Dua tahun yang lalu, sebuah cerita ini berawal dari sebuah ajang ego diantara dua orang dari keempat sahabat tersebut, yang memang semenjak mereka kecil selalu saling menunjukan siapa yang terbaik di antara mereka apapun itu, dari perlombaan di acara 17 Agustusan, mengadu ikan cupang, ikan siapa di antara mereka yang mati terlebih dahulu, bermain playstation winning eleven, dan saling menunjukan satu sama lain mimpi-mimpi mereka yang belum terkemas rapih, hingga sampai memperebutkan seorang wanita, karena mereka menyukai wanita yang sama, di situlah awal dari segalanya bermula. Harneza Anchor, Mauri Ridwan, Budi Darmawan dan Mozaika sudah semenjak dari kecil mereka bermain bersama dibesarkan dalam lingkungan yang sama, yaitu ‘Adventure’, ‘My Life is Adventure”, hanya orang-orang seperti kita lah yang memiliki pemikiran O.O.N, Otak, Otot, dan Nyali begitulah kutipan mereka saat berkumpul di atas rumah pohon di halaman rumah Nenez. Terkadang mereka selalu berpikir sesuatu yang tersial dalam kehidupan manusia adalah tidak merasakan kehidupan di alam bebas, di mana Tuhan telah menciptakan replika surga di dalam lembah lembabnya hutan, dinginnya air sungai dan air terjun, hamparan padang savana sampai ke puncak-puncak Gunung. Lebih sial lagi manusia itu lebih memilih hidup dalam siklus lingkaran monoton lahir - remaja - bekerja - menikah - punya anak dan cucu - meninggal tanpa mencoba untuk menengok keluar jendela mereka yang di mana dalam perjalan hidup manusia tak akan bisa terulang kembali karena manusia menggores prasasti dan nama mereka masing-masing. Di luar sanalah kehidupan sejati menunggu untuk dijejaki tapak demi setapak sepatu yang mereka tinggalkan, kebersamaan dalam lingkar api unggun, impian dalam langit-langit tenda saat mata terpejam yang terkemas dalam keril untuk dibawa dalam tiap pundak. Menempuh perjalanan panjang yang tak instan, mencoba hidup yang tak biasa, mencoba memecahkan teka-teki yang tak bertepi. Begitulah himne dan pemikiran mereka yang telah membangun karakteristik kritis yang selalu ingin tahu dalam segala hal termasuk berlomba siapa yang dapat mendaki gunung tertinggi, dan dari sanalah bencana berawal.
“Kamu mau mendaki kemana lagi sayang?” tanya mama yang sejak tadi memerhatikan anaknya yang sedang sibuk packing perlengkapan naik-gunung-nya.
“Ruri kemarin diam-diam mendaki Gunung Semeru untuk yang ke enam kalinya Ma,” jawab Nenez sambil memacking kerilnya.
“Terus sekarang kamu mau ke Semeru sendirian begitu?”
“Pa, liat tuh Nenez mau mendaki ke Semeru sendirian,” papanya yang sedang membaca koran di bangku santai hanya mendelik lewat kaca matanya lalu membaca kembali, karena ia mengerti Nenez tidak sebodoh itu, berbeda dengan orang tua wanita yang selalu kebanyakan cemasnya.
“Nenez bukan mau ke Semeru, Ma. Tetapi mau ke Gunung Guntur.”
“Soalnya belum banyak yang tahu, Gunung yang memiliki padang savananya yang indah saat musim hujan.”
“Pasti Ruri kesal melihat fotonya nanti di media sosial, memang sih gak setinggi Mahameru, Ma, tenang saja Nenez gak sendirian kok naiknya.”
“Nenez sudah janjian sama anak-anak Mapala di Garut untuk nemenin kesana.”
Sang Mama hanya menghela nafas, yah beginilah kalau sifat dan hobi orang tuanya turun ke anaknya.
“Yah terserah kamulah sayang. Mama hanya bisa berdoa supaya kamu baik-baik saja disana.”
“Mama itu hanya terlalu khawatir, Nenez berjanji akan menjaga diri baik-baik buat Mama,” rayu Nenez sambil mengecup kening sang Mama.
“Yang satu ini malah baca koran melulu, gak bakal berubah Pah tulisannya, walau dibaca berulang kali, gak tahu apa anaknya mau naik gunung,” sambil melempar lap dapur ke suaminya lalu bergegas melanjutkan pekerjaan memasaknya.
“Udah dapet emang peta Gunturnya?” tanya Papa, Nenez memang diajari dari kecil untuk mengikuti prosedur yang safety.
“Sudah, Pa.”