Reaching For The Star

Dian hastarina
Chapter #2

Pesimis dan Sebuah Jalan Keluar #2


Nama Anakku adalah Zidan Raffi Al Ayubbi. Aku sangat meyukai nama itu. Almarhum Ayahnya yang memilih nama itu, dari sekian banyak nama yang kutawarkan. Kami begitu bahagia Zidan tumbuh menjadi anak yang aktif dalam masa batita dan balitanya. Bayi mungil Kami tumbuh menjadi anak paling tampan untuk dunia kecil kami. Pernah Kami membayangkan bahwa Dia akan menjadi aktris, sungguh khayalan yang luar biasa bukan?

 Anak kami, Zidan memiliki kulit putih langsat, rambutnya rimbun bahkan hitam kecoklatan. Bulu matanya lebat, ditambah lagi dengan lensa matanya coklat dan besar. Tak ada kata puas bagiku memandanginya kala Dia tidur. Kuakui, Aku sangat bangga dengan ketampanan fisik yang dimilikinya.

 Kata orang-orang Zidan lebih mirip denganku, separuh Ayahnya dan keningnya mirip kening Ibuku. Zidan juga sangat aktif. Saking aktifnya Dia selalu tertidur diatas jam malam rata-rata anak kecil. Mainannya selalu rusak satu kali pakai. Dia berlari tanpa henti, seperti tak ada kata capek untuknya. Mungkin Dia akan menjadi atlet lari. Ya, hanya sebuah harapan. Para Tetangga, dan keluarga jauh kami berkata anak yang aktif itu sehat dan juga cerdas. Sungguh, Kami percaya takdir itu milik Zidan.

Aku juga membagikan kebahagiaanku pada dunia maya. Dengan meminjam Laptop Suamiku, Aku membuat cerita perjuangan tentang Zidan yang kusamarkan dalam karangan, yang selalu kuposting akhir minggu. Tanpa tujuan komersil Aku mengarang cerita perjalanan Pangeran kecil Zidan dengan aksi berkelananya yang tanpa henti. Dan lumayan, pengunjung Blog penulis yang kusamarkan dalam nama pena amatir membuat beberapa pembaca tertarik. Aku bukan penulis. Menulis kuanggap bukan bakat, hanya hal yang kusuka. Kegiatan itu mengisi waktuku sebagai Ibu yang sudah berhenti bekerja. Saat itu, Kami benar- benat bahagia memiliki Zidan. Dia adalah harta berharga Kami yang sangat ingin kuperlihatkan pada dunia, ingin kupamerkan. Hidup tak perlu bergelimang harta, cukup harmonis dan bahagia, celetukku.

Tapi ternyata kata-kataku itu menjadi senjata yang menantangku. Takdir berkata lain, membuatku terpukul. Suamiku meninggal karena kecelakaan saat pulang bekerja. Dia bekerja di Bagian SDM, disalah satu Rumah Sakit di Bandung. Sebelum Dia meninggal, Dia mengkonsulkan anak kami berbekal pengetahuan yang didapatnya dari teman-teman di Rumah Sakit. Melihat perilaku Zidan yang lebih aktif dari anak seusianya, Suamiku mengajakku bertemu Dokter tumbuh kembang Anak.

Hati Kami hancur. Meskipun Aku tidak bisa menerka ekspresi Suamiku, Aku tahu kekecewaaannya menjadi nyata. Anak kami, kebahagiaan Kami, menderita kelainan tumbuh kembang seumur hidup. Zidan diagnosa Autisme dan ADHD (Attention Hyperactivity Disorder) di usianya yang menginjak tiga tahun. Dan, berita menyedihkan lainnya adalah beberapa hari setelah itu, Suamiku pergi untuk selama-lamanya.

Duniaku runtuh. Apapun yang kulihat hanya hitam dan putih. Semua kebahagiaan seakan direngut disaat yang bersamaan. Suamiku tak akan pernah kembali saat Aku sangat membutuhkan dekapan semangatnya. Aku mencintainya, namun disaat yang bersamaan Aku membencinya. Kenapa Dia meninggalkanku sendirian? Kenapa Dia meninggalkan tanggung jawab sebesar ini padaku? Dan… kenapa Tuhan mengujiku begitu hebat? Semua itu, adalah awal mula pertanyaan-pertanyaan ketidakadilan hidupku.

***

Harta berlimpah, Uang. Aku bukan Wanita yang mengagungkan uang. Tapi benda Brengsek itu membuatku bertekuk lutut pada dunia fana yang brengsek ini. Dunia mana saat ini yang tak membutuhkan uang? Aku mulai percaya dunia ini tak akan berjalan tanpa uang. Miskin menerorku. Hutang menjeratku. Hidup ini sudah tak bisa kulalui tanpa benda brengsek itu.

Pekerjaanku sebagai Waiter yang baru kujalani juga tak memberikan uang yang cukup. Adikku Alina terjerat hutang saat Dia juga memutuskan menikahi Pria brengsek yang berhasil mencuri uang pinjaman menikah mereka. Pria brengsek, dan dunia ini memang brengsek. Aku hampir percaya kutukan janda sial itu ada.

Kembali pada kejadian seminggu lalu. Aku memarahi Alina yang datang dengan pipi kanannya yang lebam serta mata merahnya. Dia mengaku telah ditipu. Aku benar-benar marah! Sungguh! cobaan klise macam apa lagi ini? Aku kira Alina adalah wanita kuat yang tak akan tertipu. Ternyata cinta membuat rasionalnya tumpul, dan dipukul telak oleh cinta. Adikku memang bodoh. Tapi di saat yang sama, Aku merasa sama bodohnya. Aku tak bisa memberinya petuah, malah membuatnya makin menyesali hidupnya.

Disaat yang pelik itu, lagi-lagi Santi datang kembali. Wanita itu seperti diutus oleh Tuhan sebagai gempa yang memporak-porandakan duniaku, yang baru saja dilanda tsunami masalah. Dia tertawa dan berteriak, bahwa Aku adalah Janda sial, lengkap dengan sebutan anak sialku untuk Zidan. Seketika kepalaku naik pitam. Tanganku berlari membawa pisau dapur paling tajam yang dengan cepat ingin kuarahkan padanya. Aku seperti orang gila yang menantang orang Gila. Brengsek! untungnya, tepat sebelum Aku keluar dari pintu, Alina menghalangiku, sehingga Aku tak mencapai Santi. Kurasa hanya Alina yang berpikir waras saat itu. Namun, untuk  para Tetanggaku, sepertinya itu sudah terlambat. Mereka sudah menyaksikanku mengacungkan pisau pada Santi. 

Lihat selengkapnya