Menulis kembali. Kata-kata Risyad itu terus mengiang-ngiang dalam kepalaku. Sejak pulang kerja sore ini, hingga saat menidurkan Zidan tepat pukul sembilan malam. Aku memikirkannya seakan menulis bisa jadi tujuan hidupku setelah ini. Menulis adalah hal yang ringan, bila hanya meluapkan sebuah perasaan. Tapi mencoba menulis secara profesional? itu adalah hal yang sulit. Sangat sulit.
Menulis, dalam arti profesional sesungguhnya membutuhkan ruang, waktu, dan riset yang tidak main-main. Dan untuk kondisiku saat ini, rasanya tak mungkin. Dulu, Aku memang menyukai dunia kepenulisan. Namun, menurutku yang berpikiran sempit saat itu, profesi itu hanya bisa dimiliki oleh mereka yang mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Seperti Yoana, si wanita beruntung.
Minat menulis dan menjadi Penulis menghilang, seiring dengan kehidupan biasaku yang tak mungkin mengemban pendidikan tinggi. Tak ada yang dimulai untuk berakhir dengan kata menyerah, dan Aku melupakan mimpiku itu. Aku tenggelam dalam rutinitas biasaku sebagai gadis biasa, hingga menjadi wanita biasa. Saat itu Aku tak berharap muluk-muluk, bagiku cukup dengan menikmati kebahagiaan yang kudapatkan saat itu, aku sudah sangat bahagia.
Zidan telah benar-benar terlelap, setelah mandi tadi Dia langsung kutidurkan. Alina telah bekerja sangat keras hari ini. Dia pasti kepayahan mengurus Zidan, terlihat dari bagaimana Zidan merengek, dan menyeretku ketempat tidur tepat jam sembilan malam. Anak itu kini kutinggalkan terbaring ditempat tidur sambil memeluk guling apek favoritnya yang selalu dia pakai dari bayi. Alina pun sudah tertidur saking capeknya.
Kini, tibalah saatnya bagiku memakai waktu luang ini untuk merebah sesaat. Sambil memutar-mutar ototku agar sedikit meregang, mataku tiba-tiba tertuju pada satu-satunya lemari jati kamarku, yang berdiri disamping tempat tidurku. Bagian bawah yang mudah dibuka dengan ditarik. Tempat itu memancingku untuk melangkah. Tap, tap, tap. Langkahku sampai pada lemari itu, dan kutekukkan kakiku untuk berjongkok. Disinilah terakhir kali Aku menyimpan laptop almarhum suamiku. Menghela napas pelan dan kembali berpikir tanganku masih enggan menyentuh kunci laci itu.
Menulis..? Mengarang? Apa Aku bisa?
Laraku terhimpit oleh kenyataan sulitnya bagiku untuk membagi waktu. Namun, dengan menulis Aku juga bisa membantuku menghasilkan uang. Dari penghasilan itu Aku bisa membayar biaya hidup dan hutang kami pada Debt Collector. Setidaknya ada setitik jalan terang yang bisa kuharapkan. Dan Risyad mungkin benar, tak ada salahnya untuk mencoba.
Tanganku membuka putar kuncinya yang masih terpasang dan segera menarik lemari geser itu, hingga tas laptop hitam itu terlihat. Hmm. Benda itu masih berada ditempatnya, tersimpan apik sejak terakhir kali kusimpan. Tanpa pikir panjang Aku meraihnya, menariknya hingga akhirnya benda itu kembali melihat dunia. Tas itu berdebu, tentu saja. Sesuatu yang sengaja dibiarkan tanpa jejak, terdiam, dan bisukan oleh waktu. Dan hari ini akan kucoba kembali untuk membukanya, memastikannya bila benda itu masih berfungsi atau tidak, karena sejak dua tahun yang lalu, benda ini mati suri dari sentuhanku.