RE:VISION

erzetha
Chapter #1

Memory 1: Aran Kalantara #2

"Kalau begini, Tuan bisa mati terlebih dahulu bahkan sebelum bisa merebutnya!" seru suara dalam kepalaku.

“Aku tidak akan membiarkan itu terjadi, aku akan tetap hidup, dan aku juga akan merebutnya, meskipun itu dari takdir sekalipun!” Teriakku.

Karena adanya system error, sekarang ini aku sedang terjun bebas di ketinggian 140 meter, beberapa meter lebih tinggi dari Monumen Nasional.

Tidak seperti di dalam air, bukanlah perkara mudah menstabilkan tubuh di langit.

Dalam hitungan menit saja, wajahku sudah siap menghantam tanah.

BUM!

Lalu ....

Aku terbangun dari tidurku.

“Selamat pagi Tuan Aran. Jam sudah menunjukkan pukul 5.05, sudah saatnya tuan bangun,” sapa Electronic Personal Assistant (EPA) milikku yang berwujud perempuan berambut pendek berwarna biru muda, berkacamata, dan memiliki suara yang bisa membuat orang yang mendengarnya justru tertidur lagi saking lembutnya—yang keluar dari device berbentuk lingkaran dengan diameter 1,5 meter yang bernama Holoprojector, sebuah device yang diciptakan oleh perusahaan teknologi Indonesia yang dipimpin oleh programmer muda jenius saat itu, 17 tahun lalu. Setahun setelah aku lahir.

Aku membuka mata, duduk, mengingat-ingat mimpi yang barusan, meregangkan badan, dan membalas sapaan EPA milikku itu, “Selamat pagi juga, Leetha.” Aku menamainya demikian.

Saat aku sedang bercermin membenarkan rambut gondrongku yang berantakan, dia bertanya, “Apakah Tuan ingin mengetahui prakiraan cuaca hari ini? Teori Time Travel yang banyak dibicarakan peneliti terkemuka? Atau mungkin beberapa berita yang sedang hangat akhir-akhir ini?”

Aku memilih mendengarkan prakiraan cuacanya daripada berita-berita tentang aktris ataupun teori-teori yang tidak masuk akal. Leetha lalu memberitakan bahwa hari ini—hari Selasa, tanggal 28 Maret 2045 akan panas sepanjang hari, bahkan dari sekitar pukul 10.45 sampai lewat tengah hari nanti suhunya akan mencapai 36 ℃.

Namun aku juga tetap mendengarkan satu berita. Berita kematian seorang dokter dua pekan lalu di kediamannya, Dokter Fidyana Rahmawati. Dikarenakan penyakit dalam yang dideritanya.

“What a nightmare. Benar-benar mimpi buruk,” gumamku. Lalu aku keluar dari kamar dengan luas 6×5 meter milikku, menuju ke kamar mandi di sebelah, kemudian melakukan aktivitas kamar mandi yang dilakukan seperti biasa.

Aktivitas kamar mandi yang biasa kulakukan selain mencuci muka, menggosok gigi, aku juga terbiasa langsung mandi sepagi ini karena rasanya segar sekali saat air jernih mengalir melewati tubuhku, dari kepala sampai ujung jari kaki. Di dalam kamar mandi ini juga ada bathtub yang terhubung dengan EPA dan bisa diatur menggunakan suara penggunanya.

Selesai berurusan dengan sikat gigi, sabun, sampo, dan juga air, aku mencium aroma bawang goreng dari bawah tangga.

“Kalau dari aroma yang saya cium ini, sepertinya nyonya besar sedang memasak nasi goreng spesial dengan tambahan potongan nugget dan sosis kesukaan tuan.” Leetha mencium aromanya—ya, dia bisa mencium aroma benda hidup maupun benda mati dengan cara mengonversikan aroma yang tercium ke dalam memory database system-nya.

“Tuan ingin langsung ke bawah untuk sarapan?” tanya Leetha.

Aku tertawa, “Ya, tapi tentunya setelah aku berpakaian dulu, Leetha.” Jawabku yang masih memakai handuk sepinggang.

Leetha yang mendengar jawabanku menjadi tersipu karena malu.

Setelah memakai kaus lengan pendek dan celana selutut, aku bergegas turun. Di bawah, meja makan sudah dipenuhi banyak makanan-minuman yang wanginya menusuk hidung seperti ikan bakar, sup ayam—dengan tambahan MSG, kopi, teh, dan teh oolong. Tapi tentunya aku memilih nasi goreng spesial beserta segelas penuh cokelat hangat.

Suara sendok beradu dengan piring, air yang dituang, pembawa acara yang membawakan berita “Digelarnya Perayaan Satu Abad Kemerdekaan Negara Indonesia Liga Bulan dari Sekarang” dan juga bercampur dengan suara batuk ayahku karena tersedak tulang ikan mas mewarnai ruang keluarga kami pagi itu.

Lima belas menit waktu untuk menghabiskan sarapan.

Tangan ibu dan kakak perempuanku sangat lihai dalam merapikan meja makan, jadi kami tidak membutuhkan robot-robot pembantu seperti orang kebanyakan. Tetapi kami tetap membutuhkan EPA untuk selalu update informasi tentunya,

EPA milik ayah yang memiliki wujud pria yang nampak lima tahun lebih muda darinya—diatur seperti itu oleh ibu—mengingatkan sekarang sudah waktunya untuk bersiap-siap pergi ke kantor dan itu berarti aku juga harus bersiap karena sudah waktunya aku berangkat sekolah—pukul 6.40.

"Selamat datang kembali, Tuan Aran,” sapanya saat aku masuk ke kamar, “Apakah sarapannya terasa enak?”

Aku mengambil seragam dari lemari yang dibukakan Leetha—menggunakan network-nya—dan mengenakannya, “Iya Tha, Enak.”

Seragam yang kupakai memiliki motif yang hampir sama seperti seragam dari 63 tahun lalu—putih-abu-abu. Namun sekarang ada beberapa perubahan dan juga tambahan untuk mengikuti perkembangan zaman, seperti bagian kerah, ujung lengan, nama sekolah di lengan kanan, dan bagian nama di dada kanan menjadi warna abu-abu bergaris putih. Disertakan dengan lambang organisasi yang diikuti di lengan sebelah kiri.

Semua sudah siap. Saatnya aku berangkat, “Aku berangkat dulu ya. Tolong jaga baik-baik kamarku seperti biasa, Leetha.”

Lihat selengkapnya