Reaching For The Star

Dian hastarina
Chapter #12

Hidupnya dan Hidupku #12

Sepanjang perjalananku menuju Rayariva, semuanya dipenuhi lamunan. Apa yang terjadi pagi ini membuatku tak bisa berpikir. Semangatku yang bernama Gigih hanya bertahan selama setengah jam. Lima puluh juta adalah uang yang sangat banyak untuk orang kecil seperti kami. Apa Aku bisa menghasilkan lima puluh juta dalam setengah tahun? Dan, bila Aku tak mampu, apa Aku juga akan berakhir menjadi Istri Pria yang tak kukenal itu?

Tidak. Aku tak mau. Terbersit dalam hatiku, sebuah jalan keluar lainnya yang bisa kujadikan solusi. Mungkin, bila keadaan tak menguntungkan, Aku bisa saja meminjam uang pada Kak Raya. Namun mampukah Aku?

Paru-paruku lagi-lagi harus menghela napas dalam. Tidak, tak mungkin. Harga diriku terlalu malu melakukannya. Bila Kak Raya, khususnya Risyad tahu Aku berhutang pada rentenir, apa yang akan mereka katakan? Risyad takkan sudi bertemu denganku lagi. Semua orang-orang baik disekitarku juga akan pergi menjauhiku.

Menghasilkan uang dengan cepat pun tak mudah. Lagipula, apa ceritaku akan laku? diterima? Rasa bingung menguasai napas dan pikiranku. Aku berputar pada pertanyaan belum bisa kujawab. Yang ingin kulakukan saat ini, hanyalah mencurahkan kesedihanku, dan mendapatkan dukungan semangat. Aku terlalu lelah untuk menahan semuanya.

Toko Rayariva buka pukul sembilan. Aku sampai empat puluh menit lebih awal. Zidan tentu saja kutitipkan pada Alina yang hari ini membatalkan pekerjaannya sebagai Beauty Councelor (SPG) di Mall tempatnya bekerja. Adikku terpukul, teramat bersalah atas kesalahannya yang meminjam uang tanpa berpikir kembali. Aku juga bersalah. Bagaimana hidupku yang tak mau bekerja, dan hanya mengandalkan uang asuransi Suamiku adalah salah. Hidup menyalahkan takdir itu, berakhir pada konsekuensi tak adanya tabungan untuk membayar hutang.

Setelah membuka kunci Toko Rayariva pada Satpam, Aku membuka pintu toko dan menguncinya kembali. Toko ini menyala sebelum kumasuki, namun belum memiliki pramuniaga atau siapapun kecuali Aku. Aku melangkah masuk.

Beberapa langkah setelah itu, Aku terhenti tepat ditengah ruang toko yang besar ini. Sampai disini. Aku sudah tak tahan. Apa yang kusembunyikan daritadi sudah tak bisa kutahan. Ingin rasanya Aku menangis. Sungguh. Rasanya semua kekesalan ini akan tumpah dengan menangis. Segera, Kakiku bergegas berlari ke toilet.

Kubuka pintu toilet dan segera menghambur menuju wastapel. Air mataku tumpah, bersama tangisku. Perutku kembung, mendesak paru-paru yang juga hampir kepayahan. Aku menumpahkan seluruh kegelisahanku diatas wastapel ini. Sebuah pergulatan panjang, akan kualami setelah ini. Sebetulnya, pagi ini terlalu baik untuk kembali menyalahkan Tuhan. Tapi Aku tak tahan. Hidup ini terlalu hina.

Membayangkan menjadi Istri muda laki-laki tua tak tahu diri, yang meminjamkan uang dengan maksud jelek itu membuat pikiranku kacau. Menikah lagi saja Aku masih berpikir, apalagi dengan Pria macam itu?!

Tangis ini baru kumulai, tapi mataku sudah membengkak merah, semerah jambu air yang sudah tua. Hidungku merah, menyakitkan. Daguku, keningku, semuanya berlarut dalam rasa sakit. Tapi, lebih dari pada itu, dadaku yang paling tak kuat menahan rasa sakit.

Kembali Aku mengeluarkan air mata terpahit dalam kisahku ini. Aku tidak akan bimbang lagi untuk menangis. Ini menenangkan, sangat. Aku hanya seorang wanita. Wanita rapuh yang tak punya pilihan lain selain menangis. Tak ada seseorang yang membantu, atau menyelami kisahku. Setelah ini Aku harus tegar.

Harus.

***

Kurasa, lima menit sudah Aku menghabiskan waktu di wastapel ini untuk menangis. Lega seperti mengembun. Setidaknya mencurahkan kesedihan pada wastapel ini cukup membantu. Perlahan, sangat perlahan. Jari jemariku menghapus air mataku. Aku juga menarik nafas dalam dengan pelan. Sembab dan kemerahan, mataku terlihat seperti Penderita radang mata yang baru terjangkit satu hari. Jelek sekali.

Kulihat jam tanganku. Sesuai perkiraanku, masih ada setengah jam untuk mengurangi merah pada mataku. Aku segera membasuh mataku -yang tertutup- dengan air mengalir dari wastapel itu. Kuharap Air yang dingin ini segera mengurangi bengkak di mataku. Dan syukurlah, belum ada orang yang datang Ke Rayariva.

Keluar dari Toilet, Aku melangkah menyusuri lorong kecil hingga sampai pada ruang pembukuan yang masih menghadap barisan rak buku. Tempat itu tadinya koson. Namun di wilayah buku Psikologi sana, kudapati sesosok Pria. Dia berdiri menyamping dariku memakai kemeja biru kotak dengan sweater merah.

RISYAD...?

Lihat selengkapnya