Reaching For The Star

Dian hastarina
Chapter #10

Dia tak datang #10

Di banding hari sebelumnya, kiprahku pada kebaikan lebih maju selangkah. Apa yang kulakukan tadi malam adalah hal baik atas pencapaian positif lainnya, sejak memulai debutku untuk berjuang mengatasi keterpurukanku. Opsi dalam raporku bertambah, satu daftar kegiatan positif lainnya telah masuk dalam poinku mencapai kebaikan. Menulis. Kusadari menulis merelakskan syaraf tegangku yang akhir-akhir ini berlipat tebal. Aku semakin bersemangat menulis kembali. Apalagi untuk mencari nafkah dalam bentuk lain selain pergi bekerja. Dengan mengemban semangat ini, tekadku semakin kuat.

Aku juga harus mengasah kemahiranku dalam menulis. Hanya menulis saja, mengalir tanpa diksi dan hanya berupa celetuk sesaat yang tertuang dalam Blog, tidak mungkin dengan mudahnya dilirik Penerbit. Pangeran Optimis. Tulisan itu mengalir tanpa diksi dan tata bahasa yang baik-menurutku. Tapi jujur kuakui, banyak pembaca yang melihatnya. Melatihnya kembali bukan hal yang tak mungkin. Ceritaku tentang Pangeran kecil yang datang dari masadepan itu, tercetus dari Zidan yang tak berhenti berlari, dan tak tahu marabahaya didepannya. Dalam cerita itu, Pangeran optimis kubuat berjuang untuk menemukan masadepannya dan berhasil kembali ke masa yang seharusnya. Ya, saat itu Zidan kubayangkan sebagai Pangeran yang selalu optimis akan masa depannya.

...Hutang Alina harus segera kulunasi. Harus.

Memulai aktivitas di hari keempat sebagai Karyawan Toko Rayariva, Aku memulai pekerjaan dengan siulan riang, dengan bangga kupersembahkan semangatku untuk pekerjaan ini. Hidup diantara buku - buku ini menggembungkan rasa bahagiaku. Satu, dua, tiga langkah, langkah riang ini membawaku pada lemari etalase alat tulis dan perlengkapan pendukung komputer lainnya. Aku merapihkan apapun kembali. Ini adalah perasaan yang telah lama kurindukan, karena bekerja di Toko buku, dan pulang untuk menulis adalah hal yang menyenangkan. Rasanya, hariku mulai berwarna dan punya tujuan hidup-selain menjadi Ibu. Mungkin, Aku harus sedikit berterima kasih pada Risyad. Karena berkat pertanyaan tabunya Aku mulai menulis kembali. Entah dari mana Dia tahu, tapi sudahlah, yang penting semangat hidupku kembali.

Tapi, bila kupikirkan kembali, hanya Yoana yang tahu rahasiaku. “Apa Yoana, yang memberitahu? Wanita itu juga tak menengok dan memberikan komentar?” tanyaku pada diri sendiri, ketika membereskan meja etalase yang memuat perlengkapan tulis itu. “Dari mana ya..?...Apa darinya?" tanyaku lagi pada diriku sendiri.

"Darimana apanya?”

“Astaga!” Pekikku, saat Silmi tiba-tiba ada disampingku. “Kenapa begitu kaget?” tanya Silmi, yang sebenarnya tak salah. Aku megap-megap memegang paru-paruku. Untung saja Aku tidak menyebut nama Risyad. Silmi bisa salah paham kembali, setelah kemarin Dia mencoba menebak hubunganku dengan Pria itu.

“Tidak. Ada seseorang ingin mencari tahu alamatku namun tak kuberitahu.” jawabku, bohong.

“Oh, Pria?” Untuk kesekian kalinya pertanyaannya selalu menjurus.

“Ya., maksudku tidak!” cara menjawabku juga sungguh bodoh, kuakui.

“Hmm” Gumamannya menakutkan. Jelas Dia meragukan alasanku. Sejak kemarin, Dia pandai menilai situasi.

“Ke-kenapa Kau bertanya?”

“…Karena Kau tidak menyahut saat kupanggil.” celetuknya.

“Oh… ah, ma..maaf.” Sepertinya sel syaraf jantungku tak selaras bekerja sama dengan sel syaraf di otakku.

“Sayang….” Ujarnya lagi, seperti kecewa.

“Kenapa?” tanyaku yang kemudian berupaya menutup pintu kaca etalase itu. Duk!

“Pak Risyad hari ini tidak datang…” umpatnya, bisa kulihat ada guratan rasa kecewa di dahi, dan dagunya.

Lihat selengkapnya