“Waktu berlari, Waktu berlalu”
Waktu adalah susunan bagian dalam sebuah penciptaan, di mana awal pada saat dunia ini membentuk dirinya sendiri setelah penciptaannya secara spiritual oleh Tuhan, waktu juga adalah sebagai tangan-tangan pembentuk sebuah peradaban dalam setiap zaman.
Waktu adalah sebuah alur yang diperintahkan untuk tetap tidak mundur. Begitu juga dengan kisah hidup Harneza, waktu tidak dapat diulang secara harfiah, tetapi dengan kekuatan imajinasi yang telah tersusun oleh sebuah kenangan, perjalanan jejak waktu dengan sendirinya menciptakan sebuah ploting dalam cerita, di sanalah waktu seolah dapat terputar kembali.
Mereka berdua telah sampai di sekretriat Green Ranger di Cibodas. Sebuah gerbang awal di mana para pendaki melakukan sebuah pendakian. Mereka berencana terlebih dahulu bertemu dengan Bang Idat selaku pemilik Green Ranger tersebut untuk melakukan registrasi awal terlebih dahulu, karena saat ini registrasi melalui Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) agak begitu sulit pasca terjadinya demonstrasi yang dilakukan para pecinta alam untuk mengusut penolakan sebuah pembangunan rute gondola. Namun, setelah Nenez bertemu dengan Bang Idat untuk melakukan registrasi, ia mendapat penolakan secara persyarat pendakian, karena memang peraturan yang secara tertulis tersebut tidak boleh melakukan pendakian kurang dari 3 orang.
Setelah bernegosiasi panjang oleh Bang Idat akhirrnya Nenez diperbolehkan melakukan pendakian setelah sebelumnya Nenez sempat menolak untuk saran ditemani oleh pemandu pendakian, yang pada akirnya Nenez memberi usul untuk ikut serta dalam rombongan pendaki lain yang lebih dari tiga orang untuk memenuhi jumlah persyaratan pendakian. Mau tidak mau akhirnya Bang Idat menerima usulnya tersebut walau itu sebenarnya tidak diperbolehkan, mengingat ia dan orang tua Nenez sudah sangat dikenal oleh Bang Idat dan lagi tentang plakat epitaf Rizuta yang bersemayam di sana yang memang menjadi tujuan utama Nenez mendaki. Pada akhirnya Nenez dititipkan oleh Bang Idat kepada pendaki yang secara kebetulan sama-sama berasal dari Depok. Setelah Nenez berkenalan satu sama lain dengan rombongan dari Depok mereka pun bersepakat untuk berangkat pendakian pada esok pagi dan berjanji kepada Bang Idat akan segera cepat turun kembali setelah tabur bunga tersebut selesai.
***
Hujan turun cukup deras di langit Cinere, tempat di mana kediaman Nenez berada, dan tempat di mana Moza dengan murung memandangi lanskap rumah pohon yang tersamar oleh garis hujan dari balik jendela kaca yang sedikit mulai mengembun.
Keluarga Nenez seperti biasa selalu menghadirkan sosok Moza untuk memecahkan sebuah permsalahan yang berhubungan dengan anaknya.
“Untung kamu tiba sebelum hujan turun, Za,” ucap Tante Jasy.
Sambil membawakan nampan yang berisi makanan ringan dan beberapa cangkir kopi untuk sekedar melaraskan cuaca.
Moza dan Bidu sengaja diundang oleh keluarga Nenez untuk membicarakan perihal tentang pendakian anaknya yang sedikit mengganjal di benak kedua orang tuanya, sedangkan Ruri menghilang tidak ada kabar setelah pertengkaran dengan Nenez waktu itu.
“Apakah kalian sudah mengetahui tentang pendakian Nenez ke Gunung Gede?” tanya Om Hans yang langsung memulai topik pembicaraan tentang Nenez, yang membuat Moza terperanjat dan mengurungkan niat untuk menyeruput secangkir kopi yang hampir sampai di pembatas bibirnya.
“Jadi Nenez mendaki Gunung Gede?!” ucap Moza dan Bidu secara bersamaan, membuat mereka berdua menatap satu sama lain entah untuk menyikapi persamaan ucapan yang telah terjadi berkali-kali atau untuk pendakian yang secara tiba-tiba Nenez lakukan.
“Ka-pan?” tanya Moza.
“Tadi pagi, bukan masalah pendakiannya yang Tante khawatirkan, Za, tetapi…” Tante Jasy terdiam sejenak untuk sekedar memilah kata yang tepat untuk menggambarkan tentang kehidupan anomali anaknya.