RE:VISION

erzetha
Chapter #2

Memory 2: The Most Unlucky Day?

Suasana tegang sangat terasa dalam ruangan seluas 5×3 meter ini.

Aku, Aqmar, dan Qiyas sedang menunggu keputusan Pak Adi—guru kimia berkacamata dengan frame putih yang mengeluarkan kami dari kelas, bersama Bu Any—guru penghuni ruangan Bimbingan Konseling di lantai tiga berambut ikal dan memiliki sorot mata yang tajam. Setelah kami diceramahi dan dibentak selama dua puluh menit nonstop.

Diskusi yang berjalan alot selesai. Akhirnya kedua guru ini memutuskan hukuman untuk kami.

Jam istirahat kedua tinggal tersisa setengahnya. Karena kami terlalu lelah untuk ke kantin maupun hanya untuk jalan-jalan saja. Kembali ke kelaslah pilihan kami.

Saat kami berjalan di lorong-lorong menuju ke kelas, kami melewati rombongan anak kelas C dan kelas D yang sedang bermain Augmented Reality-game seperti orang-orang di tahun 2016. Namun, saat ini tipe AR-game tidak sama sistemnya dengan 29 tahun lalu, yang seolah-olah benda maupun makhluk yang tidak ada di dunia nyata menjadi ada dalam layar smartphone mereka. Sekarang, benda maupun makhluk yang ada di layar smartphone merekalah yang menjadi terlihat di dunia nyata. Seperti AR-game yang sedang mereka mainkan saat ini, game yang mengizinkan penggunanya mengadu pet milik mereka satu sama lain.

Selain melewati rombongan player AR-game barusan, kami juga melewati seorang anak perempuan teman sekelasku yang memakai Smartglasses fokus dengan tontonannya, kemungkinan besar dia sedang menonton “animin”—animasi dua dimensi buatan anak bangsa Indonesia—“Terrarum” yang trending akhir-akhir ini.

Namun kami tidak melihat Brain Trio di luar kelasnya, menurut perkiraanku, mereka sedang menikmati bekal makan siang sembari membahas soal-soal dari guru jam pelajaran kedua mereka di dalam kelas.

Sesampainya di kelas, kami langsung merebahkan kepala kami di meja masing-masing. Kami tidak menghiraukan tawa anak-anak kelas B yang melihat kami baru kembali dari ruang BK.

Sampai pukul 12.30—jam pelajaran ketiga, kami hanya membuat diri kami sesantai mungkin.

“Hei Qiyas, bangun. Pak Ipes sudah masuk.” Aku membangunkan cowok berotot ini yang tadi langsung tertidur sesaat setelah merebahkan kepalanya.

Qiyas tersentak dari tidur pulasnya.

Aku suka mata pelajaran Ini. Mata pelajaran Sosial.

Lelah dan gerahku seperti hilang begitu saja saat Pak Ipes menjelaskan jawaban dari soal nomor lima, “Dua puluh lima tahun lalu, dunia dilanda pandemi yang sangat mengerikan, merenggut nyawa banyak orang, meluluhlantakkan sistem ekonomi dunia, menerjunkan harga minyak, serta mengurung manusia-manusia layaknya burung dalam sangkar.”

“Benar-benar seperti Apocalypse,” gumamku.

Berbeda denganku, Qiyas tidak merasakan penjelasan Pak Ipes layaknya cerita dalam novel, penjelasan itu sama dengan dongeng peghantar tidur baginya.

Karena dirinya adalah tipe orang yang memilih menyelesaikan rumus-rumus rumit, sekarang matanya nampak kosong. Aqmar terlihat persis seperti orang yang “kemasukan” makhluk halus.

Disebutkan pula bahwa di Negara Indonesia saja korban positif pandemi tersebut mencapai lebih dari lima belas ribu orang.

Pak Ipes menggulir halaman yang ada di Class Virtual Screen, membacakan soal berikutnya, “Kita mengalami kemajuan yang intens dua puluh tahun terakhir ini, terutama dalam bidang teknologi. Siapakah orang yang sangat berpengaruh dalam perkembangan teknologi tersebut?”

Aku mengangkat tangan, menjawab, “Profesor Destana Enzi Paraduta, tahun ini umurnya  pencipta Holoprojector dan pengembang jaringan internet 8G. Menjabat sebagai CEO perusahaan perholograman di Indonesia. PT. Holonesia.”

“Ya, bagus sekali, Aran. Kamu menjawabnya dengan tepat.” Pak Ipes mengangguk. Aku berterima kasih.

Empat puluh menit tidak terasa olehku yang memang menyukai mata pelajaran ini dan oleh Qiyas yang tertidur selama pelajaran. Sementara untuk Aqmar yang sekarang ini sedang memijat jidatnya, pastilah terasa sangat lama. Dari awal melihat Pak Ipes masuk saja dia sudah menggaruk-garuk kepalanya

Lazimnya, murid-murid berbahagia mendengar bel pulang, termasuk driku, namun hari ini aku sama sekali tidak begitu. Begitu pula dengan kedua temanku ini.

Kami langsung dapat mendengar ledekan teman-teman sekelas kami saat mereka keluar kelas, seperti, “Semangat ya kerjanya.” Atau “Tolong ya, kalian bertiga.” Kemudian tertawa.

Dimulailah hukuman kami, membersihkan kelas. Hanya bertiga. Tidak dibantu oleh satupun Cleaning Robot dengan tangan-tangan sapu dan kain pel yang harusnya merupakan protokol mereka.

“Oh ayolah, aku tadi sudah meminta maaf. Maafkan aku dong.” Aqmar berkata begitu setelah melihat aku dan Qiyas memelototi dirinya.

Qiyas memelototinya lebih tajam, “Makanya, apapun yang ingin kau lakukan, lihat situasi dan kondisi dulu, Aqmar!”

“Iya deh, lain kali aku akan lebih berhati-hati.”

Tidak ingin membuang-buang waktu lebih banyak, kami menghentikan percakapan lalu langsung bekerja.

Menyingkirkan seluruh kursi dan meja ke tembok adalah pembukaannya, dilanjutkan dengan menyapu lantai kelas.

Aku mengira rasa malu terbesarku hari ini adalah saat anak-anak kelas B meledek kami. Aku salah. Rasa malu lebih besar datang saat aku sedang membuang sampah yang sudah kami sapu ke dalam kotak sampah di pojok ruangan dekat pintu kelas, Brain Trio lewat tepat didepan wajahku. Aku berteriak kencang dalam hati.

Mataku bertautan dengan mata Ita. Rasanya aku ingin mati saat itu juga.

Meskipun tidak mengatakan satu katapun, satu tatapan dari mereka saja berhasil membuat wajah memanas.

Lihat selengkapnya