Reaching For The Star

Dian hastarina
Chapter #16

Cinta itu dimulai#16

Hujan membasahi bumi Bandung, ketika Kami pulang dari pertemuan Seruni. Kak Raya lagi-lagi menawarkanku untuk pulang bersama. Namun, sebelum mengantarku dan Zidan, ternyata ada beberapa kendala pelayanan di Rayariva. Tadinya, Aku menolaknya dengan halus, tapi Kak Raya tetap memaksaku untuk ikut. Karena Anak-anak Kami tertidur, ini juga menjadi satu alasanku yang pada akhirnya ikut menumpang.

Perjalanan dengan rintik hujan ini membuat anak-anak semakin terlarut dalam tidur mereka yang damai. Luar biasa. Mereka kecapekan. Setelah tadi, khususnya Zidan, cukup aktif bermain bermain dengan teman-teman barunya. Tentu saja Dia kelelahan.

Riva pun untuk pertama kalinya kembali kulihat tersenyum. Sama seperti saat pertama kali bertemu, senyumnya meneduhkan. Meskipun kulitnya pucat, Dia membuat orang-orang gemas untuk menyapanya. Riva, memang dilahirkan untuk menjadi tambatan hati terbaik untuk Kak Raya. Anak-anak luar biasa disamping kami ini, memang menakjubkan. Begitupun para Pejuang Seruni. Mereka begitu menginspirasi.

Sambil menikmati perjalanan ini, Aku membuka kembali internet di Smartphoneku. Mencari kata kunci Seruni. Dari penjelasan Kak Viana tadi, Seruni memiliki arti keceriaan, semangat dan optimis. Tiga kata terbaik yang memang cocok disebutkan untuk perkumpulan baik ini. Selain itu, Aku juga tertarik mempelajari hal keren lainnya dari Seruni. Ini memacu imajinasiku untuk memperkaya cita rasa Naskahku.

Bersama menggapai bintang.. Mungkin judul novelku…Hmm, entahlah, sebetulnya masih angan-angan.

Pertemuan Seruni benar-benar membangkitkan semangatku. Aku, Yuranita Mariska, bukan satu-satunya orang tua paling malang yang harus bersedih. Melalui ikatan emosional yang positif ini, Aku kembali memperkuat mentalku, menghadapi tantangan hidup.

Dan baiknya lagi, ada ilmu lainnya yang bisa kudapat dari pertemuan ini. Aku juga ingin menggunakan jilbab. Cepat atau lambat, Aku akan memakainya. Kak Raya, Silmi, dan semua Ibu-ibu Pejuang Seruni memakainya. Aku merasa teduh berada disekitar orang-orang baik. Kurasa, memakai jilbab akan membantu perubahanku kearah yang lebih baik. Ya, itu yang terbaik.

Ciit.

Kak Raya menghentikan mobil. Ternyata Kami sudah sampai didepan Rayariva. Dan Aku terpancing untuk bertanya tentang keinginanku tersebut. “Kak Raya...” ucapku pada Kak Raya yang masih memegang setirnya. “Ya” jawabnya.

“Menurutmu, bagaimana jika Aku memakai jilbab?”

Kak Raya spontan berbalik, kaget. Namun matanya menatapku takjub. “Sungguh bagus!Serunya kemudian, sangat setuju. Aku tersenyum, dan mendeham ringan. Sebetulnya cukup malu bagiku, untuk menanyakannya. Tapi, sungguh, Aku termotivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik

“Berkerudung itu hidayah dalam mempercantik diri, bila itu diiringi dengan niat yang tulus, maka hal itu akan barokah” balas Kak Raya lagi.

"Amin..." jawabku.

"Kamu akan menggunakannya?"

"Aku….ingin…" jawabku masih malu.

"Mudah-mudahan niatmu dipermudah…"

"Terima kasih, Kak.."

Dukungan Kak Raya membuatku nyaman. Dia mendoakan niatku dipermudah. Ya, semoga segera. "Aku ingin pelan-pelan berubah" sahutku. "Tentu, kamu boleh menentukan kapan waktu terbaik untuk memakainya. "Ucap Kak Raya. Lagi, Dia menyampaikannya dengan dukungannya dengan baik.

"Ah, hujan tampaknya berhenti.." sahut Kak Raya.

"Ya, meskipun langit masih tampak gelap" ucapku melihat langit dari kaca mobil sampingku.

