REA

Beni satria
Chapter #6

Mukadimah

Alunan lagu ”I don’t wanna miss a think” oleh Aerosmith mengalun lembut lewat pemutar musik di dalam sedan hitamnya Irna yang terjebak kemacetan di daerah Jalan Pajajaran, Ciputat. Seolah anak tangga nadanya menghipnotis salah satu pendengarnya untuk beranjak naik ke atas melewati alur-alur rumit otak kanan, lalu berhasil menemukan pintu dunianya sendiri bagi para pengkhayal, lalu membawanya jauh ke dalam lamunannya yang berisi tentang rindu.

Dan hujan masih saja setia mencumbui tanah sore itu membuat lanskap romansa kerinduan semakin khusuk seperti bulir demi bulirnya yang pecah di lapis luar kaca mobil, yang segera hilang tersapu wiper, kerinduan memang begitu agak menyebalkan. Adakah beda antara rindu dan resah, kenapa kekaguman dan rasa simpatik selalu membuat jembatan kokoh penghubung antara cinta dan rindu, seperti hujan dengan tanah, seperti perasaan Moza saat ini entah apa disebut namanya.

“Sepertinya lamunan kamu itu harus jadi mata kuliah 4 SKS deh, Za.” celetuk Irna mencoba membuat percakapan yang sejak tadi hening saat meninggalkan kantin kampus.

“Hah, kenapa, Na?” 

Lagi-lagi Moza tidak menangkap kalimat Irna lalu mencoba mengalihkan lamunannya sambil pura-pura celingukan kearah luar jendela kaca mobil.

“Enggak, enggak kenapa-napa, terus kemana lagi nih jalannya ke arah rumah temen kamu? Penunjuk jalannya melamun terus nih!” tanya Irna sambil sibuk mengemudikan setir mobilnya berusaha keluar dari kemacetan.

“Kearah rumah gue aja dulu Na, gak jauh kok dari situ.” jawab Moza mencoba ikut sibuk memerhatikan arah laju mobil. 

“Kamu negelamunin apasih? Emang dapet reward yah kalo banyak melamun, makanya melamun terus?” tanya lagi Irna dengan kerut wajah mencoba mencari tahu.

Moza hanya memberikan sedikit simpul senyum mencoba menjawab dengan ekspresi wajah tentang pertanyaan polosnya si Irna. Bukan karena kepolosan Irna, Moza hanya tidak mencoba mencurahkan isi hatinya, tetapi ia bingung harus memulai dari mana. 

“Ya sudah mendingan kamu cepat-cepat jadi aktris biar bisa masuk infotainment. Jadi gak perlu repot nanya ke kamu kenapa melamun terus.”

Moza menoleh lembut ke Irna dengan posisi bibir yang membentuk huruf ‘O’ tidak sempurna, tetapi itu sedikit menghibur hatinya dengan kepolosannya, atau entah tepat disebut apa. Walaupun polos, anak ini termasuk mahasisiwi ber-IPK tinggi, yang mendapatkan beasiswa di Fakultasnya.

Akhirnya setelah beberapa lama bergelut dengan kemacetan di daerah Pondok Cabe, sedan mereka memasuki bilangan daerah Cinere. Hujan nampaknya sudah reda, terlihat dari sinar mentari sore yang berusaha mencoba berebut di kisi-kisi langit yang mulai tak berawan. Tidak lama kemudian mobil sedan hitam memasuki pekarangan rumah yang terlihat rimbun dan asri yang ditumbuhi beberapa pepohonan pinus, dan Irna sempat merasa seolah berada di pegunungan. 

“Aku baru tahu di daerah Cinere ada tempat seperti ini.” celetuk Irna sambil mencari tempat untuk parkir. 

“Yang pasti hanya di rumah ini saja, Na.” jawab Moza sambil membantu arah parkir di halaman rumah yang tidak jauh dari pohon pinus yang ada rumah mungilnya di atas, dimana Nenez sudah berdiri menyedekapkan kedua tangannya diatas pagar penyanggah rumah pohon sambil jemarinya mengapit cuping cangkir seduhan kopi. 

Sesampainya mereka keluar dari sedan, Irna terdiam sejenak sambil berdecak kagum melihat rumah pohon di hadapannya. Tidak lama lengan Irna disikut oleh Moza memberi isyarat untuk mengikutinya naik ke atas.

“Engga bareng Ruri lagi?” tanya Nenez saat mereka berdua hendak sampai di anak tangga terakhir di rumah pohon, lagi-lagi Moza hanya menjawab dengan ekspresi menggelengkan kepala dan mengalihkan topik pembicaraan.

“Na, kenalin nih temen gw yang namanya Nenez.” 

“Nez, ini temen kelasan aku yang sering ngebantu kalo sifat hibernasiku kambuh.” 

