Ini adalah hari minggu yang baik. Aku mulai menata diri kembali untuk berdandan. Merias rambut, mendempul wajahku hingga lekuk sial di wajah ini menghilang. Rasa percaya diriku kembali berkibar. Gaun ungu yang kini berada di hadapanku menghadap cermin adalah gaun yang terakhir kubeli bersama Almarhum Suamiku. Hanya gaun lama ini yang paling menarik diantara lima gaun lain yang kupunya. Sudah lama sekali Aku tak membeli baju dan berias. Ya, dua tahun lamanya aku mengurung diri dalam kondisi seperti ini.
Aku akan bertemu Yoana Shyeril. Penampilanku tak boleh berkesan buruk dihadapannya. Di awal pertemuan kami nanti, Aku juga tak akan membahas tujuanku dulu. Pembicaraan itu akan kulakukan bila ada kesempatan (meski sepertinya Aku akan mati karena gugup harus minta tolong pada Selebriti).
Tap, tap, tap.
Langkahku benar-benar mengandalkan semangat juangku. Rasa percaya diriku pun muncul sedikit demi sedikit. Pertolongan segera datang. Dadaku tak berhenti berdetak kencang, karena kata-kata itu meluaskan hatiku yang nestapa. Sesekali napasku juga kualirkan lewat mulut, dan kuhirup melalui mulut kembali. Hidungku tak mampu menghirup kencang-kencang karena gugup menguasai pergulatan dasyat, yang menggema disetiap rongga paru-paruku. Aku senang, sungguh. Sudah lama Aku tak mengalami perasaan seperti ini.
Zidan sudah kutitipkan pada Alina yang juga libur, jadi semua seharusnya tak ada masalah. Tak ada kekhawatiran yang berarti, karena hal yang paling kujaga telah kutitipkan dengan baik. Semoga Aku tidak mengacaukan apapun. Semoga semangat ini juga masih sama, saat langkah kakiku keluar dari rumah tadi. Hari ini, Aku akan kembali menjadi Yura ketika masih diliputi kebahagiaan yang paripurna, dan untuk sebentar saja mengesampingkan beban hidupku.
***
Setelah turun dari angkot, akhirnya Aku melihat hotel tempat reuni diselenggarakan. Ya, tempat reuni kami diadakan di salah satu Hotel bintang lima di Bandung. Untuk melewatinya Aku harus melintas rel kereta api. dan untuk sampai ketempat itu, Aku perlu berjalan kaki ratusan langkah karena angkot yang kutumpangi tadi tak melewati hotel itu.
Kerikil batu kecil yang membuat langkahku goyah tak kupikirkan. Terik matahari sore pun bukanlah masalah. Apapun akan kulakukan untuk bertemu Dewi penolongku. Kepalaku kembali mendonggak menatap gedung itu. Tersipu dengan mata yang menyipit saat menatap tingginya hotel yang menjulang itu, matahari sore membuat dinding kaca-kaca biru itu terlihat penuh kebahagiaan. Seakan ini pertama kalinya Aku masuk kedalam tempat yang menawarkan surga, dan menjauhkanku dari petaka.
Langkahku kembali maju menapaki jalan. Ditemani mobil motor disampingku yang juga searah dengan jalanku, rasanya sungguh nostalgik bagiku, ketika harus melewatinya lagi setelah empat belas tahun lamanya. Kami (alumni) kembali bertemu lagi dalam bentuk yang cukup matang dan telah mengarungi Dunia masyarakat.
Untuk kasusku, Aku kepayahan.
Sepuluh angkatan dalam satu Ballroom Hotel, Kami bukan lagi siswa yang hampir semua rata memakai baju putih dan bawahan biru tua. Reuni kali ini jelas akan menunjukkan status sosial. Sebagian dari Mereka pasti sudah menjadi Karyawan Kantoran, Banker, Dokter, dan beberapa dari mereka juga ada yang bekerja di luar negeri. Aku juga seharusnya seperti mereka. Hm, sungguh ironis. Akhirnya Aku menyalahkan pilihan hidup yang dulu kuanggap paling baik. Tapi, sekali lagi menyalahkan takdir bukanlah hal patriotik. Ya, sesaat, kupikir kepalaku mulai sedikit sehat ketika menyebut kata patriotik. Mungkin, karena karena Aku sedang bahagia. Mungkin.
***
Reuni akbar yang mendatangkan selebriti sebagai Alumni berprestasi adalah pesta yang besar. Dan, pesta itu lebih meriah dari yang kukira. Dibawah tangga hotel menuju Ballroom, Aku menatap kembali gaun yang kupakai, lalu kubandingkan dengan salah satu wanita berpenampilan eksentrik namun tak kukenal. Wanita itu baru saja berlalu dari pintu masuk sembari bercengkerama dengan teman wanita lainnya yang memakai gelang merah ditangannya. Mereka memakai baju yang mahal, dan kutahu harga baju itu bisa membuatku menelan ludah karena takkan bisa membelinya.
