Reaching For The Star

Dian hastarina
Chapter #6

Penolongku #6

Satu hari telah berlalu sejak Aku menyerahkan surat pengunduran diri. Kini Aku telah resmi keluar dari Amadeus. Ini adalah sebuah keuntungan, dimana Aku tak harus menunggu satu bulan untuk keluar. Sebenarnya, Aku sedikit menyesal membentak Yoana dan Risyad. Sungguh, kini Aku benar-benar menyesalinya.

Mereka benar, Aku adalah wanita yang pesimis dan pecundang. Tapi tuduhan itu hanya berlaku beberapa hari yang lalu. Hari ini Aku akan menjadi pribadi yang baru. Dan perubahan itu kumulai dari rumahku, pada Anakku. Semangat baru ini membuatku optimis menanamkan sikap sabar dalam hatiku. Mungkin, selama ini Aku menutup mata dari dunia. Memojokkan diri sebagai wanita paling menderita, sehingga tak ada bisa kulakukan selain merutuki nasib sialku.

Miris. Tapi tidak untuk hari ini.

Bangun di pagi hari tanpa perlu mempersiapkan Zidan untuk kutitipkan, perasaanku terasa sangat baik. Begitu baik hingga semua terasa cerah. Zidan biasanya akan bangun sendiri saat matahari mulai naik hingga sepertiga tinggi kepala, sekitar pukul pukul sembilan atau sepuluh. Jadi, masih ada waktu senggang bagiku untuk memanjakan diri menikmati pagi yang menenangkan ini. Sementara Dia tertidur Aku menikmati dinginnya pagi, bersama siraman cahaya matahari - yang seiring dengan bertambahnya waktu- membuat kulitku memerah. Tak ada orang melihat. Aku bebas.

“Ammaa..!!” Erang Zidan, terdengar dari tempatku berdiri. Diluar perkiraan, Zidan dengan cepat terbangun. Tangisan kencangnya, terdengar tak biasa. Kurasa sesuatu telah mengganggunya. Dengan segera, langkahku bergegas kembali kedalam rumah.

Begitu membuka pintu kamar, kudapati Zidan sudah jatuh dibawah tempat tidur. Tentu, inilah yang membuatnya menangis. Kaget karena terjatuh. Tergeletak bersama beberapa peralatan riasku yang sebagian telah pecah membuat mataku membulat. Eye shadow, alas bedak, semua alat tempur yang membantuku mencari uang tak ada lagi yang utuh. Sial. Semua itu tidak kubeli dengan harga yang murah! Aku, karyawan magang yang hampir berusia kepala tiga, tidak mungkin memakai riasan seadanya. Dan benda merias yang kubeli dengan memotong uang makanku itu, kini tak bisa kuapa-apakan lagi diatas lantai itu.

“Haaaahh” Aku mendesah keras, memegang keningku yang mulai panas. Marah. Aku jadi sangat ingin marah. Beberapa detik dengan tangisan Zidan yang juga mengeluarkan bau pesing. Perutku menjadi panas, menjalar mengerogoti kerongkonganku yang rasanya ikut membakar kepalaku. Kulangkahkan kakiku dengan menghentak.

Namun, tidak, jangan. Begitu sampai ditempat Zidan Aku berhenti. Hatiku mengecam langkahku yang hendak menggenggam marah lengannya.

Tenangkan dirimu Yura. Tenang!

Aku hampir lupa. Aku sedang belajar untuk bersikap sabar. Dan ini adalah ujian tahap pertama. Jadi ini akan menjadi tantangan pertamaku. Sabar. Anakku itu bahkan tak tahu apa yang Dia sentuh. Kakiku yang tadi kutahan akhirnya kugerakkan, namun bukan untuk marah, melainkan untuk memeluknya, menanganinya. Lenganku meraih punggungnya dengan lembut, dan mengajaknya berdiri. "Maaaaaaaa!" Tangisnya memekak telinga, membuatku meringis, seperti baru hari ini saja Aku menyesuaikan diri dengan suaranya. Napasku kuredam agar tak memburu, sehingga Aku juga bisa menahan mataku untuk tak melotot. "Tak apa..tak apa.." Semua akan berakhir. Tangisan anak kecil tidak akan selamanya bertahan, bahkan bila tangisan itu berasal dari anak berkebutuhan khusus.

