REA

Beni satria
Chapter #30

1/

“Nez ingat, jika kau tak ingin dicurigai dan dianggap gila oleh orang lain jangan berkomunikasi denganku saat ini, ok?” bisik Rea saat Nenez melakukan pemeriksaan dokumen di pos ttama pendakian.

“Berisik!” bentak Nenez dengan nada pelan.

Setelah selesai melakukan pengecekan dokumen dan persyaratan pendakian Nenez dan Rea memulai pendakian bersama dengan tujuh pendaki asal Depok. Selama perjalanan Nenez selalu memerhatikan tingkah laku Rea yang terkadang begitu menyebalkan karena ia bisa muncul dimana-mana. Terkadang dia berada di baris rombongan paling depan, muncul di baris bagian belakang, lalu menjaili Nenez dengan menimpukinya dengan biji pohon pinus yang muncul entah dari arah mana tetapi yang ia tahu itu memang ulah salah satu dari keisengan Rea.

“Kapan kamu memisahkan diri dari rombongan mereka, Nez?” tanya Rea.

Saat rombongan mereka istirahat dalam pos selter jalur pendakian menuju Telaga Biru.

“Kenapa? Kamu tidak tahan yah untuk dapat berbicara denganku secara intim?” ledek Nenez dengan delikan mata yang berusaha menggoda.

“Dia mah begitu, padahal kan perjalanan ini akan menjadi pertemuan kita yang terakhir,” ucap Rea dengan nada khas manjanya yang mulai sedikit Nenez kenal. 

Rea memandang kearah Nenez dengan tatapan sendu yang membuat Nenez sedikit merasakan suasana yang sama di mana saat ia melihat ratapan Rizuta melepas keberangkatanya untuk terakhir kali. Sungguh ia sangat mirip entah dari sisi mana perasaan ini mulai menyamakannya gumam Nenez yang secara reflek langsung menggenggam jemari tangan Rea, sehingga membuat ia merasakan gestur kulit yang seakan begitu nyata yang tak bisa disangkal oleh body memory-nya, bahwa sentuhan itu memang benar ada dan terasa, sekuat apapun ia menyangkal bentuknya kedalam batas imaji.

“Memang kamu mau kemana, Re?” bisik Nenez dengan lembut sambil memandangi kedua matanya yang sendu seakan dari situ dapat melihat sisi jauh dari diri Rea yang membuat ia merasa pernah mengenal sebelumnya entah dimana.

Kemudian tatapan itu dibuyarkan dengan tepuk sapaan dari seseorang yang berasal dari salah satu rombongan pendaki asal Depok. Orang itu hanya sekedar menawarkan secangkir kopi untuknya dan di saat itulah ia baru sadar ternyata ia menggenggam sebentuk biji pohon pinus di mana sesaat lalu jemarinya melengkapi ruas sisi jemari tangan Rea. 

“Ku dengar pelakat In Memoriam yang bersemayam tidak jauh dari Pos Kandang Badak itu milik mendiang kekasihmu yah?” tanya seorang wanita yang memberikan secangkir kopi kepada Nenez.

Segera Nenez balas pertanyaan itu dengan sesimpul senyum. Wanita itu lalu membalas kembali dengan senyum isyarat bahwa perjalanan pendakian segera akan dilanjutkan kembali.

“Rupanya mendiang kekasihmu itu cukup terkenal yah?” bisik Rea yang secara tiba-tiba hadir dari arah belakang di sela-sela perjalanannya menuju Pos Telaga Biru sambil kedua posisi tangannya memegangi pundak persis seperti permainan epic anak-anak era tahun 70-an mengenai permainan kereta api pada saat terang bulan, ‘naik kereta api tut-tut-tut siapa hendak turun’ Rea melantunkan lagu itu sambil mendorong-dorong tubuh Nenez.

Embun pagi masih menjejak basah di dedaunan pohon rasamala yang menguning jatuh berguguran menghiasi sepanjang jalan menemani rombongan yang telah hampir sampai dalam perjalanan menuju Telaga Biru. Jalan selebar 3 meter, dengan bebatuan alam yang tersusun rapi yang terhampar di sepanjang jalan yang cukup landai, lalu di sana nampak terlihat Rea sedang meneteskan bening embun kedalam matanya yang ia ambil dari bebungaan yang tumbuh menghiasi di pinggiran sepanjang jalan menuju Telaga Biru yang memiliki luas sekitar 4 hektare dan terletak pada ketinggian sekitar 1.555 meter di atas permukaan laut. 

“Kau tahu kenapa danau itu tampak terlihat berwarna biru, Nez?”

Lihat selengkapnya