Re:

AvaRe
Chapter #26

Dongeng 25 - Waktu

Re:

Apa yang akan anda lakukan jika anda tiba-tiba diberikan kesempatan untuk mengulang kembali waktu?

Apakah anda akan menerimanya dan kembali, lalu mengubah masa lalu anda?

Ataukah anda hanya ingin kembali untuk mengingat lagi momen-momen berharga yang kini hanya samar-samar tersisa di memori?

Ataukan anda tidak akan menerima kesempatan itu, dan cukup puas dengan kehidupan masa kini anda?

Ataukah … anda justru ingin meminta barter perjalanan masa lalu itu untuk diganti menjadi sebuah perjalanan masa depan?

Anda, saya, atau siapapun, pasti pernah berpikir untuk bisa mengulang lagi waktu yang telah berlalu. Mungkin ada sebuah penyesalan disana, atau hanya demi mengulang satu masa-masa indah yang kita yakini tak akan terulang lagi untuk kedua kalinya.

Tapi mau bagaimanapun, mengulang waktu adalah hal yang mustahil. Waktu selalu bergerak ke depan. Bahkan, waktu itu sendiri sebenarnya tidak kemana-mana. Kitalah yang menciptakan konsep waktu. Meski begitu, tak bisa dipungkiri semua akan bergerak maju. Entahlah kalau ada waktu mundur di suatu titik lain di dimensi alam semesta ini. Tapi setidaknya disini, waktu kita berjalan maju.

 Berbicara tentang waktu … meskipun ia berjalan maju, tetapi realitanya kita hidup di masa kini. Eksistensi kita ada di saat ini, di momen ini. Apa itu ‘saat ini’? Saya juga tidak tahu. Karena ‘saat ini’ yang saya maksud, sebenarnya telah menjadi ‘masa lalu’. Bahkan ketika saya menyelesaikan kalimat ini, atau ketika anda selesai membaca paragraf ini, itu semua adalah ‘masa lalu’.

Kita hidup di masa kini, tapi juga di masa lalu, dan juga masa depan. Dalam sepersekian detik, semuanya nampak seolah-olah begitu jelas. Saat ini saya menarik napas, beberapa saat lagi di masa depan saya akan menghembuskan napas itu. Dalam hal yang nampak jelas itu, sebenarnya juga tidak sepenuhnya benar-benar jelas. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Bisa saja dalam ritme tarikan dan hembusan napas saya yang terus bergulir di masa depan, ada satu momen ketika orang yang sedang duduk di hadapan saya tiba-tiba kentut yang mengeluarkan semerbak aroma yang membuat saya sontak menghentikan sementara rutinitas tarik-hembus napas, berjalan menjauh, untuk kembali bisa melanjutkan rutinitas ini. Siapa yang tahu?

Ada yang pernah berkata, hargailah waktu, jangan sia-siakan waktu, manfaatkan waktu sebaik mungkin, dan sebagainya.

Pertanyaan saya, sanggupkah kita benar-benar hidup dengan sepenuhnya sadar akan eksistensi waktu? Bahkan jika tidak saya singgung, saya yakin kebanyakan dari kita tidak akan sadar sudah berapa lama waktu berlalu sejak anda membaca bab awal buku ini, bukan? Dan membaca ini semua, apakah artinya anda sudah memanfaatkan waktu anda dengan baik? Atau sebaliknya, membaca ini semua telah membuang waktu anda dengan sia-sia? Entahlah, saya tidak tahu. Anda sendiri yang memiliki jawabannya.

Hidup di saat ini. Ya. Saya setuju. Kita baru bisa dikatakan ‘hidup’ jika kita benar-benar sadar bahwa kita hidup di saat ini. Bukan masa lalu, bukan masa depan. Tetapi menurut saya, ‘waktu’ tidaklah sekrusial itu. Tidak perlu anda memaksakan diri untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Tidak perlu anda memaksakan diri untuk berlomba dengan orang lain mengejar-ngejar waktu.

Nikmatilah waktu anda sendiri. Nikmati setiap momen bukan berarti anda harus memanfaatkan untuk melakukan sesuatu yang menghasilkan. Hanya duduk, ngopi, sambil melamun, itu juga tidak masalah. Menghabiskan 60 menit duduk di toilet untuk scrolling media sosial disaat sebenarnya anda hanya butuh waktu 10 menit, itu juga tidak masalah. Nikmati saja momen itu.

Meski begitu, jangan lupakan masa depan. Membuat beberapa rencana juga sama pentingnya. Jangan malah terlalu terlena untuk terlalu lama ‘hidup di masa kini’. Meski kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tetapi hanya diam dan tidak melakukan apa-apa saya rasa juga bukan pilihan yang bijak.

Ray

“Ketika seseorang mati, kemanakah dia pergi?” tanya Mentari saat mobilku melewati iring-iringan pengantar jenazah di kampung dekat hotel yang tadi ia tinggali.

“Entah, bereinkarnasi mungkin,” jawabku sekenanya, sembari membelokkan mobil keluar gang, kembali ke jalan raya. Mentari duduk di depan sambil memangku tas ransel besarnya, yang entah isinya apa. Mulutnya sesekali turut menyenandungkan lagu milik Tim McGraw - Live Like You Were Dying yang kuputar dalam volume rendah di ponselku yang terhubung dengan speaker di mobil.

… I went sky diving

I went rocky mountain climbing

Lihat selengkapnya