Pos pendakian kandang badak
Sore itu rombongan Rizuta pun telah sampai di satu pos persimpangan ke dua Gunung antara Gede dan Pangrango yang dimana jalur sebelah kiri menuju Gunung Gede dan jalur kekanannya menuju Gunung Pangrango ketika pendaki mendaki dari jalur Cibodas, sebuah pos yang menjadi titik spot para pendaki untuk sekedar merebahkan lelah hingga sampai mendirikan tenda sebelum melanjutkan perjalanan menuju antara kedua Gunung tersebut, biasanya para pendaki lebih memilih bermalam di pos yang bernama Kandang Badak tersebut selain area tempatnya cukup luas untuk mendirikan tenda dan juga dekat dengan sumber titik mata air, termasuk rombongan Rizuta dan kawan-kawan yang memang berencana berkemah di tempat tersebut terlihat dari sebagian panitia yang telah terlebih dahulu sampai untuk menyiapkan segala kebutuhan para peserta pendakian seperti tenda logistik, medis dan tenda peristirahatan para peserta untuk sekedar merebahkan lelah.
Senja nampaknya telah tuntas mentari sudah terlelap dalam pelukan horizon dan malampun mulai menyapa dingin para pendaki serta diiringi kabut yang mulai turun ke dalam lembah-lembah, suara hewan malam yang mulai saling bersautan di balik sunyi, terdengar ranting-ranting yang patah termakan api unggun para pendaki dan suara canda dan tawa keakraban yang melingkari apinya. Suasana itu sungguh sangatlah berbeda sebuah lanskap yang takkan bisa didapati dalam pijaran lampu tata kota. Dalam mulut tenda, Rizuta sedang asyik memperhatikan Moza yang super sibuk dengan perkakas medisnya lalu memberikan segelas teh keprakan jahe merah dan segala ramuan kepada Rizuta karena ia sempat drop saat perjalanan menju pos Kandang Badak.
“Za, kuperhatikan kamu dari tadi sibuk sekali mondar-mandir menanyakan kondisi orang, tetapi kamu lupa menanyakan kepada diri sendiri tentang keadaan kamu.”
“Istirahat lah, Za! Gantikan sebentar dengan yang lain!” sapa Rizuta yang sedang duduk di bibir mulut pintu tenda dome. Reaksi Moza hanya menoleh ke arah Rizuta lalu mendengarkan sejenak dan dibalas dengan senyum lalu menghilang lagi entah kemana. Ya begitulah Moza.
“Diemin aja, Ta! Entar juga kalau baterainya habis, diem sendiri dia. Hahaha!” celetuk Ruri yang langsung menawarkan Rizuta sebatang cokelat dan lalu duduk disampingnya.
“Bagaimana kondisi kamu Ta? Sudah baikan kah?”
“Lumayan.”
“Heuh! Si kunyuk itu seharusnya dia ada nemenin kamu saat ini!”
Lalu Rizuta terdiam sejenak mendengar kata-kata Ruri dan langsung menatapnya dengan tatapan mengupas.
“Kalian mau sampai kapan, Ri?” tanya Rizuta sambil menatap Ruri dengan tajam.
“Apanya yang sampai kapan, Ta?” Ruri langsung memutuskan tatapan Rizuta yang mengupas dengan mengalihkan tatapannya ke arah api unggun.
“Kerivalan kalian.”
Ruri tersentak lalu menatap Rizuta kembali dalam-dalam, sebuah tatapan yang jernih terlihat dari kilatan api unggun yang membayang bulat.
“Apasih yang kalian cari? Apakah ini yang dinamakan seorang pendaki yang menjual ego kalian hanya demi sebuah pengakuan sepihak?”
“Berlomba-lomba menunjukan siapa yang terhebat diantara kalian dengan mendaki setinggi-tinginya impian kalian yang berlapisi ambisi berwujud gunung?”
“Ri, ambisi dan impian itu beda tipis tapi sangat berlawanan makna.”
Ruri sangat tahu topik pembicaraan apa yang Rizuta buka, sebenarnya Ruri ingin sedikit berargumen tetapi mendengar kata-kata Rizuta membuat lidahnya seakan menjadi kelu.
“Kau tahu kenapa Tuhan memberikan otak kiri dan kanan kepada manusia?”
“Kenapa semua yang tuhan ciptakan itu selalau berpasang?”
