Siluet mentari senja membias di sela ranting rumah pohon, terdengar riuh suara burung gereja yang sedang asyik mengemas makanan ke dalam mulut setiap anak-anak mereka yang masih bayi kemerahan dengan beberapa ruas buluh yang mulai menumbuh.
Suasana rumah pohon itu kembali terlihat terhuni oleh sang pemiliknya, termasuk dari keempat sosok sahabat yang sudah lama sekali mereka tak menorehkan warna dari setiap gelak canda dan tawa mereka, gurauan kocak dari sosok Bidu, semangat dan ambisinya Ruri, Nenez dengan pola pikir yang sedikit rumit untuk dipahami, bahkan candaannya pun harus dicerna lama untuk mendapatkan satu gelak tawa dari teman-temannya dan Moza, sosok wanita satu-satunya yang terkadang terlihat manja dan jenaka tetapi dapat mampu meleburkan semua suasana dari tiap kekurangan sahabatnya. Karena buat Moza persahabatan bukanlah sebuah hubungan yang hanya berisikan orang-orang sempurna, melainkan di antaranya adalah sebuah bentuk empat kotak yang dua kotaknya terisi, sedangkan sisanya kosong lalu mereka saling mengisi satu sama lain kekurangannya. Justru terkadang dengan kekurangan-lah kita menjadi sempurna.
Rumah pohon itu terlihat tampak tidak ada yang berubah sedikit pun, dari saat terakhir mereka memutuskan jalan masing-masing demi meredam rivalitas antara dua orang yang telah terendam ego. Rumah pohon itu kini diibaratkan seperti bentuk album potret yang berisi lembaran demi lembaran kisah yang membingkai dalam hidup mereka. Hanya kenanganlah yang mampu menarik kembali tiap tali hati yang telah mengulur. Dan kini mereka tidak halnya seperti anggota tubuh, jika salah satu di antaranya ada yang terluka anggota tubuh yang lain sibuk membantu untuk menyembuhkan, melalui proses kerja pikir otak yang memberi perintah atas semua kesepakatan yang tercipta. Itulah yang sedang terjadi didalam rumah pohon yang berbentuk prisma itu.
Mereka akhirnya berkumpul kembali setelah Moza dan Nenez meyakinkan bahwa mereka dalam kondisi aman dan tidak dalam sebuah target operasi. Bidu yang lebih banyak diam memandang murung ke arah luar jendela sambil sesekali memainkan asap rokok yang keluar dari mulutnya untuk membentuk simbol lingkaran. Ruri yang terlihat semu membaca buku ‘Dunia Sophie’ karya Jostein Gaarder yang entah sudah berkali-kali ia gentaskan, lalu Moza mencoba memulai pembicaraan setelah mendapat isyarat sebuah mimik dari Nenez untuk memecahkan kediaman sunyi di antara mereka dengan mencoba bertanya kepada Bidu tentang akar permasalahan penyebab sembunyinya mereka di Bandung. Sebenarnya Nenez dan Moza telah sedikit mengetahui permasalahannya, mereka berdua hanya inigin mendengar dari sumbernya langsung setelah mereka sepakat akan menceritakan semuanya di rumah pohon, setelah menjemput Bidu dan Ruri di kediaman Albanie di Bandung. Akhirnya Bidu menjelaskan semua perihal yang terjadi termasuk cerita drama yang dibuat Ruri kepada Bidu yang ternyata mempunyai benang merah yang sama dengan kenyataan, sambil sesekali nafasnya tercekat saat menyebut nama Dara, dan mengakhiri buah ceritanya dengan rasa penuh bersalah akan pengakuannya yang teramat sangat pilu. Tinggallah Moza untuk memilih dan merangkai kata-kata yang tepat untuk memulai semua ceritanya tentang Dara secara ringkas dan sederhana walau sebagus apapun awal penceritaannya tetap akhirnya akan menyakitkan.
“Bidu.”
“Sebenarnya aku dan Nenez telah mengetahui semuanya tentang kamu dari Dara”
Spontan Bidu beranjak berdiri dari tempat duduknya setelah mendengar nama kekasihnya itu.
“Kalian bertemu Dara?”
“Di mana dan bagaimana keadaannya sekarang? Aku kangen dia, Za.”
“Kamu tenang dulu!” jawab Moza.
Sambil tangannya mengisyaratkan Bidu untuk kembali duduk di kursinya.
“Setelah penggrebakan narkoba di kostan kamu, Dara terkena ciduk oleh petugas dan ia langsung diamankan.”