Takdir adalah sesuatu yang telah ditetapkan berikut hal yang terjadi setelahnya. Dan takdir adalah bagaimana cara kita meraihnya. Jika takdirku mewajibkan berjuang maka aku harus berjuang. Saat ini tak ada cara lain bagiku selain bekerja. Bekerja dengan pekerjaan yang jelas, bukan lagi magang. Mau tidak mau, Aku juga harus menyembuhkan diri dari pikiran negatif. Harus ada pembaharuan. Dan Kak Raya berkata benar, ini bukan masalah sanggup atau tidak, tapi harus sanggup.
Ini adalah masanya untuk mengikat pinggang kuat-kuat, membuka mata lebar-lebar, bahwa hidup memang belum tentu berlaku adil bagi semua orang. Dan keadilan yang kuciptakan untuk diri sendiri adalah berjuang. Mulai dari mencari kerja purnawaktu kembali, mengubah sikapku pada sekitarku meski sulit, namun akan kulakukan pelan-pelan. Itulah yang terpatri sejak tadi malam, sejak kata-kata Kak Raya mulai menjelajah alam pikirku.
Aku pun berharap takkan pernah bertemu dengan Risyad dan Yoana kembali. Apapun yang terjadi kemarin sudah tak kupermasalahkan. Aku tak bisa menghapus jejak mereka dalam memoriku dan akan kubiarkan seperti apa adanya. Setidaknya berkat mereka, Aku bertemu Kak Raya, Dewi penolongku. Kak Raya membuka mataku lebar-lebar, menyadarkanku ada hal yang lebih penting dari sekedar mengeluh dan menyesali hidup. Aku akan memperbaharui isi kepalaku dengan terobosan baru. Sebuah perjuangan. Dan, sebuah perjuangan membutuhkan pengorbanan. Pengorbananku mungkin akan kumulai pada Zidan. Selain diasuh Alina, Anakku itu akan sering kutitipkan, meski Aku akan sering mengganti tempat menitipkannya.
***
Takkan ada kata mulai, bila tak mencoba. Namun ternyata, tak mudah untuk memulai segala hal. Menyebalkan. Tantangan pertamaku dimulai dengan situasi ekstrim di tempat magangku. Risyad Fauzi dan Yoana Shyeril muncul di depan mataku sebelum sempat menghindar. Aku tertahan di pintu masuk Kafe, saat Mereka juga berhenti didepanku. Suara hatiku menyumpal keras, ketika kakiku ini tak sempat membuatku menghindar. Badanku kaku, namun dadaku bergemuruh. Seperti ada petasan panas yang sedang berkecamuk dalam dada dan punduk belakangku. Air mataku seketika menggenang melingkupi konjungtivaku, namun segera kutahan. Anggap saja tak ada gravitasi yang akan membuatnya jatuh.
Keheningan -kaku- yang singkat itu membuatku terlihat bodoh. Aku menggenggam pulpenku, membuatnya nyaris patah oleh tekanan kuat jempolku. Aku benar-benar benci berada pada situasi dimana hatiku tak siap, untuk bertemu mereka kembali. Aku berupaya menyunggingkan senyum di bibirku layaknya menyambut pelanggan, tapi bibirku malah melayangkan senyuman tegang. Bukan pada Yoana, namun Pria yang mengerjarku hingga keluar pintu Ballroom kemarin sore, Risyad Fauzi Arkandra.
Baiklah harga diri, akan kucoba untuk mencampakkanmu beberapa menit.
“Sela, se, selamat datang”
Risyad cara mengangguknya pun terlihat tak luwes. Yoana tampak tak terima melihat sikap gugup Risyad dan mengalihkan pandangannya pada Yura. “Yura?.. Kau.. benar-benar membuat kami kaget.” sahutnya.
“Aku sedang bekerja” Jawabku, ketika pulpen malang yang hampir patah berkeping-keping tadi, akhirnya kembali kutaruh pada kantung serbet hitam bawah pinggangku.Mata Risyad bertemu mataku kembali. Yoana pun lagi-lagi ikut bereaksi. Dia menatap Risyad untuk meyakinkan, dan kembali padaku. “Disini?” tanyanya padaku.
Mereka tak melihat pakaian magang dan serbetku? Atau Mereka pura-pura tak tahu?
Risyad dan Yoana saling menatap tanya, namun tak ada yang menjawab duluan. Sebetulnya Aku juga ingin bertanya hubungan apa yang mereka miliki. Tapi, memberi sikap tak peduli adalah pilihan terbaik, dan Aku tak mau melangkahi barikade yang sudah kupasang ini. “Kalian ingin duduk dimana?” tanyaku culas. “Kamu.. tak tahu?” Kening Yoana mengkerut menandakan hingga Dia mencondongkan badannya mendekatiku.
“Yoana Aku sedang bekerja. Jangan memberi pertanyaan yang membingungkan” Aku harus memperlihatkan wajah tak nyaman, agar mereka berhenti.
“Ayo, sebaiknya Kita juga tak membuang waktu” Risyad tiba-tiba bersuara dan hal itu dia maksudkan pada Yoana. Terakhir, Dia melayangkan tatapan yang sama padaku. Aku mengelak, kutahu Dia marah padaku dan masa bodoh dengan itu! Aku memang bertekad tak bertemu mereka lagi.
Yoana melirik Risyad lalu kembali menatapku, “Kami memakai tempat VIP, Aku akan mewawanca-“
“Tempat itu sudah dipesan langsung oleh Pemilik Amadeus” potongku, “Pemilik Amadeus sudah memesan tempat itu, mungkin Aku bisa menawarkan tempat lain pada-“ tunggu, seketika relungku mengerut. Rasanya ada ingatan yang kuabaikan. Sangat kuabaikan. Risyad adalah Pengusaha. Aku tidak tahu berapa umur pemilik Amadeus ini, seperti apa orangnya, bagaimana fisik dan parasnya. Saking beratnya masalah hidup yang tercangkok dalam otakku, Aku malas mencari tahu. Namun, satu yang kuketahui dengan pasti, nama pemilik kafe ini juga Pak Risyad.
Bibirku kelu, “Kamu.. Pemilik Amadeus?” Aku tak berdaya meyakini kenyataan yang timpang tindih ini. Tentu saja, ekspresi diamnya itu mewakili jawabannya. Dia menutup mata dan menghela napas. Jelas, helaan napas dan ekspresi tak menjawab itu, menandakan Ya.
Astaga…..
Ada banyak nama Risyad didunia ini, tapi kenapa atasanku harus Risyad Fauzi Arkandra?
“Kau tidak tahu Risyad adalah Pemilik Amadeus?” tanya Yoana, begitu ingin tahu. Aku menelan ludah, tak mau menjawab. Rasa malu sedang menohok harga diriku. “Sudahlah, Yoan” Risyad, terlihat ingin mengakhiri percakapan ini, kutahu Dia tak nyaman. Lagipula Aku adalah karyawan, dan kenapa juga Yoana masih memaksaku untuk interogasinya?
“Aku.. masih harus bekerja. Aku, akan tunjukkan tempat kalian” Lebih cepat mengantar mereka dari sini, maka lebih cepat juga Aku bisa menghindar. Badanku berbalik, berupaya untuk menunjukkan tempatnya.
“Pak Risyad!” Teriak seorang Pria berbadan besar dari meja Bartender sana, Manajerku. “Maaf Saya tak menyangka, Anda akan datang secepat ini” sahutnya yang beberapa langkah lagi sampai disamping Kami. Manajerku bernama Mahendra yang berusia tiga puluh dua tahun dan berambut ikal dan tinggi.