“Itu karena otak kiri cukup tahu mana yang akan dijadikannya sebuah logika dan otak kanan sangat mengerti mana yang dijadikannya sebuah impian.”
“Dimana logika adalah yang mengemas sebuah realita tentang bobroknya sebuah ego, tamaknya mata ambisi untuk disederhanakan oleh bijaknya otak kanan.”
“Membuat sebuah imajinasi itu menjadi sebuah impian, impian yang kalian sematkan di slayer keanggotan saaat melantangkan Kode Etik Pecinta Alam bersumpah satu saudara, apakah itu yang kalian cari dalam kerivalan itu?”
“Kalau tidak, sudahi jawabannya!”
Rizuta mencoba menenangkan rasa sakitnya yang bercampur amarah, sayang dan rindu yang berlapis kecewa hingga nafasnya seakan terbaca oleh angin malam.
“Lalu, kau tahu kenapa Tuhan menciptakan ciptaan-ciptaannya selalu berpasang?” lanjut Rizuta yang memang pembicaraannya itu tanpa lawan.
“Jawabnya sederhana, jika ada seseorang yang setiap harinya berjalan hanya mengenakan sandal sebelah kiri, hanya dua jawabannya ia kehilangan sandalnya atau pikirannya.”
“Lalu yang menjadikan pertanyaannya di mana sandal sebelah kanannya, yang jelas menjadikannya sebuah pelengkap dalam sebuah etika, kau tahu maksudku? Tuhan menciptakan langit yang berpasang dengan bumi, matahari yang melengkapi bulan. Itu hanya satu tujuan hanya untuk membuat mereka saling berbagi.”
“Apa yang kamu cari, Ri?”
Ruri semakin diam seolah mulutnya benar-benar mengerti untuk tetap diam, dan Rizuta semakin dalam menatap Ruri dengan kedua mata yang mulai berkaca.
“Aku sayang kepada kalian. Oleh karena itu sebelum mulut ini berhenti berucap, akhiri kerivalan kalian!”
“Tidak ada yang harus diperlombakan di antara kalian yang selalu berusaha berlomba-lomba mendaki gunung tertinggi, lalu setelah itu kalian unggah ke media sosial hanya demi sebuah pengakuan personal?” lanjut Rizuta
“Hahaha... Kalian itu terkadang sangat lucu dan unik kalau dipikir, dan kau pikir itu akan berakhir, tidak akan Ri! Karena itu bersifat kontinyu.”
“Gak ada satupun manusia yang bisa mengalahkan egonya kecuali dirinya sendiri.”
“Dengan kata lain, manusia gak akan bisa menang dalam segala hal kecuali dia bisa mengalahkan dirinya sendiri.”
“Dialah musuh yang sebenarnya harus kau kalahkan, bukan musuh yang seharusnya menjadi temanmu.”
“Dan kau gak akan bisa mengalahkannya sendiri. Kau tahu kenapa?”
“Karena kau butuh partner.”
“Itulah sebabnya sahabat itu ada dalam sebuah ikatan batin yang telah diciptakan oleh sebuah rasa, bahkan terkadang lebih dari ikatan yang diciptakan oleh darah.”
“Seperti kalian berdua, sebelum aku hadir dalam kehidupan kalian.”
“Seandainya dengan kepergianku bisa mengembalikan hubungan kalian berdua seperti semula, aku akan lakukan itu demi menghilangkan sifat kekanak-kanakkan kalian.”
“Sebenarnya sudah lama aku inigin mengatakan seperti ini kepada kamu, Ri.”
“Hanya saja menunggu saat waktu yang tepat, dan ku rasa saat ini waktu yang tepat.”
“Tolong sudahi kerivalan kalian!”
Rizuta lalu berdiri dan berjalan meninggalkan Ruri yang masih diam tak bergeming sambil menatap api unggun yang mulai meninggalkan bara. Lalu perlahan matanya mulai berkaca-kaca memantulkan wajah diri yang mulai ia sesali. Perbincangan tanpa lawan tadi membuat ia mengenang masa-masa persahabatannya dengan Nenez sebelum ego memisahkan kedewasaan mereka. Tidak jauh dari tempat Ruri duduk di bibir mulut tenda, Moza dan Bidu ternyata mendengar semua perbincangan mereka.
