“Ya, Ampuuuunnn!!! Anak ini!”
Suara Santi. Aku tersadar itu suara Santi. Teriakan diluar sana memperingatkanku bahwa sesuatu telah terjadi dan itu berhubungan denganku. Aku berharap itu halusinasiku saja, sungguh. Bibirku kelu, nadiku berdetak cepat, secepat napasku yang mulai gemetar. Wanita yang bernama Shanti itu pasti kembali memarahi Zidan, anak malangku yang bahkan tak mengerti imbas dari perbuatannya.
Aku mencoba menarik napas dalam, berupaya tetap menggoreng untuk tiga menit penting, ketika kegiatanku didapur tak bisa kutinggalkan. Telor goreng yang baru saja kutumpahkan pada ke loyang penggorengan. Bersama sayur lodeh yang sedikit lagi akan matang, Aku memaksaku menahan diri sebentar, agar semua masakan ini matang sebentar lalu Aku akan keluar.
“Zidan! Hei!” Teriak Wanita berbadan besar itu lagi. “Ssshhhhh. Sial!” Rasa tak sabar semakin membuatku harus membereskan telor goreng ini. Zidan pasti melakukan sesuatu yang membuat Wanita gemuk itu murka. Wanita bernama Santi itu adalah tetangga, sekaligus Musuhku di komplek ini.
”Mana Wanita itu?” Teriaknya, “Yura!” teriaknya lagi.
Zidan sepertinya berada tepat didepan Santi. Terdengar, dari suara tawa riangnya yang tidak peka bila dimarahi. “Yura!!” Mataku memberengut, teriakan Santi sudah seperti peluit sopran tinggi, memekak, dan selalu membuat otot wajahku menegang.
Prak!! Sesuatu telah pecah.
"Shhh! Sial....!" Aku harus segera pergi!
Dengan segera kutinggalkan kompor yang masih menyala itu, dan melesat menghambur ruang tengah-yang sekilas kupandang telah berantakan. Kakiku dengan cepat mencari sendal mana saja untuk kupakai dan berlari. Kulihat beberapa Tetangga depan rumah telah berada didepan rumahnya masing-masing. Mereka bersiap untuk kembali mengawasi pertengkaran kami yang kembali terjadi.
Duk, duk, duk!
Aku sampai tepat didepan Santi saat Zidan tampanku menyunggingkan senyum polos dengan gigi ronggosnya. Kutarik Zidan kesisiku dan memeriksanya bila dirinya terluka. “Yura, apa yang Kamu lakukan? Kamu membiarkan anakmu berkeliaran dan masuk rumahku?!” sergahnya.
Aku mendesah, kemudian menengok kebawah. Sebuah botol hijau zamrud pecah berhamburan. Bedan itu bukan botol, melainkan vas bunga berbentuk botol yang sepertinya memang milik Santi. “Lihat! Anakmu menghancurkan vas bunga yang kubeli dari Singapur!!” matanya melotot merah saat mengatakan dari mana benda itu berasal.
“Zidan pasti tak berniat menghancurkannya.. Dia hanya-“ Aku terhenti melihat sebagian botol pecah itu ditangan Zidan.
Astaga, Zidan...
“Kamu kira Aku bodoh? Kamu sengaja mengutus anak Autis untuk mengerjaiku?! Aku tahu kamu ingin balas dendam!” Dia seperti sengaja mengeraskan suaranya.
Betul. Bila Aku boleh berkata, Aku ingin membalas dan menghinanya di hadapan orang-orang, tapi itu tak kukatakan. Aku hampir lupa bahwa Santi juga adalah korban kehidupan. Untungnya kewarasan masih membungkam mulutku rapat-rapat, bersama napas dalam yang selalu menjadi andalanku. Karena suaranya yang keras tadi, semua tetangga akhirnya keluar dari rumah menyaksikan kembali perseteruan kami. Sekilas, selain para tetangga, Aku bisa melihat seseorang dibalik tembok rumah Santi. Sosok itu adalah Tiar, temanku saat SMP. Masa bodoh lah! Aku tak peduli. Siapapun yang melihat kami, seperti inilah Kami yang selalu bertengkar.
“Berapa harganya?” Tantangku, mengait silang kedua tanganku pada sisi leher Zidan agar Dia tak kemana-mana.