Seiring melintasnya waktu, keluargaku semakin erat dengan Revo. Setiap Sabtu atau Minggu, ia kerap mengunjungi rumahku untuk bermain game online bersama Adhizar dan Nono. Walaupun kami sudah akrab entah mengapa aku masih sedikit gugup jika berada di dekat Revo.
Titis hujan yang berjatuhan, membuat aroma petrikor mulai terhirup. Setelah shalat Maghrib ini, keluargaku berkumpul di ruang tengah untuk melakukan tadarus Al Qur'an bersama, kemudian dilanjutkan dengan shalat isya berjamaah.
Esok adalah hari Senin. Sudah saatnya untukku kembali melangkahkan kakiku ke sekolah. Namun sayangnya Nono sedang demam, sehingga ia harus izin untuk tidak masuk sekolah. Oleh sebab itu aku harus berani untuk mengatasi kicauan tajam dari para murid penggunjing tanpa disandingi oleh Nono. Lagi pula aku juga masih memiliki Lala.
Kubuka lemari jatiku yang berisi tumpukan buku-buku pelajaran. Setelah itu aku mulai menyiapkan buku yang harus kubawa untuk jadwal hari Senin. Ketika sudah rampung aku menuju ranjang, kemudian kutumpuk dua bantal untuk kutiduri. Aku terus menatap langit-langit kamarku yang sedikit berdebu. Mataku masih sangat segar untuk mendelik, sedangkan rasa bosan masih menggeluti pikiranku. Memainkan gawai bukanlah prioritasku, di sisi lain semua novel yang ada di kamarku juga sudah berulang kali kubaca. Lantas, aku pun menuju kamar Nono untuk mengajaknya bercengkrama, alih-alih menghilangkan rasa peningnya.
Di samping kamarku adalah kamar Aratha. Sedangkan letak kamar Nono dan Adhizar berada tepat di depan kamar Aratha. Jadi jika dibuat suatu gambar dalam bentuk garis, akan terlihat segitiga siku-siku yang menyatukan ketiga pintu kamar kami. Selain membaca novel dan menggambar, aku benar-benar menyukai pelajaran matematika. Menurutku, pelajaran tersebut merupakan sebuah petualangan yang telah dan sedang kulalui secara tidak langsung.
Kuketuk pintu kamar Nono, namun belum ada respon apapun. Kedua kalinya aku mengetuk pintu sambil meneriaki namanya, tetapi masih juga belum ada respon.
"Kayaknya Nono udah tidur, deh..." Gumamku seraya membalikkan badan.
"Ngapain Shar?" Tanya Adhizar yang hendak membuka pintu kamar Nono dengan tangan kanannya, karena tangan kirinya tengah membawa setoples keripik singkong.
"Tadinya mau ngobrol sama Nono. Dia udah tidur ya, bang?"
"Lah, udah diketok pintunya?" Tanyanya kembali.
"Udah... tapi enggak dibuka-buka pintunya," jawabku sambil mengerucutkan bibir.
"Pasti dia lagi make earphones. Yaudah yuk, masuk." Adhizar membuka pintu Nono dan aku berjalan membututinya. Ternyata benar! Nono sedang tengkurap di atas ranjang sambil menggunakan earphone. Kuputar bola mataku sembari menghela nafas.
"Nono!!!" Aku berteriak di depan wajahnya. Ia pun segera melepaskan earphones kesayangannya itu.
"Hah?"
"Hah hoh hah hoh, makanya jangan main HP mulu..." rutukku kesal.
"Lagi dengerin musik ih, emang mau ngapain?" Tanya Nono sambil menyimpan earphonesnya di dalam laci kecil.
"Aku belum bisa tidur. Temenin ngobrol kek atau ngapain kek," ucapku sedikit memelas.
"Nih mau nonton film," ucap Adhizar, membuat pandanganku tertuju pada layar laptopnya yang menampilkan sebuah poster film action.
"Ih seru nih! sebentar, aku mau ngambil minuman dulu." Kulangkahkan kakiku dengan cepat menuju dapur untuk mengambil teh kotak yang berada di kulkas.
"Untung aja masih ada satu," gumamku sambil menutup pintu kulkas.
"Eh, itu punyaku!" Tiba-tiba Aratha keluar dari kamar mandi dan langsung menyeruiku.
