Ruang itu dingin, seolah udara di dalamnya mengandung kekosongan. Dinding-dindingnya putih pudar, tak ada gambar atau tanda kehidupan selain jejak retakan halus yang menjalar dari lantai ke langit-langit. Di sudut ruangan, duduk Nenez. Matanya menatap kosong ke arah jendela kecil, tapi di dunia lain yang tak bisa dilihat orang lain, ia sedang berbincang dengan Rea.
Nenez dimasukkan ke panti rehabilitasi oleh keluarganya, setelah melakukan pendakian bersama Rea ke Surya Kencana, Gunung Gede. Namun, kenyataannya, Rea tidak pernah ada. Ia hanyalah sosok yang diciptakan oleh imajinasi Nenez. Melalui pendakian bersama Rea, Nenez menemukan kebenaran tentang siapa sosok yang telah mendonorkan matanya, sehingga ia bisa melihat kembali setelah kecelakaan yang menimpanya. Dan sosok itu tak lain adalah Rea.
“Rea,” panggilnya, suaranya parau, “apakah semua ini benar-benar terjadi? Atau hanya bagian dari pikiranku yang kacau?”
Di depannya, Rea—atau lebih tepatnya bayangan Rea—tersenyum tenang. Wajahnya yang dulu penuh kehidupan kini pucat, seolah warna telah dihisap oleh waktu. “Apa bedanya, Nenez? Dunia yang kau ciptakan di sini lebih nyata daripada yang kau tinggalkan di luar sana.”
Nenez tersenyum getir. Dokter dan suster yang selalu datang dengan sikap formal mereka, dengan tatapan mengasihani seolah ia hanyalah tubuh tanpa jiwa yang berkeliaran di dunia yang hampa makna. Mereka tak pernah mengerti, pikir Nenez. Mereka tak tahu bahwa dunia yang ia huni bersama Rea adalah satu-satunya yang membuatnya tetap bertahan.
Rea melangkah mendekat, duduk di kursi yang dingin di sebelahnya. “Kenapa kamu terus di sini, Nenez? Apa yang membuatmu terperangkap?”
Pertanyaan itu menusuk seperti pisau tumpul, lambat tapi menyakitkan. Nenez menutup matanya. “Karena kamu, Rea... aku tidak bisa membiarkanmu pergi karena aku butuh kamu. Jika kamu pergi, maka semuanya akan hilang. Dunia ini akan kosong.”