REA

Beni satria
Chapter #2

Harneza Anchor

Sebuah mobil tipe SUV merah melintas memasuki pekarangan rumah klaster minimalis, di mana hampir sebagian dinding bagian depan halaman tersebut terpasang papan wall climbing yang tingginya mencapai balkon teras kamar atas. Selain itu halaman rumah tersebut cukuplah rimbun di mana di pinggir halaman tersebut tertanam beberapa pohon pinus dan cemara, satu di antaranya dibangun sebuah rumah pohon. Lalu di bagian sisi lain halaman tersebut terlihat sebuah bangunan gazebo yang terletak di tengah sebuah kolam yang nampak seperti seolah bangunan itu terlihat mengambang. Kesan pertama jika seseorang melihat rumah tersebut pasti lah pemiliknya mempunyai hobi berpetualang di alam bebas. Tidak lama kemudian sosok wanita tomboy mengenakan kaos abu-abu tua dan celana jin yang sedikit robek di sela bagian lututnya keluar dari sebuah mobil SUV berwarna merah itu, ia menaiki sebuah tangga railing besi yang memutar sambil tangannya mengetuk anak kunci ke bibir railing sembari memanggil nama seseorang dengan sedikit nada berteriak. Kegaduhan sebagai bentuk kode salam kepada sahabat kecilnya, penanda atas kehadirannya. Begitulah suasana pagi Nenez jika kedatangan sosok wanita yang memiliki paras yang sangat oriental, seorang wanita tomboy bernama Moza.

Moza yang doyan tidur, suka usil, rame, dan jago memainkan alat musik gitar akustik apalagi kalau sudah duet bersama Nenez mendendangkan lagu kegemaran mereka”I love the way love me” karya Eric Martin, sang mantan vokalis band Mr. Big. Moza sering menemukan chemistry diantara mereka dan juga ia adalah sosok yang sangat mengerti dengan keadaan Nenez.

Sekelompok manusia ‘abnormal bin anomali’ yang fanatik dalam soal mendaki gunung, kadang mereka mendaki sebulan bisa sampai tiga kali kalau lagi pada ‘angot’, terkadang naik gunung bagi Moza dimanfaatkan untuk terapi menghilangkan tidur kebonya yang sudah mengakar, ibaratnya stadium akhir. Kalau kata Moza, hal yang paling disesali manusia semasa hidupnya adalah mereka yang tidak pernah merasakan kehidupan di alam bebas. Manusia yang mendapat predikat super aneh dari kedua orang tua Nenez akan sikap ‘selengeannya’, selalu menaiki anak tangga yang memutar dari halaman luar rumah ke jendela, juga pintu kamar atas Nenez untuk menemui sahabatnya itu ketimbang masuk melalui ruang tamu. Yah cukup maklum memang, Moza sudah sangat dekat dengan penghuni rumah tersebut dan sering mendapat ledekan dari kedua orang tua Nenez ketika Moza kepergok tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya.

Maka karena kebiasaannya yang ‘selengean’ itu lah yang buat sosok wanita yang bernama lengkap Mozaika itu mendapatkan sebuah julukan dari kedua orang tua Nenez yaitu ‘wareng’ atau disingkat dari wanita berang-berang. Moza sempat protes karena ia disamakan dengan hewan pengerat berang-berang, yang memang habitat kehidupan hewan tersebut selalu membuat jalur rahasia untuk menghindar dari predatornya, itulah alasan kenapa ia mendapatkan julukan tersebut.

Moza menghentikan langkahnya di beberapa anak tangga sebelum sampai ke balkon, sembari menghirup sisa aroma hujan yang datang pada dini hari tadi serta wewangian khas pinus. Sejenak pandangannya mengarah ke sebuah bangunan rumah pohon, sudah agak lama juga ia tidak bertandang ke kediaman Nenez pikirnya, setelah semenjak dari peristiwa naas yang menimpa sahabatnya itu.

“Kalau bertamu ke rumah orang itu lewat pintu depan bukan masuk dari jendela!”

“Lagian kamu bisa gak sih jadi wanita itu bersikap anggun sedikit gak musti harus teriak-teriak?” tegur Nenez yang sejak tadi sudah duduk di pinggir bibir pembatas jendela dengan ditemani secangkir kopi yang mengapit di ruas jemarinya, sembari memandang paras cemberut Moza saat ia sampai di anak tangga terakhir pembatas balkon, dan inilah tradisi pagi mereka berdua saat bertemu.

“Baru juga sampai udah diomelin, orang mah kalau tuan putri dateng itu dirayu gitu, gak romantis banget sih jadi cowo!” ucap Moza sambil menyedekap kedua tangannya dan memasang mimik manja yang dibuat-buat, Nenez hanya menyeringitkan dahi sambil menahan tawa.

Lalu mereka berdua pun saling menatap dan membalas senyum yang mungkin dapat mewakili sebuah kata yang tak bisa mereka ucapkan, hanya sebuah pelukanlah yang terkadang dapat mengerti arti dari gestikulasi rindu.

“Kamu tuh gak kuliah apa Za pagi-pagi udah ngusilin orang?!”

“Terus Ruri kemana tumben gak bareng sama kamu?” tanya Nenez.

“Dosen mata kuliahku lagi Nikahin anaknya.”

“Ruri lagi packing minjem alat di sekret Mapalanya,” jawab Moza.

“Hmmm... Sudah lama juga yah kamu tidak mampir ke sini?” ucap Nenez yang membuat Moza agak sedikit kikuk untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Lihat selengkapnya