"Aku juga belum minum. Buat aku aja ya," pintaku pada Aratha yang tengah menatapku gusar.
"Ih, nyebelin banget sih! yaudah tuh buat kamu aja." Aratha memalingkan wajahnya dariku.
"Makasih kakakku yang paling--"
"Apa?!" Seru Aratha. Akupun terkekeh dan langsung berlari kecil menuju kamar Nono.
...
Setelah menghabiskan waktu dua jam untuk menonton film tersebut, mataku mulai lelah dan mengantuk. Mendadak sebuah ketukan pintu terdengar dan membuatku terkesiap.
"Ya ampun... masih pada belum tidur?" Tanya ibu dari celah pintu yang dibukanya.
"Ini mau tidur..." Aku beranjak dari dudukku sambil memegang bahu Nono sebagai tumpuanku berdiri.
"Allahuakbar... mata udah sayu begitu, yaudah sini ibu tuntun ke kamar daripada kamu nabrak tembok," kata ibu, membuat Nono dan Adhizar tertawa cekikikan.
"Enggak usah ketawa," ucapku dengan nada sebal.
Ibu merangkulku menuju kamar. Rasanya aku sudah benar-benar tak mampu untuk mengangkat kelopak mataku. Akupun segera menyusun bantalku dan segera berbaring menghadap ke kanan.
"Jangan lupa baca doa." Ibu mengelus rambutku, lalu mematikan lampu kamarku.
"Iya bu..."
Ibu pun segera keluar kamar, kemudian menutup pintuku. Dengan langkah layu, aku mengunci pintu kamarku dengan tujuan mencegah seseorang melihat posisi tidurku yang menyerupai katak, ular, cicak, bahkan posisi tidur aneh lainnya. Setelah itu aku kembali menidurkan tubuhku di ranjang dan segera kubaca doa sebelum tidur. Akhirnya aku pun terlelap dalam tidurku yang amat nyenyak.
...
"Sharza!!! Bagun!!!" teriakan dari luar pintu membuatku terbangun dari tidur pulasku.
"Hah?! Jam 6?!" Pekikku seraya mendelik. Aku sangat panik ketika melihat jarum jam sudah berlabuh di angka enam. Bel masuk sekolahku berbunyi pukul 06.25, sedangkan aku harus berangkat 10 menit lebih awal. Berarti, aku hanya memiliki waktu 15 menit jika tidak ingin terlambat. Dengan cegatan, kuraih handuk putihku yang menyantel di pintu, kemudian kubuka pintu kamarku dengan cepat. Ibu dan Aratha yang berada di hadapanku, menggeleng-gelengkan kepala. Namun, aku mengabaikannya dan segera melangkah dengan cepat menuju kamar mandi.
Setelah lima menit mandi, kemudian aku memakai seragam, kerudung, dan sepatu selama delapan menit. Aku tak perduli seperti apa penampilanku sekarang, bahkan aku tak sempat untuk sarapan terlebih dahulu.
"Sharza berangkat ya..." Aku mencium tangan ayah dan ibu Secara bergantian, belum lagi aku harus menunggu angkot. Hari ini Aratha kembali dijemput oleh temannya, sehingga aku harus berangkat sendiri. Sungguh menyebalkan!
Aku berlarian dengan suara alat tulis yang berbenturan di dalam tasku memberi kesan menggangu di sepanjang jalan. Masih tersisa delapan menit lagi untukku memasuki gerbang sekolah. Selama di angkot, keringatku bercucuran dan membuatku terasa sangat tak nyaman, namun sebenarnya itu lebih baik daripada harus berhadapan dengan Bu Henny, guru BK.
Ketika angkot yang kunaiki hampir sampai pada pemberhentianku, kakiku sudah mengambil ancang-ancang terlebih dahulu agar langkahku ketika turun lebih cepat dan juga tanganku yang sudah menggenggam uang 5.000 rupiah. Akhirnya angkotku berhenti tepat ketika satpam sekolahku tengah menutup gerbang.
Aku segera memberi uang itu pada sang supir. "Ambil aja kembaliannya, bang..." Seruku sambil menengok ke kanan dan kiri untuk menyebrang. Untung saja jalanan sedang lengang, sehingga aku dapat langsung menerobos menyebrang.