"Haeuuhhhhh!" Zidan bangun, dan tentu saja erangannya membangunkan Riva juga. "Ah, Zidan…." Aku memegang lengan Zidan, berusaha untuk tidak membuatnya mengerang.

"Tak apa, kita juga akan masuk dulu. Yang penting anak-anak sudah tertidur. Riva mudah tertidur, tenang saja" jelas Kak Raya yang bijak.

"Maaf ya Kak" ujarku sambil memeluk Zidan yang bangun dengan mengerjap-ngerjap, setelah teriak tadi. "Riva jarang kaget dengan menangis. Lagipula Aku akan membawanya kedalam. Kau tak apa kan menunggu sebentar? Setelah itu baru kuantar"

"Iya, Aku akan menunggu didalam juga bersama Zidan"

"Baik… kalau begitu, mumpung hujan reda, kita masuk kedalam"

"Ya Kak."

***

Begitu masuk Rayariva, Aku lagi-lagi bertemu Risyad. Ya, rasanya sudah tak aneh Pria itu selalu berada disini. Beberapa hari kemarin Dia memang tak datang. Dan, ini adalah hari minggu. Hebat. Pria itu bahkan menggunakan hari istirahatnya untuk tetap bekerja.

Risyad dengan Blazer hitamnya yang pepat, terlihat mengamati sebuah pengerjaan pada bagian belakang Kafe. Kafe ternyata tutup. Terlihat dari semua kursi yang dipindahkan kesamping tembok kanan. Mungkin untuk memudahkan para Pekerja. Dan Pria tinggi yang terlihat serius itu masih mengamati Pekerja bangunan, hingga tak menyadari kehadiran Kami. Kak Raya telah bergerak bersama kereta dorong Riva menghampirinya, dan mau tak mau Aku juga ikut serta.

Kak Raya segera mendekat. “Risyad..? Kenapa Kamu masih disini?”

"Kakak datang.."

"Aku kira Kamu sudah pergi.. katanya ada urusan…"

“Tak jadi. Aku memanggilnya kesini, Dia juga ingin melihat apa yang kukerjakan”

“Wanita?” tanya Kak Raya.

Sebelum menjawab, Risyad malah melihatku. “Ya, Wanita”

Aku pura-pura tak bergeming. Itu urusannya. Sekali lagi itu urusannya. Mata Risyad kemudian melihat Riva. "Bocah kecil tertidur"

"Masa?" Kak Raya tak percaya. Namun Riva memang benar-benar tertidur. Kami semua melihat bocah itu sudah terlelap kembali. Semua tersenyum. Baru tadi Dia terbangun, namun bocah itu sudah menutup mata kembali. "Ya, Dia lelah sepertinya" sahut Kak Raya.

Tatapan Risyad tiba-tiba teralih pada Zidan ditanganku, "Dia...."

"Anakku" jawabku, "Zidan Al Ayubbi"

Pria itu mendekat hingga sampai didepan kami "Hai Zidan…" sapanya pada anakku.

Zidan tahu Dia sedang disapa, dan kembali beringsut. Namun Aku harus berhati-hati. Karena biasanya, Zidan akan berlari setelah ini. Kupegang tangannya kuat-kuat, karena kakinya benar-benar bergerak. "Tetap disini!" Sahutku, mendekapnya dengan kuat. Dia terdiam. Begitulah. Ini memang sudah bagian dari sikapnya. Dan sebagai Ibu, Aku sudah tanggap.

Risyad menunduk, menatapnya dengan lembut, "Hai Zidan.. Nanti main sama Paman" ujarnya, terlihat leluasa. Zidan tentu saja masih beringsut, dan menutup wajahnya di balik pinggangku. "… Dia tak mudah akrab pada Orang lain saat bertemu" jelasku. Risyad bangun, dan berdiri. "Temanku juga punya anak seperti Zidan. Mereka mengikuti terapi"

"Ya, Zidan juga seharusnya sama" jawabku, disaat seperti ini, Aku tak mau berdalih bahwa Aku hampir tak punya waktu mengantarnya.

"Mungkin.. akan datang waktu yang pasti, bagi Zidan mampu berinteraksi dengan baik"

"Kuharap juga begitu…, kuharap" hanya angan-angan, tapi tak ada salahnya berharap.

"Jangan pesimis. Banyak Anak seperti Zidan yang berkembang dengan normal" sahut Kak Raya ikut membenarkan.

"Ya" Jawabku. Semoga.

Lihat selengkapnya