Reaching For The Star

Dian hastarina
Chapter #4

Dialog dengan Kehidupan lain#4

Hari telah menunjukkan senja kemerahan diantara lipatan gelembung awan streptococcus yang menawan, ketika tanpa sadar langkahku sampai pada sebuah taman di tengah kota Bandung. Langit nyaris terlalu cantik untuk hatiku yang hampir mati rasa. Kesempatanku berakhir begitu saja, tanpa bisa kuapa-apakan lagi. Aku menyerah. Menyerah pada Sang Pemilik Langit. Menyusuri trotoar lebar ini adalah pilihan spontanku sebelum berlabuh kembali pada kosongnya harapan ini.

Aku tak menangis. Air mataku terlalu malas untuk keluar. Aku tidak syok, namun juga tak membenarkan bahwa Aku tak kecewa. Namun rasanya cukup, cukup untuk mengeluh. Hampa menjadi sebuah kenyamanan bagiku karena tak tahu lagi apa yang harus kulakukan setelah ini. Mengeluh bukanlah solusi. Akhirnya Aku harus setuju dengan kata-kata itu.

Yah, mengeluh bukan solusi, namun sebuah solusi tragis lagi-lagi berkelebat dalam pikiranku. Bunuh diri adalah solusi terburuk -paling cepat- untuk mengakhiri semua masalah hidup ini. Untuk keenam kalinya, silet yang setia berada dilemari -selepas gagal kupakai- mungkin akan kupakai kembali. Menyayat nadi memang terasa mudah, atau bunuh diri dengan cairan pembersih-seperti di acara sinetron juga pantas dicoba. Tabrak lari? disini? Ya ampun yang benar saja, wajahku yang penuh darah akan menjadi sorotan nasional, berikut Alina yang tak akan aman hidup sendiri bersama Zidan. Dan lagi-lagi Aku memikirkan Mereka.

Tak ada bunuh diri yang terhormat. Itu yang dikatakan orang-orang. Mereka mengatakan bunuh diri adalah jalan tercepat untuk seorang pecundang (sepertiku) yang tak punya daya-upaya-dan ide- untuk bertahan hidup. Hal itu memang benar. Tapi, bagaimana bila mereka juga di tempatkan pada posisi yang sama denganku, apa mereka akan berpikir hal yang sama?

Tanpa sadar langkahku telah membawaku tepat didepan Masjid Agung Bandung. Jam tanganku pun mengundang rasa ingin tahuku akan berapa lama waktu yang telah kubuang. Pukul lima, satu jam menuju magrib. Aku menengadah pada langit, menatap ujung pencakar langit Masjid, dan menutup mataku sebentar.

Apa yang ingin kupinta...? Memangnya Tuhan akan menolongku?

Mataku membuka ketika kakiku memilih melangkah kembali. Menghindari Masjid adalah hal pengecut paling nyaman saat ini yang membuatku tenang. Aku sedang tidak ingin melihat apapun di sana, karena semangat terakhirku telah berlalu bersama hembusan angin sore yang melintasi raga rapuhku ini. Sejenak sebuah pertanyaan muncul. Apa tujuan Tuhan mengujiku? Apa salahku? Disaat Aku merasa akan dapat pencerahan, Aku kembali harus menyerah dan percaya, bahwa hal baik tak pernah berakhir manis untukku.

“Riva, diam sebentar. Ummi mau masuk sholat, tenang ya Nak. tenang” Sebuah kereta dorong melintasi samping tubuh kananku, dibawa oleh seorang wanita berkerudung abu gamis panjang yang datang seorang diri. Wanita itu begitu cepat. Cepat sekali, sehingga terlihat sudah terbiasa dengan gerakannya yang menantang gundukan batu lantai, sebelum mengarah pada masjid. Akhirnya, Dia berhenti pada tepi undakan sebelum lantai kebawah menuju tempat wudlu.

Wanita itu repot, namun Dia bersikeras untuk turun membawa kereta dorong itu kebawah. Dia berhasil turun hingga menghilang dari tatapanku setelah belokan. Aku tertegun, menelan ludah. Wanita itu memancingku untuk mengikutinya.

Rasa penasaranku bertambah pada detik selanjut, dan Aku memutuskan melihat bagaimana caranya turun. Langkahku yang menggebu berhenti di ujung undakan itu. Sungguh, tak ada beban saat Dia mengangkat kereta itu. Aku juga terbuai oleh senyum ringan sumringahnya, saat Dia-yang seharusnya kesal-malah tersenyum pada si buah hati. Buah hatinya adalah seorang anak laki-laki, mungkin balita. Kakinya terlihat menciut, lunglai, ototnya saja lebih kecil dari otot kaki anak balita pada umumnya. Aku makin penasaran, sungguh. Langkahku akhirnya menuntutku untuk turun. Dan baiklah, Aku juga akan turun mengambil air wudlu.

***

Aku menyelesaikan shalat Asharku tepat disamping Wanita yang membuatku penasaran itu. Aku sangat tertarik dengan apa yang kulihat saat wudlu. Meskipun rasa penasaranku sudah terjawab, tapi rasa penasaran lainnya berdatangan seperti bel yang berdering di kepalaku. Akhirnya kutemukan alasan dari ketertarikanku. Wanita itu sungguh kuat. Rasanya batinku ingin segera melayangkan beberapa pertanyaan pada wanita itu, tapi bibir ini tak mampu berkata. Seakan semua akan hancur, bila Aku melayangkan pertanyaan-pertanyaan kehidupan, yang mungkin membuatnya tersinggung.

“Kita akan menunggu Paman mudamu disini, jadi tenang ya” itu yang Dia katakan.

Rasa empatiku bergulir, membentuk rangkaian kekaguman yang makin membesar, ketika mataku kembali menyaksikan bagaimana telatennya Dia membersihkan anaknya pada selasar masjid. Selain Aku, sesekali beberapa wanita yang lewat menyaksikan hal hebat yang Dia lakukan. Dia ditatap iba, namun merenyuh hati siapapun yang melihatnya.

Anaknya adalah seorang laki-laki. Dia begitu putih, pucat. Tak ada sunggingan senyum ceria anak-anak, yang seharusnya kulihat pada umumnya anak-anak. Namun, wajahnya begitu tenang, setenang gelombang kolam biru yang menyejukkan. Anak itu begitu disayang, sekalipun Dia jelas membuat orangtuanya kesusahan seumur hidup.

“Apa ada yang bisa kubantu?” Wanita itu tiba-tiba bertanya padaku.

“Ahh..” Jawabku, yang spontan terkesiap saat terlalu sibuk menatap caranya membersihkan wajah anaknya.

“Anda... sangat telaten” Jawabku apa adanya.

“Oh.. Terima kasih” jawabnya juga dengan suara sopran ringannya. “Aku juga punya anak Autis, tap-“ Aku berhenti. Apa sih yang akan kukatakan?

Lihat selengkapnya