Moza menghela nafas penuh peluh, entah kenapa sesaat sesampainya ia di ambang pintu kamar Nenez, degup jantungnya berdetak tak bertempo seolah ia menjadi asing memasuki kamar yang menjadi persinggahannya yang kedua. Selama ini saat ia keluar rumah sebelum melanjutkan aktivitasnya yang lain. Mungkin kebiasaan itu telah mentradisi ke dalam hidupnya atau tuntunan hati yang tak bertuntut seperti halnya langkahan kecintaanya kepada gunung. Yang pasti ia menjadi terasa asing dengan kebiasaanya itu. Lalu tidak lama setelah ia mengamati kamar Nenez, sepasang matanya terperangkap pada sebuah foto berukuran R10 yang sangat kontras oleh pengelihatannya karena sebelumnya itu tidak terpampang saat terakhir mengunjungi Nenez sebelum melakukan pendakian. Foto itu terbusana dalam tubuh bingkai, tersemat di dinding bata merah yang sengaja tidak dipelester oleh pemilik kamar tersebut dan disana terekam gambar seorang wanita tomboy yang mengenakan jaket berwarna hijau dan seorang wanita yang tampak kemayu dengan dibalut jaket coklat tua yang mengapit seorang lelaki berambut ikal di tengahnya. Moza sangatlah mengenal foto tersebut yang tidak lain adalah momen di mana saat ia dan Harneza serta bersama Rizuta mencapai puncak Gunung Pangrango untuk pertama kalinya. Air matanya tak tertahankan lagi untuk memendung kesedihan, kegembiraan, ataukah itu tentang kerinduan yang telah bersayap untuk dua sosok figur yang ia sayangi itu. Lalu Moza berusaha mengalihkan perasaan itu dengan mencari sela tempat di mana untuk menaruh sebuah potret plakat in memoriam Rizuta. Lalu, lagi-lagi sepasang matanya seakan kembali mengerti untuk menjelajahi kembali sekat ruang yang sudah amat lama tak ia lukis itu. Setelah beberapa saat mengamati seluk rindu kamar itu lalu pandangannya lagi-lagi tertuju pada sebuah buku harian yang sampulnya terbuat dari kulit-kulit ari pepohonan berwarna kecoklatan yang seakan terlihat menjadi unik seunik meja kayu yang menopangnya itu. Yang mengejutkannya lagi saat Moza mendekati buku tersebut ia melihat di bagian sisi sekat kulit kayu tersebut terukir sebuah tulisan yang bertuliskan namanya tersebut dengan lengkap ‘Mozaika’ seolah buku tersebut memang miliknya atau untuk diberikan untuknya. Ia mengamati lamat-lamat buku itu dalam relung hati yang telah dipunuhi dengan segudang tanya lalu berhasil menggerakan lengannya untuk meraih buku tersebut untuk menelusuri lembaran demi lembarannya. Pikir Moza tidak lancang membaca buku harian seseorang karena buku tersebut memang bertuliskan namanya, dan ia memutuskan untuk membaca kontur demi kontur arti dari tulisan buku tersebut yang membuatnya pada akhirnya kembali tersesat dalam perasaannya sendiri, dan mengetahui arti mengapa Nenez menuliskan namanya di muka buku tersebut.
“Rupanya aku lupa untuk menempatkan kembali buku itu ketempatnya.”
Tiba-tiba Nenez sudah berada di belakang Moza yang membuatnya terkejut dan gugup tetapi keadaan itu segera hilang lewat mulut realita yang disampaikan oleh buku itu kepada Moza untuk menjawab tentang perasaanya.
“Apa maksudnya ini, Nez?” Moza mengacungkan buku itu tanpa membalikan tubuhnya untuk saling berhadapan.
“Me-menurutmu...? Oh tidak! Menurutku, kau cukup tahu untuk mengartikan maksud semua itu bukan?”
Moza masih terdiam dengan posisi mengacungkan setengah lengannya sambil memegang buku harian tersebut, lalu tidak lama ia meraih sebuah pulpen yang terletak tidak jauh dari keberadaan buku tersebut dan menuliskan sesuatu di balik sebuah potret in memoriam Rizuta yang niatnya memang ingin ia selipkan di sela kamar ini dan yang pada akhirnya ia putuskan untuk diselipkan di balik lembaran buku itu. Moza membalikkan badannya perlahan hingga saling bertatap muka dengan Nenez yang persis tepat berada dibelakangnya. Lalu ia menatap Nenez lekat-lekat, terlihat kegugupan melalui matanya.