Re:
Sudah lama saya terus-terusan berputar-putar di titik roller coaster ini. Mungkin sekarang sudah tiba saatnya untuk pelan-pelan mengakhiri perjalanan ini.
Saya jadi teringat entah dimana, saya pernah membaca, kurang lebih begini isinya, “Jika kamu ingin mengetahui rahasia alam semesta, sebenarnya jawabannya sudah ada di dalam dirimu.”
Sempat lama saya tidak begitu memahami apa maksud kalimat itu. Memangnya ada apa dengan tubuh kita? Bagaimana ia bisa menyimpan rahasia alam semesta? Apa maksudnya? Atau mungkinkah diperlukan tingkat pemahaman spiritual tingkat tinggi untuk bisa memahami maksudnya? Misalnya seperti harus mencapai tingkat “kebuddhaan” begitu?
Tapi akhirnya saya mulai paham. Saya pernah menyinggung bahwa kita tercipta dari pecahan bintang-bintang. Darah, kulit, tulang, daging kita terbuat dari material yang sama dengan material pembentuk alam semesta. Dan saya jadi ingin tertawa. Ternyata jawabannya memang sesederhana itu, yang akhirnya membuat saya sadar. Kita tidak sedang hidup di dalam alam semesta. Kita-lah alam semesta itu sendiri. Kita adalah bagian dari kesatuannya, tanpa pernah bisa terlepas darinya.
Dengan menyadari bahwa alam semesta dan diri kita adalah bagian dari satu kesatuan, satu kesadaran, ini telah membawa saya satu langkah lebih dekat dengan akhir tujuan yang telah lama saya cari, Dia Yang Satu.
Selamat datang di babak akhir roller coaster ini.
Renggangkan sabuk pengaman, perjalanan kita sudah tak lagi banyak bergelombang. Tapi tetap waspada.
Ray
Udara ini cukup pengap. Seperti biasa, aku bersandar di kap depan mobilku sembari menghisap rokok, sambil memandang jauh ke arah pesawat yang baru saya lepas landas. Apa itu pesawat yang ditumpangi Haze? Ah, anak itu akhirnya berangkat juga.
Setelah beberapa bulan lalu ia ku ajak bertemu dengan ayahku, entah mereka saling mengobrolkan apa karena aku memilih untuk menjauh, yang kutahu sepertinya ayahku juga menyukai anak itu. Dan saat itu pula ia menyetujui permintaanku untuk menjadikan Haze sebagai anak angkatnya. Meski dengan begitu ayahku memaksa untuk turut membiayai kuliah Haze—yang sejujurnya aku sedikit lega juga, hahaha—tapi berakhir dia hanya membiayai biaya hidup senari-harinya saja. Karena aku sudah kepalang ego sudah mengatakan akan membiayai sendiri semua keperluan Haze.
Jalanan ini cukup ramai dengan kendaraan lalu lalang meski sebenarnya ini adalah jalan alternatif yang terletak di belakang bandara. Sebenarnya, sejak tadi pandanganku beberapa kali teralihkan pada sesosok perempuan tak jauh dari tempatku saat ini, sedang bersandar sendirian di atas dinding pembatas jalan, sambil sesekali mengarahkan kamera digitalnya ke arah pesawat yang lepas landas ataupun mendarat.
Dari penampilannya kukira dia seorang mahasiswi … seni dan seorang pencinta alam? Entahlah. Tapi penampilannya lumayan mendukung untuk teoriku. Kurasa rambutnya sepanjang bahu, karena saat ini rambut itu tengah ia ikat tinggi di belakang. Mengenakan celana cargo krem dan sepatu gunung, kaos hitam yang dibalut jaket flanel, mengenakan kacamata frame agak besar, dan tangannya menggenggam kamera yang ia kalungkan di lehernya. Tunggu … dia sedang melihat ke arahku juga. Aku mau pura-pura tidak melihatnya, tapi sialnya mata kita sudah sempat saling bertemu beberapa saat.
Aku mengalihkan tatapanku, pura-pura asik merokok. Tapi aku bisa tahu, perempuan itu kini sedang berjalan ke arahku. Ah, sialan. Aku tidak mau dikira orang mesum.
“Lagi lihatin pesawat?” tanyanya yang tiba-tiba sudah ada di sebelah kananku. Pandangannya sesekali di arahkan padaku dan layar kamera di tangannya.
“Oh, iya. Habis nganterin adik,” jawabku mencoba biasa saja. Perempuan itu tersenyum, lalu mundur beberapa langkah, lalu tiba-tiba ia memotretku yang sedang memandang ke arah bandara.
“Maaf?” tanyaku ketika sadar aku telah dijadikan obyek foto tanpa izin olehnya.
“Hehe, maaf. Kalau gak suka aku hapus kok,” jawabnya, sambil menyodorkanku kameranya, menunjukkan potretku yang baru saja ia jepret. Tak kusangka, ternyata hasilnya bagus juga.
“Kamu fotografer?” tanyaku. Kupikir tak masalah lah kubiarkan saja fotoku itu. Toh bagus. Perempuan itu mengangguk. “Masih belajar,” jawabnya singkat.
“Sudah bagus gitu, kayak pro,” komentarku. Ia menggeleng malu-malu, sambil menyeka kebelakang poninya yang jatuh di depan kacamatanya. “Sebenarnya aku lebih suka wild photography dan nature photography. Entah kenapa hari ini tiba-tiba ingin mencoba hal baru,” ujarnya. Aku mengangguk.
“Mahasiswi?” tanyaku mencoba basa-basi. Perempuan itu menggeleng.
“Sudah lulus dua tahun lalu. Sekarang kerja freelance, sambil menekuni hobi,” jawabnya sembari memamerkan kameranya.
“Sendirian?” tanyanya kemudian sambil mengangkat jari telunjuk tangan kanannya ke arahku.
“Iya,” jawabku singkat. “Kamu juga sendirian?” aku balik bertanya. Ia mengangguk. “Aku lebih suka sendiri.”
Tiba-tiba, ia mengulurkan tangan kanannya kepadaku. Pergerakan tiba-tiba yang membuatku sedikit tersentak. “Kenalan,” ujarnya.
“Oh, Ray,” kataku sambil membalas uluran tangannya.
“Mentari Pagi. Ray, Ray siapa?” balasnya.