Re:
Dosa dan pahala. Dua konsep yang sudah sangat akrab dalam setiap lini kehidupan masyarakat kita. Bahkan sejak dini, bahkan sejak kita masih belum mengenal siapa diri kita, kita sudah dijejali dengan segala konsep dosa-pahala oleh orang-orang di sekitar kita.
Corrupt, juga sudah melekat menjadi bagian tak terpisahkan dari manusia. Sudah seperti identitas yang sulit dilepas. Bahkan sifat korup ini sudah ada sejak level kanak-kanak, di bidang pendidikan, bahkan di lingkup RT.
Ah, kenapa bahasan saya meloncat begitu? Mungkin anda masih ingat saya pernah membahas tentang kita yang hidup di dalam dunia penghakiman sebelumnya. Jadi inilah yang ingin saya bahas kali ini. Tentang dosa-pahala, dan betapa hal itu pun tak lepas dari pengaruh corrupt manusia.
Tentu saya yakin semua setuju bahwa ‘dosa’ dan ‘pahala’ adalah sebuah ranah personal, bentuk nilai khusus yang diberikan Tuhan kepada manusia atas apapun yang telah manusia itu telah lakukan di dunia.
Tetapi, konsep dosa-pahala yang telah di corrupt oleh manusia ini, kini telah melenceng jauh maknanya. Ia berubah menjadi sebuah ranah penghakiman inter-personal yang horizontal, yang di alamatkan dari satu atau beberapa individu kepada individu lain.
Dengan mudahnya manusia mencap manusia lain sebagai pendosa, dengan mudahnya manusia mencap dirinya sendiri sebagai ahli pahala, padahal bentuk nilainya seharusnya bersifat abstrak, yang hanya dimengerti oleh Ia yang berhak, yaitu pemberi nilai itu sendiri, atau sebut saja, Tuhan.
Penilaian sepihak dan ngawur ini membuat sebuah penghakiman yang tidak selayaknya ada. Bolehlah kita berbicara moral, tentang baik dan buruk sesuatu, hitam dan putih. Tetapi jika sudah berbicara mengenai dosa dan pahala, saya rasa itu seharusnya tetap berada di liar jangkauan manusia. Ketika manusia itu sendiri merasa memiliki wewenang untuk memberikan nilai pada dosa dan pahala seseorang, maka, fungsi Tuhan sebagai si Maha Adil akan sangat dipertanyakan.
Tentu, saya tahu, meski manusia sudah sengotot itu untuk ikut andil dalam penilaian dosa-pahala, mereka sebenarnya hanya melakukan tindakan yang sia-sia. Bagaimanapun, bukan mereka si penentu. Tetapi bukan berarti hal itu boleh terus terjadi, boleh terus dilakukan.
Inilah kenapa, saya tidak pernah menyukai konsep dosa-pahala. Meski sejujurnya, saya bukanlah orang yang percaya dengan adanya kedua konsep penilaian ini.
Saya lebih menyukai hukum sebab-akibat. Sejauh pengamatan saya, entah bagaimana dosa-pahala malah menunjukkan sifat asli manusia yang corrupt, yang plin-plan dan tidak mau bertanggung jawab.
Contohnya begini, meski mereka suka menghakimi orang lain sebagai pendosa, tetapi ketika tiba diri mereka sendiri yang berbuat dosa, mereka akan berdalih dengan alasan khilaf. Atau kalau memang mengakui, tak jarang saya mendengar ada yang berkata, “Tidak apa-apa, sudah terlanjur. Biar nanti saya berdoa, beribadah, melakukan pengakuan dosa, dan memohon ampun kepada Tuhan. Tuhan pasti mengampuni saya, karena Tuhan Maha Pengampun.”
Ah ... Bagaimana mereka bisa seperti itu? Berkata seolah-olah berbuat dosa adalah suatu hal yang wajar dan urusan gampang, nanti juga bisa berdoa dan cari pahala lain. Bukankah itu sungguh tidak bertanggung jawab dan kekanak-kanakan?
Memang benar apa kata Freud, agama membuat manusia tidak dewasa. Tetapi saya tidak ada rencana untuk menjadi pihak penentang agama. Karena bagaimanapun, ‘agama’ akan menjadi salah satu kunci penting dalam perjalanan panjang ini.