Pesta adalah pencerminan gaya hidup. Semua yang datang kemari pasti akan memamerkan apa yang telah mereka miliki dengan kesuksesan mereka. Sesaat Aku merasa malu, caraku berpenampilan pasti telah menipu siapapun yang melihat. Sungguh memalukan. Tapi, tak apa. Tak ada yang tahu tentang hidupku, pun alasanku adalah untuk bertemu dengan teman baikku.
Yoana Shyeril adalah Bintang tamu Alumni berbakat yang sangat dinantikan. Dia dipuja karena kesuksesannya, sementara teman baiknya Yura, hanya seorang Janda sial yang dua tahun ini dibutakan oleh kemalangan hidupnya. Kini janda sial itu mencoba memberanikan diri datang ke pesta karena Dia membutuhkan pertolongan ekonomi untuk bertahan hidup.
***
Kami disuruh membawa kartu undangan yang telah dikirim, setelah mendaftar Online untuk menjadi peserta reuni besar 2001-2010. Aku telah membawa kartu undangan itu, dan mencoba mengamati bagaimana transaksi berlangsung didepan sana, karena mereka semua mengenakan gelang setelah itu. Karena lama terlihat bingung, salah satu dari mereka yang memakai suit resmi menghampiriku. "Selamat malam Bu, Ibu alumni tahun berapa?" tanya pria itu, sangat sopan. "Alumni 2002.." lirihku, sedikit malu.
"Boleh Saya ambil undangannya? karena Anda harus menukarnya dengan undangan, dan memberi anda gelang penanda Alumni"
"Oh, baik. Terima kasih"
"Sama-sama bu" jawabnya, kembali pada tempatnya tadi, dan aku mengikutinya. Dia mengambilnya dengan gelang ban yang segera Dia sematkan padaku. Gelang berwarna kuning itu bertuliskan alumni 2002 (ditulis dengan huruf putih kapital juga). Ada sepuluh gelang yang mereka siapkan, dari sepuluh angkatan yang di undang. Hijau untuk angkatan 2001, kuning angkatanku sendiri 2002, 2003 warna ungu, 2004, hitam, 2005 biru, 2006 ungu, 2007 abu-abu, 2008 orange, 2009 merah, dan 2010 warna peach. Unik. Mungkin gelang itu untuk memudahkan para Alumni menemukan teman satu dengan yang lainnya, bila seandainya mereka lupa.
Tepat saat Aku memasuki Ballroom besar itu, bunga pertama yang kulihat adalah bahan kertas berwarna-warni berbahan nilon dan sebagian dipenuhi oleh tanaman tumbuh. Di sudut kiri, ada tempat foto juga yang di atur khusus dengan latar papan di lingkari setengah elips oleh mawar putih dan lili dan-entah kenapa terlihat seperti di pernikahan. Namun, cukup kreatif. Dan yang lebih penting adalah rasa temaram yang diciptakan oleh rangkain bunga itu.
Dari Alumni untuk alumni. Itulah judul yang mereka sediakan di kartu undangan. Pantas saja biaya pendaftarannya lumayan besar, ini memang pesta yang besar. Tapi, pesta seperti ini, seharusnya membutuhkan sponsor lebih, karena pembiayaannya pasti mahal. Tapi sudahlah, bukan urusanku. Aku juga sedang membutuhkan bantuan hidup berupa uang.
Begitu menatap seluruh ruangan besar ini, sosok yang pertama kucari adalah Yoana Shyeril. Selebriti itu pasti sosok yang mudah menarik perhatian orang, dikelilingi. Ya, ketemu. Aku menemukannya berdiri dekat panggung musik, ditemani beberapa teman. Bersinar, cantik, dan tidak dimakan usia, Yoana adalah seorang wanita cerdas yang awet muda untuk usianya. Wanita itu adalah wujud asli Penulis sukses yang tak pernah berhenti belajar, selalu mengutamakan kualitas untuk tulisannya. Sebetulnya, sungguh membuat iri. Aku juga pernah bercita-cita jadi Penulis. Namun menurutku, hal itu hanya bisa diraih untuk mereka yang tak punya hambatan lain seperti biaya, dan tekanan orang tua, sepertiku.
Perlahan langkahku mulai kuayunkan Aku mulai berjalan, perlahan. Rasa gugup - bertemu teman lama- memelintir perutku, dan membuat lenganku bergidik. Bila saat ini adalah masalalu, Kami pasti sudah melambaikan tangan dan saling merangkul. Tapi, saat ini, dan detik ini, Dia telah menjadi idola banyak orang. Aku tak bisa sembarang menyapanya.
Langkahku terhenti. Disaat Aku berharap tak ada siapapun yang mengenal karakterku dirumah, mataku menemukan Tiar yang sedang menghampiri Yoana. Astaga. Aku lupa! Benar-benar lupa. Tiar juga pasti hadir dalam acara ini. Wanita itu termasuk orang berada, yang pasti percaya diri menyapa Yoana. Dia menjadi ancaman pencitraan diriku di pesta ini, dan seketika membuat langkahku mundur. Dan, Ya. Mundur. Aku tak punya pilihan selain menjauh dulu ketimbang berpaspasan dengannya dan mengobrol.