Sesampainya di kantin, Rea memesan teh hangat, sementara Abey langsung memilih makanan ringan. Suasana kantin yang ramai oleh obrolan mahasiswa lainnya memberi kontras pada percakapan serius mereka tadi di kelas. Reisha mengaduk teh perlahan, tenggelam kembali dalam pikirannya.
"Rea, serius deh, kadang kamu tuh susah ditebak," Abey membuka percakapan lagi, kali ini dengan nada lebih santai. "Apa yang ada di kepalamu waktu tadi kamu membalas Pak Suratmo gitu?"
Reisha meletakkan sendok adukannya, menatap ke luar jendela kantin yang mulai ditetes hujan. "Aku hanya merasa, kadang orang yang berdiri di depan kelas dan membawa titel ‘dosen’ menganggap dirinya tak tersentuh. Seperti mereka selalu benar hanya karena posisi mereka."
Abey meneguk kopinya, menatap Reisha penuh perhatian. "Tapi, kita di sini buat belajar dari mereka, kan? Mungkin caranya aja yang nggak cocok."
"Tepat!" Reisha mengangguk cepat. "Itu poinku. Kita memang di sini untuk belajar, tapi mereka juga harus mengingat kalau proses belajar itu nggak cuma satu arah. Pengajar pun harus belajar memahami kita, mahasiswanya. Bukannya melempar buku saat merasa frustrasi."
Abey tertawa kecil. "Well, kamu benar. Tapi cara kamu membalas tadi... dramatis banget. Aku hampir bisa mendengar suara tepuk tangan di kepalaku."
Reisha tersenyum, akhirnya menyadari absurditas situasi tadi. "Aku nggak niat buat drama, serius. Tapi kadang kalau nggak begitu, mereka nggak akan mendengarkan."
Abey mengangguk pelan, memandangi Reisha yang kembali menatap hujan di luar. Ada sesuatu dalam diri Reisha yang selalu menarik, pikir Abey—sesuatu yang membuatnya berbeda dari yang lain. Bukan sekadar keinginannya untuk berbicara tentang hal-hal besar atau pikirannya yang sering mengembara ke wilayah yang sulit dijangkau orang lain, tetapi keberanian untuk menjadi dirinya sendiri di tengah dunia yang sering kali memaksa kita menjadi orang lain.
"Ngomong-ngomong, kamu benar soal satu hal," kata Abey tiba-tiba, menyeringai.
Reisha mengangkat alisnya, "Apa?"
"Kamu memang bikin orang mikir. Termasuk aku."
Reisha tertawa kecil, dan suasana kantin pun terasa lebih hangat meski hujan terus turun di luar. Namun, di sudut hatinya, Reisha tahu bahwa kejadian tadi dengan Pak Suratmo belum selesai. Ada sesuatu yang belum terungkap—sebuah kebenaran yang lebih dalam dari sekadar perdebatan tentang benar atau salah.
Dan, untuk sesaat, Reisha memutuskan untuk menikmati jeda ini sebelum kembali menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang lebih besar.
***