Kesadaran yang mulai menguat di otak, membuat kelopak matanya perlahan terangkat dan membuat ia melihat warna putih yang ganjil karena terlalu bersih. Pemandangan tersebut, bukan dihasilkan oleh langit-langit, bukan juga dinding, atau benda lainnya. Sebab semua hal tersebut tidak ada di tempat ini.
Bertumpu pada kedua tangannya, ia bangkit dari keadaan terbaring, untuk disuguhkan hamparan putih tanpa batas yang akhir-akhir ini mulai akrab di matanya. Ia mengenal tempat ini ..., atau mengira seperti itu. Tempat yang semula ia kira sebagai ruang ketiadaan, tempat di mana jiwa yang telah berpulang saat meninggalkan kefanaan berkumpul. Selalu kembali untuk pergi dari tempat ini, membuat ia tahu, dugaan tersebut suatu kesalahan. Tempat ini bukanlah dimensi tinggi tersebut.
Ruang daur-ulang. Itu nama yang ia sematkan pada tempat ini.
Ruang yang mana lebih tinggi dari kefanaan, namun juga lebih rendah dari dimensi ketiadaan. Tempat pemberhentian sementara untuk orang-orang seperti dirinya, setelah selesai menuntaskan peran yang diemban. Tempat yang sama di mana ingatan akan hal lalu dihapuskan, sebelum menjalani peran baru.
Atau ... seharusnya seperti itu.
Meski ia masih menjalani dua siklus yang berlangsung di tempat ini, untuk kembali dan pergi. Ingatannya yang seharusnya terhapus, tetap tinggal. Pada awalnya, serangan yang sepura dengan déjà vu, hanya ia anggap sebagai bentuk distorsi ingatan. Sampai kemudian segalanya kian menguat dan tidak terelakkan. Membangunkan kesadaran diri yang semula tertidur. Membuat ia sadar bahwa dirinya adalah salah satu tokoh dalam cerita yang dituliskan oleh seseorang.
Tepatnya seorang yang melakoni tokoh antagonis dalam sebuah jagat raya fiksi.
Atas fenomena yang ia alami, dirinya pun bingung untuk menyikapinya. Hanya bisa terus melakoni peran yang diberikan padanya dan berpura-pura bahwa ia tidak memiliki kesadaran akan dirinya yang hanyalah sebuah tokoh dalam cerita. Meski sebuah pertanyaan terus bergema dalam kepalanya, saat tiba di tempat yang ia namai sebagai Ruang Daur-ulang. Sebuah pertanyaan: ‘Bagaimana jika hidup yang selama ini kamu jalani hanya sebuah cerita yang dituliskan oleh seseorang?’
“Selamat datang kembali dan terima kasih atas kerja kerasnya.”
Sapaan yang sistematis dan dingin tersebut bergema langsung di kepalanya, tanpa menunjukkan identitas pemilik suara tersebut. Di awal, saat ia baru memiliki kesadaran, suara yang bergema di kepalanya membuat ia terkejut dan takut akan keganjilan tersebut. Namun setelah berkali-kali mendengar, membuat ia kehilangan kedua rasa tersebut, bahkan membuatnya bosan karena harus mendengarnya berkali-kali.