Malam pun semakin larut dimana sebagian peserta telah terlelap bersama mimpinya yang mereka kemas dalam sebuah perjalanan pendakian mereka. Ruri yang masih tetap membisu sambil memandang api unggun yang mulai meninggalkan bara dengan sebatang rokok yang masih setia mengapit di ruas jemarinya bersama secangkir kopi yang baru dibuatkan oleh Moza sebelum ia pamit untuk istirahat terlebih dahulu, dan dilanjut oleh Bidu lalu Rizuta setelah diberikan obat khusunya kepada Moza untuk beranjak istirahat. Walaupun Rizuta tahu kondisinya semakin tak berdaya dan ia berniat untuk turun esok hari, jika kondisinya semakin memburuk karena ia tidak ingin memperhambat kawan-kawanya. Malam ini adalah malam di mana kenangan itu akan terpotret dalam bingkai ingatan bagi mereka tentang seseorang kawan yang akan selalu hadir dalam hati mereka masing-masing.
Malam pun telah berganti pagi, putaran waktu kepada zaman selalu meninggalkan ukiran sejarah dalam sebuah perjalana yang digores oleh anak manusia dengan warna-warni tintanya, seperti yang terukir saat ini.
Jam 08.30 setelah mereka dan para peserta selesai sarapan pagi lalu mereka segera melakukan packing dan ‘opsi’ (operasi bersih) menuturi sampah lalu mereka kumpulkan untuk dimasukkan ke dalam polybag (sebuah kantung plastik berukuran besar) untuk mereka bawa turun lagi dan dibuang ke tempat semestinya. Setelah itu mereka melakukan doa bersama sebelum berangkat, dan ada sedikit kendala setelah itu yang sudah langsung segera diatasi oleh panitia supaya peserta berangkat terlebih dahulu, sebab penyakit Rizuta kambuh lagi dan membuat Moza kalang kabut menanganinya. Ruri dan Moza memberi usul suapaya Rizuta dibawa turun oleh mereka berdua, lalu Bidu dan panitia lainnya melanjutkan perjalanan, tetapi Rizuta menolak bersikeras ingin terus menyelesaikan acara sampai akhir karena ia ingin menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai pemimpin rombongan. Keputusan Rizuta langsung segera ditolak mentah-mentah oleh Moza walau ia tahu sebenarnya Rizuta ingin turun tetapi demi sebuah tanggung jawab membuat ia urungkan niatnya.
“Aku masih kuat, Za. Tenang saja kamu gak usah khawatir aku akan baik-baik saja,” ucap Rizuta sambil bersandar di pipih keril berukuran 100 liternya dengan posisi duduk dengan kedua kaki berselonjor.
“Yah tentu aku tahu kamu akan baik-baik saja, karena memang kamu adalah seorang pendaki wanita yang kuat.”
“Akan tetapi aku wajib khawatir dengan keadaaan kamu sekarang.”
“Ayo kita turun, Ta! Apa kamu tidak percaya dengan Bidu yang menggantikan posisi kamu menjadi pimpinan rombongan makanya kamu bersikeras untuk lanjut?” ucap Moza yang tatapannya mulai berkaca-kaca melihat kondisi Rizuta.
“Sisihkan egomu sebelum kau terbungkam!” ucapan kedua kali Moza itu membuat Rizuta berpikir lama lalu perlahan menatap Moza lamat-lamat lalu segera bangkit.
Akhirnya ia menyetujui keputusan moza untuk segera membawanya turun. Sepertinya Rizuta sedang menghadapi dirinya sendiri.
“Ayo kita turun!” lalu Rizuta mengambil posisi kuda-kuda untuk mengangkat keril yang segera langsung digenggam lengannya oleh Ruri.
“Biar ini aku yang bawa, Ta!”
Gengaman Ruri lalu ditepisnya
“Ini bebanku sudah semestinya aku yang memikulnya.”
“Karena semua jenis impianku ada bersama tas keril ini.”
“Bukannya kau yang bilang memikul impian itu tidak bisa sendiri melainkan kau membutuhkan seseorang untuk mewujudkannya.”
“Apakah kau tidak ingin aku menjadi partnermu?” ucap Ruri.
“Aku turun bersama keril ini atau tidak sama sekali!” ucap Rizuta membuat Moza dan Ruri saling tatap yang langsung dibalas anggukan oleh Moza yang menandakan menyetujui keputusan Rizuta.
“Za, kamu leader dan aku sweeper.”