Ray
“Jadi gimana, Kak? Kamu mau kerja di tempat Papa? Minggu depan kamu bisa langsung masuk, pas mumpung hari itu Direktur lama Papa mutasi ke Jepang. Kamu bisa isi itu posisi. Papa percaya sama kemampuan kamu,” ayahku menatapku dengan tatapan antusias dari bangku rotan di teras rumah mewahnya ini.
Aku menghelas napas panjang, sambil menghisap rokokku. “Nepotisme banget,” gumamku, yang kuyakin ayahku juga mendengarnya karena ia malah tertawa.
“Bukan itu tujuanku kesini,” kataku tanpa menatapnya, tapi aku bisa merasakan ayahku masih memandangiku dengan tatapan yang sama.
Oke, biar kuceritakan secara singkat. Sepulang kami dari Malang, aku langsung pergi ke studio untuk bagi-bagi oleh-oleh titipan. Karena sudah hampir malam, setelah itu kuputuskan untuk langsung pulang dan tidur. Esok paginya, atau tepatnya hari ini, aku sudah bertekad untuk menyelesaikan apapun masalahku dengan ayahku.
Aku pergi sendirian, tentu saja. Haze tidak ada hubungannya dengan ini semua. Toh kalaupun ku ajak dia juga pasti tidak akan mau. Capek, ngantuk, katanya.
Dan disinilah aku, di teras rumah mewah ayahku yang sejujurnya aku juga tidak pernah tahu rasanya tinggal di rumah besar ini. Semenjak aku memutuskan untuk tinggal sendiri, ayahku juga memutuskan untuk pindah rumah dengan alasan yang ini lebih dekat dengan kantor. Rumah lama kami masih ada, hanya saja disewakan sebagai villa.
Dipikir-pikir, rumah ini memiliki luas satu setengah … tidak, mungkin dua kali dari rumah lama kami. Tapi disini ayahku tinggal sendirian, meski sebenarnya ada satu sopir, empat pembantu, dan dua tukang kebunnya juga tinggal semua disini. Oke, lupakan itu.
Sebenarnya alasan aku datang kesini pagi-pagi sekali, selain untuk mengambil Rocco kembali tentu saja, adalah karena aku ingin semua masalah ini cepat berakhir. Toh sekarang mumpung hari Minggu. Tapi sialnya, saat aku tiba, ayahku malah masih asik bersepeda entah dimana, dan harus membuatku menunggunya selama 2 jam. Mungkin karena egoku juga, aku tidak mau meneleponnya. Daripada nanti dia pikir aku mencarinya karena butuh, ya kan? Hahaha.
Dua jam aku duduk disini sambil merokok. Aku juga sudah habis dua cangkir kopi hitam yang disuguhkan oleh Mbak Lilik, salah satu pembantu di rumah ayahku, dan ini cangkir yang ketiga. Untuk melepas bosan, sesekali aku mengajak Rocco bermain di halaman setelah kulepaskan dia karena aku melihatmya di kurung di dalam kandang di samping rumah.
Hampir tidak ada satu pun pekerja disini yang mengajakku berbicara selain basa-basi singkat tadi dan Mbak Lilik yang sesekali ku panggil untuk membuatkanku kopi lagi. Mereka semua menampakkan tatapan segan saat melihatku. Entah kenapa. Tapi kupikir karena ayahku adalah orang yang lumayan keras, dan lagipula semua orang yang bekerja disini adalah wajah asing semua. Tidak ada yang benar-benar ku kenal kecuali nama beberapa dari mereka, itupun baru tahu tadi. Tapi tak apa. Syukur malah. Karena aku sedang malas berbicara dengan siapapun. Otakku sedang dipenuhi berbagai skenario bagaimana aku harus berbicara dengan ayahku nanti setelah sekian lama.
Dan setelah dua jam itu, kulihat sebuah mobil off road merci memasuki halaman rumah. Setelah memarkirkannya di halaman depan garasi, kulihat ayahku turun disusul oleh Pak Kar. Awalnya dia berteriak kepada Pak Nono, salah satu tukang kebunnya yang berada tak jauh dari sana karena melihat Rocco yang bermain—tidak, tapi memakani rumput di halaman. Tapi dengan cepat ia menatap ke arah teras rumah, yang posisinya hampir setengah lantai lebih tinggi dari posisinya saat ini, melihatku yang sedang asik merokok di sana. Kulihat ia nampak terkejut, lalu dengan sumringah berjalan dengan bergegas ke arahku.