"Cepetan! nanti kita terlambat!" Nono berteriak sambil berlari mondar-mandir.
Aku hanya duduk di sofa cokelat sambil menikmati nasi uduk. Ayah, ibu, Adhizar, Aratha, dan aku hanya mengamati Nono yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Ia berlarian kesana kemari untuk mengambil tasnya, hoodie hitamnya, dan apapun itu.
"Kamu ngapain sih?" Tanya Adhizar sambil menahan tawanya.
"Bro! liat udah jam berapa..." Ucap Nono yang masih sibuk dengan kegiatannya.
"Kamu lupa? hah? tadi malam kan ayah nyuruh kamu beli baterai jam di warung. Eh, kamu malah sibuk main game. Jadinya gini nih." Akhirnya bibirku sudah tak terasa gatal lagi setelah memberitahu Nono bahwa jam dinding tersebut baterainya sudah tak berfungsi. Mendengar hal itu, wajah Nono langsung pucat seketika. Kami yang melihat ekspresinya, langsung tertawa tak terarah, kecuali ibu.
"Ya allah... tega banget sih baru ngasih tau sekarang." Nono menekuk bibirnya dan segera melepas sepatu yang sudah ia pakai.
"Shuuut... kasihan Nono. Udah sana kamu sarapan dulu. Makanya kalau disuruh orang tua langsung dilakuin, jangan game terus yang dipikirin," ujar ibu sambil mecubit hidung Nono.
"Makanya nurut, biar enggak kena prank..." Seru ayahku dan diakhiri dengan tawa berujung batuk.
"Ayah bisa aja," goda Adhizar "Yaudah Adhizar berangkat dulu ya," lanjutnya, lalu menciup telapak tangan ayah dan ibu. Seperti biasa, Adhizar berangkat bekerja magang di sebuah restoran pada pukul 05.30 pagi, karena lokasinya yang lumayan jauh dari rumah.
"Hati-hati ya nak," ucap ibu sembari mengelus kepalanya.
"Iya bu, Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam..." Kami menjawab salam. Adhizar menyalakan mesin motornya lalu bergegas pergi.
Aku menyuap nasi uduk terakhirku, kemudian menuju wastafel untuk mencuci piring dan gelas yang ku pakai.
"Sana pakai kerudung kamu, nanti ibu aja yang nyuci piringnya," kata ibu yang sedang menyapu lantai.
"Iya bu..."
"Cepetan pake kerudungnya... jangan kelamaan." Aratha menyambar begitu saja, padahal ia sedang mengunyah.
Sekolahku dan Nono, SMAN Rajawali searah dengan kampus Aratha. Kami terbiasa berangkat dengan menaiki angkutan umum bersama. Jadi, Aratha akan selalu mengoceh apabila salah satu dari kami terlalu lama dalam merapihkan diri, karena ia takut akan terkena macet. Padahal ia sendiri masih berlehai-lehai.
Aku segera berlari menuju kamar. Lalu, kubuka lemari kayu berwarna cokelat muda, kemudian kuraih kerudung segitiga putih di lipatan paling atas.
"Yah, lecek..." Aku menuju ruang setrika dan mengambil setrika hijau milik ibu. Kemudin aku berlari terbirit-birit menuju kamar, lalu kujadikan kasurku sebagai alas untuk menyetrika kerudung. Setelah selesai, aku memakai kerudung tersebut lalu kuakhiri dengan membelitkan jarum sebagai pengunci antara dua sisi kerudungku.
Bel masuk sekolahku berbunyi pada pukul 06.25 WIB dan sekarang jam yang terpampang di layar handphoneku menunjukkan pukul 06.15 WIB. Jarak dari rumah menuju sekolahku tidak terlalu jauh, sehingga hanya membutuhkan kurang lebih 10 menit perjalanan, itupun masih tersisa beberapa menit lagi, karena prinsip hidupku lebih baik menunggu daripada terlambat.
"Loh, kok kak Aratha masih belum pake dasi? Aku sama Nono udah siap, tinggal pake sep--"
"Emang pake dasi butuh waktu berapa jam?" Aratha memotong pembicaraanku dengan nada bicara yang datar namun tajam. Aku mutar bola mataku sambil menggerutu di dalam hati.
Aku dan Nono segera memakai sepatu di teras rumah, lalu menunggu Aratha. Pagi-pagi seperti ini Nono sudah sibuk dengan game onlinenya. Aku benar-benar tidak suka kegiatan itu.
"No, ini tuh masih pagi tau enggak! nanti otaknya rusak loh," cetusku pada Nono yang sangat serius memainkan game.
"Iya... tanggung nih,"
"Yaudah pause dulu,"
"Game online mana bisa di pause, ahahahahah..." Nono menertawaiku karena menyuruhnya menghentikan game onlinenya tersebut.