Aku meraih lengannya, memeluknya. Tak lama setelah beberapa menit akhirnya tangisnya mereda, menyuguhkan angin segar di sekitar ubun-ubunku.

Satu pelajaran pertama hari ini, sabar itu menyelesaikan masalah, bahkan mencegah masalah yang bisa datang selanjutnya. Melelahkan, sungguh. Tapi ini sudah menjadi niatku, karena Aku ingin berubah. Aku akan bekerja keras, seperti kata Kak Raya, Allah telah mempercayakan Anak luar biasa milik-Nya kepadaku, karena Aku sanggup. Ya, sanggup.

***

Aku mempersiapkannya mandi. Lega, luar biasa lega. Sebuah keberhasilan kecil untuk pengendalian diri yang kubilang sukses. Tentu saja ada rasa bangga yang baru saja tertoreh dalam hatiku. Bahkan, Aku mulai terpikir untuk mulai membuat rapor kesabaran, versiku. Karena semangatku harus termotivasi oleh sesuatu.

Setelah kumandikan. Seperti biasa kedua tangan Zidan akan selalu memelukku, dengan tawanya yang penuh. Gigi coklatnya akan selalu tampak oleh senyum lebarnya. Ada kalanya Zidan terlihat seperti anak yang normal. Seperti saat ini, ketika Dia bisa menyunggingkan senyum bahagianya. Dia teramat menenangkanku. Namun bila Dia sedang tantrum, Zidan menjadi tak tertangani. Terkadang, bila tak ada yang bisa kulakukan lagi -untuk menghentikannya- Dia menjadi sasaran murkaku. Dan tak jarang juga, Dia selalu kusakiti.

Mulai hari ini, tak ada lagi Yura yang seperti itu. Akan kucoba untuk tidak melakukan kekerasan fisik sekecil apapun. Mencubit, memukul tangannya, akan kucoba untuk berhenti. Aku harus memantapkan langkahku agar cepat memeluk hati yang norma dan menjadi Ibu yang normal. Karena setiap kali melihat Zidan, yang selalu kulakukan hanyalah memasang mata awas atas kekacauan yang mungkin akan Dia perbuat.

Berbaik sangkalah pada Tuhan. Kata-kata Kak Raya itu patut kuberi sepuluh bintang dan ku-noted dan kuberi bintang dalam kepalaku agar selalu menjadi pengingat. Benar, Aku harus berbaik sangka pada Tuhan atas titipannya ini. Mungkin dan kuharap lewat Zidan Aku akan menjadi pribadi yang lebih baik. Tanganku lalu mengelus lembut rambut basah Zidan, dan mengecup kedua pipinya yang bercampur wangi bedak bayi itu. Dia tak ada bedanya dengan bayi yang tak bisa mengungkapkan keinginannya. Berceloteh namun tak bisa dimengerti.

Aku jadi ingin bertemu kak Raya, dan mendengar lebih banyak darinya tentang sebuah kebaikan. Sebuah usaha keras untuk tetap teguh memeluk rasa sabar. Darinya Aku juga percaya, orang yang baik dan sabar adalah teman -berjuang- yang baik. Aku harus menemuinya. Mataku kemudian melihat dompet yang berada diatas meja rias dan menghampirinya. Tanganku kemudian mencari sebuah kartu nama kecil yang beberapa hari lalu diberi olehnya. Bibirku menyungging puas, benda itu masih bertahan didalam dompetku.

“Ma, maamph, maamph” sambil membuka mulutnya, Zidan menginisialkan lapar. Astaga, baru kuingat Aku belum masak apapun. Kebahagiaan egois -sebelum Zidan bangun tadi- membuatku lupa kewajibanku yang lain. Dengan gerakan cepat, Aku harus menyiapkan makan siang Zidan. Aku tidak ingin Zidan mengalami tantrum karena lapar. Tak ada pilihan lain, mungkin Aku akan kembali membuat telor goreng favoritnya yang sejak seminggu ini, selalu ada dalam menu makannya. Dan, setelah semua beres, Aku akan mengunjungi toko buku Rayariva.

Lihat selengkapnya