Perkenalan singkat pun terjadi di antara mereka dan sedikit terlibat percakapan tentang rumah pohonnya dan tidur kebonya Moza, tetapi tak ada reaksi signifikan dari Moza yang hari ini tidak seperti biasanya lebik banyak diam, setelah itu tidak lama kemudian Irna berpamitan untuk pulang. Mereka berdua memasuki ruangan 4x3 meter yang dipenuhi buku-buku filsafat, novel, otobiografi petualangan sampai buku petunjuk kealaman berseta teknik-tekniknya yang tersusun rapih dalam rak kayu, serta sederetan bingkai foto yang tertempel di dinding kayu saat dimana Nenez masih sering mendaki bersama ketiga sahabatnya, seakan kerinduan itu semakin ingin membuncah keluar dari cawan ridunya Moza. Sebenarnya rumah pohon ini lebih tepat dinamakan perpustakaan mungil di atas pohon, karena isinya hampir semuanya dipenuhi oleh buku-buku dan ruang baca terbuka di teras maupun di dalam, yang dilengkapi dengan beberapa meja dan kursi untuk para pembaca, tersedia juga kulkas mungil satu pintu disertai dispenser sebagai tambahan untuk sekedar menyeduh kopi atau mie instan kemasan gelas. Bangunan ini berbentuk lingkaran prisma yang ditengahnya tersekat seonggok pohon pinus berukuran pelukan orang dewasa yang menembus menjulang tinggi keatas, sebenarnya bangunan ini tidak ditempel pada sebuah pohon seperti pada umumnya yang harus memaku atau membor batang utama pohon untuk membuat pondasi lantai dan penyanggahnya, di sisi pinggir luar bawah bangunan dilingkari wiremesh berbentuk jaring laba-laba yang terbuat dari sling tali yang berguna untuk menahan benda yang terjatuh dari atas rumah pohon tersebut. Bisa dibilang bangunan itu cukup safety, dan satu lagi, semua bangunan itu dibuat tidak sedikit pun melukai pohon. Ruangan yang sangat bersejarah buat Moza, karena di tempat itulah mereka berempat tumbuh dewasa dan belajar banyak hal. Di mana tempat mereka dulu berempat sering menghiasi pemikiran dengan ide-ide konyol mereka tentang apa saja, tentang buku-buku bacaan yag hampir semuanya telah habis mereka baca. Jika sudah habis, Nenez harus hunting buku bekas di eks Kwitang di lantai dasar Pasar Raya Blok M untuk memuaskan hasrat kutu-kutu buku mereka, ruang prisma lebih semacam ruang gagas rencana, mulai dari Event Organizer (EO) Trip Pendakian yahg mereka kelola, hingga tempat diskusi sastra dan filsafat. Ruangan prisma ini seperti otak manusia yang berisi ide-ide dan impian yang menunggu untuk terlaksanakan. 

Moza lalu duduk di bangku kayu yang berhadapan dengan jendela rumah pohon, suana sejuk terasa menghampirinya yang berhembus dari luar jendela sambil memandangi urut sisa air hujan yang bergelayut malas dipelukan daun, sinar mentari terlihat temaram di balik dedaun pinus, burung-burung gereja asyik mengemas ranting buat sarang mereka, dan Moza hanyut dalam lamunannya untuk kesekian kali.

“Kamu mau kopi, Za?” Nenez mencoba memecahkan keheningan di antara mereka, yang dijawab Moza dengan menggelengkan kepala. 

“Gimana hasil konsultasi psikolog kamu, Nez?” tanya Moza yang pandangannya kembali kearah luar jendela.

“Kamu selalu membuat aku khawatir akhir-akhir ini,” Nenez hanya menanggapi pertanyaan Moza dengan senyum yang berambigu sambil sesekali menggoyangkan cangkir kopinya.

“Aku berpikiran wanita yang sering kamu lihat itu,” lalu mereka berdua saling menatap mencoba mencari jawaban atas pertanyaan melalui interaksi visual yang diakhiri oleh jawaban dari helaan nafas berat Nenez.

“Kamu hanya terlalu khawatir, Za,” jawab Nenez, sembari menatap lamat-lamat pekat air kopi yang seolah ia dapat melihat isi di dalamnya.

“Mending kamu ikut sama kita ke Gunung Gede, supaya kamu gak mengurung diri terus, Nez. Kamu membutuhkan suasana seperti itu saat ini.”

“Yah mungkin aku memang terlalu khawatir sama kamu, itu karena aku...” tiba - tiba lidah Moza berkelu untuk melanjutkan kalimat akhir tersebut, dan yang pada akhirnya ia harus mencari potongan kalimat pengganti untuk ucapannya itu.

“C-a-r-e sama kamu.” 

Lihat selengkapnya