lagi menunjuk ke arah pegunungan di kejauhan.

“Hah?!” kali ini Haze yang kebingungan.

“Ray, kau tahu, sebenarnya aku tidak ada tujuan untuk kesini. Maksudku, aku terakhir dari Yogyakarta, dan tujuanku selanjutnya memang ke Malang, tapi aku sudah melakukan semua yang ingin kulakukan disini. Pergi ke Bromo dan Kawah Ijen, sudah kulakukan semua. Seharusnya tujuanku sekarang adalah ke Bali. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku berakhir di hotel ini. Maksudku, memang ini bukan hotel yang mahal, tapi aku tentu akan memilih mencari penginapan lain yang lebih murah dari disini. Tapi aku tetap berakhir disini. Ini benar-benar bukan tujuanku. Ini sudah melenceng jauh. Tapi aku merasakan sebuah dorongan bahwa aku memang harus kesini. Kau paham maksudku?” jelas Luke panjang lebar.

Aku terdiam, mencoba mencerna ucapannya. Tapi masih tidak begitu mengerti. “Aku tidak paham,” jawabku singkat.

Oh, man. Listen. Aku akan memberitahumu tujuanku sebenarnya melakukan perjalan panjang selama depan tahun ini,” kata Luke.

Backpacking?” selaku.

“Ya. Itu alasan termudah. Aku memang ingin menjelajahi dunia ini. Itu impianku sejak kecil. Tapi bukan itu yang kumaksud. But it’s a journey to find ‘me’!”

To find, ‘you’?” tanyaku ragu.

Yes. To find ‘me’. Lebih tepatnya, untuk menemukan siapa aku sebenarnya. Kau bisa menyebutnya upaya pencarian jati diri,” lanjut Luke. “Dan entah kenapa, aku merasa kau juga sedang mencari hal yang sama, am I right?

Lagi-lagi aku hanya terdiam sembari mencerna segala ucapan pria asing yang baru saja kutemui ini.

“Mungkin kita memang perlu kesana,” ujar Haze tiba-tiba.

“Ya kan?” Luke bersemangat.

“Aku tetap tidak paham. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku ada disini,” gumamku.

“Bukankah aku juga sudah bilang, aku sendiri tidak tahu kenapa berakhir disini juga? We’re even, Ray,” ujar Luke.

Dipikir-pikir, benar juga. Kita berada di situasi yang sama, sama-sama berakhir disini tanpa alasan jelas. Rasanya memang benar-benar ada pendorong yang menarikku untuk berada disini. Bahkan jika boleh aku memikirkan ini sedikit lebih jauh, mungkin aku berakhir di hotel ini dan bertemu dengan Luke juga karena pengaruh tarikan tak kasat mata misterius itu.

Aku membuang sisa puntung rokokku yang sudah habis, lalu menyalakan sebatang lagi.

“Sebenarnya, selain ingin menjelajahi tempat-tempat baru, aku juga cukup tertarik dengan perjalanan spiritual. Sekitar empat tahun lalu aku sebenarnya sudah pernah ke Bali untuk belajar spiritual Hindu disana, dua tahun lalu, aku bahkan mengikuti retret tiga bulan sebagai biksu di Thailand, dan masih banyak lagi. Kau tahu, hanya perjalanan seperti itu yang tidak pernah ada di dalam daftar rencanaku. Semua terjadi begitu saja. Sama seperti saat ini.

Aku bukan orang relijius. Malah, aku sebenarnya tidak menganut agama apapun. Lagipula aku dilahirkan oleh keluarga ateis. Aku mengikuti kegiatan seperti itu bukan untuk mencari ‘Tuhan’. Aku tidak peduli. Aku mencari diriku sendiri.” Luke menghembuskan napas panjang sambil memandang ke arah pegunungan, tapi kurasa tatapan matanya menembus jauh melalui itu, entah kemana.

“Aku juga merasa begitu,” gumam Haze.

“Ha?” tanyaku heran.

“Kayak, Bang, entah kenapa rasanya aku juga kayak merasakan hal yang sama, sejak meninggalkan rumahnya Mbah Rati tadi,” jelas Haze kemudian. Aku menatap anak itu penasaran.

Semua hal tiba-tiba ini, lagi-lagi membuat kepalaku pusing.

“Mau mandi dulu lah, ngademin kepala,” kataku sambil bergegas masuk ke kamar, meninggalkan Haze dan Luke yang masih berdiri bingung saling pandang.

***

Kucuran air dingin itu membasahi kepalaku. Sembari kupejamkan mata, pelan-pelan kucoba untuk merunut segala keanehaan yang terjadi padaku belakangan ini. Dimulai dari kehidupanku yang biasa dan baik-baik saja, lalu takdir mempertemukanku dengan seorang anak laki-laki penyintas KDRT dengan hidupnya yang terlalu berat setidaknya menurutku, tetapi dia masih bisa berdiri dengan teguh, dan kupikir, pertemuanku dengan Haze-lah pemantik semua keanehan ini. Semenjak aku bertemu dengan dia, dan memutuskan untuk membuatnya tinggal bersamaku, satu-persatu hal-hal yang tidak pernah kubayangkan akan terjadi perlahan datang satu-persatu.

Tentang ibuku, konflikku dengan ayahku, masa lalu yang telah kulupakan, Mbah Rati, Mbah Atmojo, lalu kini tiba-tiba ada Luke. Sebenarnya aku lupa mengatakan ini. Aku tidak mengenal Luke, baru tadi aku bertemu dengan dia. Tapi entah kenapa aku merasa bahwa aku sepertinya sudah mengenal dia sejak lama. Entahlah, rasanya seperti … seorang kawan lama yang baru bertemu lagi setelah sekian lama. Arrggghh.

Lihat selengkapnya