Sorak-sorai penonton—brawler lain—memenuhi ruangan dengan dua belas arena berbentuk lingkaran ditengahnya yang dipisahkan lubang pembatas.
Tinju kanan datang.
BUK!
Kutepis dengan tangan kiri. Disusul oleh tangan kananku yang berhasil melayangkan kepalan ke ulu hati lawan. Pukulan telak.
Sorakan para penonton makin menggila.
Entah mengapa orang dengan avatar berbadan kekar, besar, tinggi dua meter, dan berurat dihadapanku ini masih mengincar wajahku terus-menerus padahal aku sudah tau incarannya. Kiri-kanan pukulan dilayangkan olehnya sembarangan.
Kini giliran kakinya yang menyerang. Tendangan ke kepalaku berhasil kuhindari dengan menggeser kaki satu langkah ke kiri. Aku mengeluarkan pukulan dengan tenaga dalam—yang sebenarnya adalah salah satu skill dalam game—mengempaskan lawanku ke pinggir ring.
Aku berlari menghampirinya, lompat, men-drop kick-nya keluar lingkaran. Menjatuhkannya ke dasar arena, menjatuhkan bar HP-nya—bar Hit Points—nyawanya—ke angka nol.
Pertandingan selesai. Peserta yang berhak mendapatkan tiket lolos ke babak semifinal telah diputuskan. Dimenangkan olehku. Aku bisa melihat wajah-wajah penonton, dari ekspresi senang karena jagoannya, aku, memenangkan pertandingan, sampai raut wajah kesal karena kalah bertaruh.
“Good show, Lycosi.” Salah satu teman online-ku menyelamati pertandinganku yang ditontonnya barusan.
“Aku yakin deh, kau akan menang mudah bahkan di final nanti.” Ucap yang lain. Bertaruh besar—90.000 ath, uang in game yang setara dengan lima belas dolar amerika atas namaku.
Aku sudah empat kali berusaha menyelesaikan pertandingan secepat mungkin karena aku ingin menonton pertandingan seorang brawler yang menjadi buah bibir setiap orang hari itu, tapi tetap saja tidak keburu. Menurut kabar burung, brawler ini dapat menjatuhkan lawannya hanya dalam waktu dua menit. Menurut kabar burung pun dia mempunyai nickname yang simpel, “Destiny” atau berarti takdir.
Di layar pengumuman sudah terpampang empat nama player yang masuk semifinal. Destiny, Lycosi, Shironeko, dan Narayanista.
Tiga jam setelah aku masuk ke dalam game “Achalendra”—game fighting dengan pemain tidak kurang dari lima puluh juta orang, game terlaris di negeri ini, dan merupakan game buatan anak bangsa. Semifinal dimulai.
Karena hanya ada dua pertandingan di sesi semifinal, maka pertandingannya dilaksanakan bergiliran. Dua belas arena yang ada pun disatukan agar pandangan penonton terfokus dan agar para semifinalis lebih leluasa bergerak.
Komentator pertandingan berteriak heboh, “Yak, penonton sekalian! Tidak terasa kita sudah memasuki babak semifinal! Kita jelas mendapatkan kejutan dalam turnamen kali ini. Seperti fakta yang mengejutkan kita semua, juara tahun lalu yang dielu-elukan banyak orang, Kanekirito920 dengan skill empat pedangnya, tidak mampu melewati babak penyisihan, Nartosaskeh, pendatang baru yang diprediksi banyak orang menjadi pemenang karena performanya yang spektakuler ternyata jatuh ke dalam death hole, dan itu semua—beserta rentetan kejadian menakjubkan lainnya disebabkan oleh satu brawler, SATU BRAWLER. Destiny, lelaki—lelaki kan ya?—lelaki dengan avatar berjas kantoran formal yang dapat menjatuhkan lawan-lawannya dalam waktu dua menit, bahkan kurang!
“Kita dapat melihat dua peserta sudah memasuki arena dengan jari-jari 28 meter yang merupakan hasil penggabungan dari dua belas arena. Di sebelah kanan ada Narayanista dengan perisai di kedua tangan yang bisa meredam segala jenis serangan. Dan di sebelah kiri ada Lycosi yang memiliki gelar ‘Juara Dua Abadi’ dengan seni bela dirinya. Let’s Brawl!”
“Duh, gelar macam apa itu.” Gumamku.
Aku memasang kuda-kuda. Juga lawanku.
Kami berteriak serentak “Achalendra!” menandakan kami sudah siap dan juga menandakan pertandingan dimulai.