"Assalamualaikum..."
Kulangkahkan kakiku memasuki rumah dengan lesu. Latihan paskibra hari ini benar-benar telah menguras tenagaku. Ditambah lagi dengan angkot yang kutunggu tidak datang-datang. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan sambil sesekali menoleh ke belakang, barangkali ada angkot yang melintas. Dan yang paling menyebalkan ialah, angkot tersebut baru muncul ketika aku sudah berjalan jauh hingga mendekati gapura jalan Vanila!
"Bu... Sharza pulang..." Tak ada sahutan dari ibu. Mungkin ia sedang keluar rumah. Nono masih latihan basket di sekolah karena minggu depan sekolahku akan mengikuti turnamen basket antar SMA.
Kulempar asal tasku ke atas ranjang. Kemudian aku segera melepas hijabku dan membersihkan wajah. Setelah itu aku menuju dapur untuk menyantap masakan ibu.
Tumis kangkung serta sebuah lele goreng terpampang di atas meja. Kupotek lele tersebut menjadi dua bagian. Aku mengambil bagian atas dan bagian bawah kusisakan untuk Nono.
Setelah menyiapkan makan, aku menuju ke ruang tengah untuk menonton televisi sembari mengunyah makananku.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu menghentikan rahangku yang bergerak. Aku meletakkan piringku di atas meja dan segera menghampiri asal suara tersebut.
Tok tok tok
"Iya sebentar..." Kupikir itu adalah Aratha atau Nono. Namun ternyata, mataku membulat ketika Claudia berada di hadapanku sekarang. Tampilannya sangat feminim dengan dress bunga-bunga dan rambutnya di ikat satu.
"Hai." Claudia tersenyum ramah, membuatku sedikit mengerutkan alis. Ada apa ini? mengapa sikapnya mendadak berubah?
"Masuk," kataku sambil tersenyum kaku.
"Duduknya di karpet?" Tanyanya, namun aku sedikit kurang mendengar perkataannya karena intonasi suaranya semakin mengecil.
"Kenapa?" Aku menoleh bertanya.
"Enggak kok." Claudia melebarkan senyumnya. Aku hanya mengiyakan perkataannya dengan ekspresi datar.
"Kamu tau rumah aku dari siapa?" Tanyaku menatapnya kendur.
"Reyan."
Aku mengangguk pelan dan menuju dapur untuk memberinya segelas air putih. Kubuka pintu kulkas untuk mencari camilan, namun aku tak menemukannya. Mau apalagi? jadi, aku hanya menyuguhkannya air putih. Sungguh mengesankan!
Aku kembali ke ruang tamu sambil mencengkram segelas air putih. "Itu lo?" Tanya Claudia sambil menunjuk foto di dinding yang menampilkan wajahku yang sedang tertawa ketika berumur tujuh tahun.
"Iya." Aku menyibakkan rambutku, membuatnya menatapku sinis lalu kembali tersenyum.
"Dulu lo cantik banget. Kok--"
"Aku jatuh dari sepeda dan dioperasi berkali-kali." Aku menyelak pembicaraannya untuk menghindari ingatan itu kembali menerkamku.
"Astaga," lirihnya dengan ekspresi datar.
"Ada yang mau diomongin?" Aku mengangkat satu alisku, mencoba bersikap dingin di hadapannya.
"Lo suka pantai?" Pertanyaannya merubah ekspresi wajahku menjadi sumringah.
"Suka!" Sahutku dengan cepat.
"Gue mau ngajak lo ke pantai. Di sana pemandangannya so... pretty!" seru Claudia meyakinkanku.
"Sama siapa aja?" Tanyaku dengan mata membulat.
"Gue, lo, Reyan, Ikmal, and... Revo." Raut wajahnya sedikit berbeda ketika ia menyebut nama Revo. Apa mungkin dia benar-benar menyukai Revo?
"Gue boleh ngajak temen?" Tanyaku padanya. Teman yang kumaksud adalah Lala, karena ia juga sangat menyukai pantai sama sepertiku.
"Boleh sih. But, lo harus bantuin gue." Claudia memiringkan senyumnya.
"Bantu apa?"
"Gue suka sama Revo." Deg! Mengapa ketika ia mengatakan hal itu dadaku menjadi sakit? Revo hanyalah teman untukku, tetapi rasanya aku tak rela jika ada perempuan yang menyukainya.
"..."
"Please... bantuin gue," ucap Claudia sambil mengelus pundakku.
"Iya. Nanti gue bantuin." Aku menurunkan tatapanku.
"Yey! Thank you!" seru Claudia sambil memelukku. Aku tidak membalas pelukannya karena aku sudah tahu jika ia hanya memanfaatkanku untuk mendekati Revo.
"Assalamualaikum..." Aratha sudah pulang. Itu sedikit membuatku lebih percaya diri ketika berhadapan dengan Claudia.
"Waalaikumsalam... Clau, ini kakak kedua gue." Aku menatapnya dan beralih menatap Aratha yang tersenyum ramah kepada Claudia.
"Claudia,"