Sudah dua hari aku tidak sekolah. Sepanjang hari aku hanya membaca-baca buku pelajaran dan juga beberapa novel lama yang kutemukan di tumpukan buku. Sebenarnya aku ingin sekolah walaupun masih sedikit trauma dengan kejadian yang lalu. Aku sudah dapat berjalan, namun dokter menyarankan agar aku tidak terlalu beraktifitas terlalu berlebihan, seperti naik dan turun tangga. Terlebih lagi, ruang kelasku berada di lantai tiga. Selama keadaanku seperti ini, keluargaku terus memperhatikanku. Setiap malam, Nono selalu menjelaskan padaku apa yang tadi dipelajari di sekolah. Setiap pagi, Aratha pun selalu mengantarkan teh hangat untukku, namun tetap saja, ia hanya sedikit berbicara padaku.
Hari ini aku merasa bosan berada di kamar terus menerus. Jadi, aku berjalan keluar kamar, lalu duduk di kursi kayu teras rumah untuk menghirup udara segar. Hari ini adalah hari Rabu, pukul 09.35 WIB. Di rumah, hanya ada ibu. Ayah menjaga toko buah tetanggaku, Adhizar dan Aratha kuliah, sedangkam Nono sekolah. Oleh karena itu, suasana di rumah sangatlah sunyi. Aku memutuskan untuk mencari udara segar di taman di dekat rumahku alih-alih menenangkan pikiran.
"Oh, kamu disini..." Ibu menghampiriku dan mengelus lembut kepalaku.
"Iya Bu, aku tuh bosen banget di rumah terus." Aku memasang wajah memelas, berharap ibu tersentuh ketika melihat ekspresi konyolku itu.
"Loh, terus kamu mau kemana?" Tanya ibu dengan logat jawanya.
"Aku mau ke taman bu, sebentar doang kok. Please..." Aku menatap wajah ibu dengan saksama.
"Mau ibu temenin?"
"Enggak usah bu, insya Allah aku bisa jaga diri kok," ujarku memastikan kepercayaan ibu.
"Yowes, ibu sebentar lagi juga mau pergi buat jenguk temen ibu, kuncinya ibu taruh di bawah pot bunga ya..."
"Ok, yaudah bu... aku mau pakai kerudung dulu." Aku mempercepat langkahku menuju kamar. Lalu kubuka lemari pakaianku untuk mengambil kerudung hitam, dan langsung kukenakan. Kemudian aku mengunci pintu kamar, dan menghampiri ibu yang sedang bersiap-siap untuk pergi dengan parfumnya yang beraroma melati, menyerbak ke seluruh ruangan.
"Bu, aku pergi dulu ya... Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam... Hati-hati," sahut ibu.
...
Ketika sampai di taman, aku duduk di kursi kayu yang terletak di bawah pohon mangga. Suasana riuh dari anak-anak yang sedang bermain bola, teriakan-teriakan para pedagang keliling, serta suara knalpot motor menjadi ciri khas sendiri bagi lingkungan kecil di kota Jakarta. Aku sempat berpikir, jika besar nanti aku akan pergi ke tempat dengan kicauan burung dan deburan ombak yang menenangkan hati, untuk mengupas seluruh kepenatan di dalam hidupku.
"Permisi." Tiba-tiba seseorang datang, membuyarkan lamunanku.
"Iya, ada ap--" Aku sangat terkejut ketika melihat siapa yang ada di hadapanku sekarang. Matanya yang indah, dan senyuman manisnya terlihat tidak asing bagiku. Benar! itu adalah laki-laki yang ketika itu tersenyum padaku. Tubuhku terasa diikat, bibirku seperti dilakban, dan mataku terpaku pada tatapannya.
"Maaf?" Ia melambaikan tangannya di depan wajahku, dengan cepat aku langsung tersadar.
"Eh iya," sahutku sambil melebarkan mataku.
"Tadi gue duduk disini, tapi ternyata udah ditempatin sama lo," ucapnya membuatku segera beranjak dari kursi.
"Ya ampun... Aku enggak tau, maaf ya. Yaudah aku duduk di tempat lain aja deh." Aku segera melangkahkan kakiku, namun dengan lembut ia mencengkram pergelangan tanganku.
"Eh tunggu, maksud gue bukan kaya gitu. Gue cuma mau gabung aja sama lo, bolehkan?"
"Bo-boleh kok. Tapi ini..." Aku menatap wajahnya, kemudian tatapanku bergulir ke arah tangannya yang masih mencengkram tanganku.
"Oh, sorry..." Ia segera melepaskan cengkramannya. Kemudian, kami duduk di kursi tersebut, dengan jarak sekitar dua jengkal.
"Nama lo siapa?" Ia bertanya sambil menatapku.
"Sharza Narava," jawabku sambil tersenyum tipis.
"Namanya cantik, kaya orangnya."
Mendengar ucapannya, mataku mendelik seketika sehingga aku segera memalingkan pandanganku darinya. Apakah ia berbohong padaku? wajahku yang terlihat seperti jalan berkerikil ini dibilang cantik?
"Lo kenapa?" Ia menolehkan kepalanya sedikit.
"Enggak," ucapku singkat. Ia bangkit dari duduknya, lalu berdiri di hadapanku.
"Percaya sama gue, lo itu cantik. Lo itu beda dari yang lain," ujarnya. Air mataku menetes, dan segera kuseka. Hatiku terasa teriris saat mengingat-ingat orang yang telah merendahkanku.
"Apa yang kamu pikirin? Kenapa kamu mau temenan sama aku?" Tanyaku dengan suara yang sedikit serak.