Ini adalah Senin yang sendu untuk perasaanku yang kacau. Hari ini seharusnya Kami kembali sibuk, namun pengerjaan Kafe Eatpoint membuat sebagian Karyawan yang berjumlah lima orang disebar pada Readpoint, dan Bookpoint, sesuai Shif mereka. Karena di bagian Kasir sudah terisi, Aku berupaya mencari tempat yang bisa membuatku sibuk.
Silmi sendiri sedang berada di daerah alat tulis, sibuk mengecek barang-barang yang hampir kosong. Mungkin minggu ini bagian Logistik akan segera memenuhi permintaan pengadaan barang. Biarlah, Aku tak akan menganggunya. Aku akan mencari lahan lain untuk tetap berkutat pada kesibukan.
Hari yang sendu ini bukan terjadi karena langit masih menurunkan hujan seperti kemarin. Apa yang terjadi kemarin lah yang masih menyisakan rasa sendu dalam hatiku. Pengakuanku terhadap perasaanku, membuatku tak percaya diri. Aku mencintai Risyad. Tak kuduga Aku akan jatuh hati padanya. Simpati, dan hal baik yang Dia lakukan untukku menciptakan olah emosi tak terduga, yang tak mampu kutahan. Cinta. Dan ini adalah cinta yang ironi. Kenapa perasaan ini harus memilih Risyad, yang segala-galanya jauh diatasku?
Untung saja, kemarin sore Aku langsung meminta maaf pada Kak Raya melalui Smartphone Alina. Pergi tiba-tiba tanpa memberitahu, tentu adalah hal yang tidak sopan. Aku tahu itu. Tapi sungguh, sejujurnya Aku juga malu telah berbohong.
Semua hal yang berhubungan dengan Yoana, selalu seperti ini. Harus kuterima tanpa kompromi. Entahlah. Terkadang sangat memuakkan harus mengalah. Terkadang menyebalkan juga harus menjadi pribadi yang selalu menghindar. Dan, keadaan saat ini pun menjadi sangat ambigu. Cemburu maupun kecewa, tak bisa kubedakan. Pada akhirnya pilihanku tetap pada menghindar.
Risyad. Pria yang mungkin (akan) menikah dengan Yoana itu harus kujauhi. Aku tak ingin terlibat masalah lagi, karena rasanya sudah cukup. Beban hidupku tak bisa kutambah lagi. Aku sendiri sudah tak percaya diri untuk memiliki pasangan. Karena itu telah kuputuskan juga untuk tak menikah lagi. Semua ini demi Zidan, demi Kami berdua. Kami akan menyongsong masadepan berdua saja seperti Kak Raya dan Riva.
***
Hari telah menunjukkan pukul 11.45, ketika Aku masih berjuang untuk sibuk. Berjalan kesana kemari, Aku berusaha mengerjakan semuanya dengan sungguh-sungguh. Hingga jam pulang nanti, Aku akan tetap mencari kegiatan agar ilusi kecewa yang sesekali menyesap masuk pada otakku, tak menganggu sama sekali.
"Yura……" Aku mendengar suara Silmi memanggil dari belakangku.
"Ya?" tanyaku, segera berbalik.
"Sudah hampir jam istirahat.." jelasnya.
"Ah, Kau saja dulu yang istirahat, Aku akan menggantimu dulu" sahutku.
"Begitu?..hmm, tampaknya hari ini ada yang berbeda darimu…apa ya, terlihat berusaha untuk sibuk" ungkapnya, yang lagi-lagi benar.
" …. Aku memang sibuk kok." Jelasku sembari menutupi ekspresiku dengan memalingkan muka.
"Kamu melakukan hal yang bukan jobdeskmu hari ini.., Kakak."
"Tak apa, Kakak ini sedang ingin bekerja keras." Ternyata Dia mengamatiku sedari tadi.
"Mmm, mencurigakan…" lagi, Dia mampu mengendus sesuatu yang tak beres. Kuakui Dia luar biasa, karena tak semua orang memiliki kepekaan tinggi dalam menilai suasana, maupun situasi.
"Sudahlah, kau istirahat saja dulu.." ujarku.
"Yura……"
Ada suara lain dari samping Kami, yang membuatku dan Silmi saling berpandangan. Yoana Shyeril. Badanku seketika berbalik, untuk memastikan pemilik suara itu. Yoana Shyeril berdiri didepanku, tepat setelah Aku berbalik.
Apa Aku tak salah lihat?
Rayariva kedatangan Penulis Yoana Shyeril. Wanita yang lagi-lagi menutup matanya dengan kaca mata hitam itu datang tanpa kuketahui. Aku tak bosan-bosan mengakui satu hal. Wanita itu memang memiliki kecantikan yang tercipta sebagai Publik figur. Sosoknya tak pernah tak mengundang perhatian.
Silmi terkaget tanpa bersuara. Tentu saja. Seorang Penulis cantik yang sudah diakui kiprahnya secara nasional ada disini, didepan kami. Dia bergerak, selangkah. Seperti kemarin, wajahnya lebih tirus dan pucat di balik kacamata hitamnya. Sedikit lucu bahwa Aku masih memujinya, padahal hubungan Kami tidak baik-baik saja.
Waktu seakan melambat disekitar kami ketika Dia menggigit bibirnya. Kurasa Dia kemari bukan hanya sekedar menyapa Teman miskin ini, namun untuk memastikan sesuatu. Hubunganku dengan Risyad.
“Hai” sapanya. Silmi mendekat kesamping, melihatku, melihat Yoana, dan melihatku lagi. Dia tak percaya dengan apa yang Dia lihat. “A, A, an-Anda Yoana Shyeril kan?” tanyanya, berbinar dengan suara yang nyaris terbata.
Yoana mendeham, elegan, "Ehm, yaah.. “ Dia tersenyum -secara-profesional, seperti layaknya sedang berada di mimbar. “Apa Aku boleh minta tanda tangan Anda?” tanya Silmi, masih berbinar. “Tentu saja, boleh. Tapi tolong jangan sampai ada yang tahu Aku ada disini ya” pintanya, sambil menempelkan telunjuk kanannya pada bibirnya. Silmi menjawabnya dengan mengangguk cepat, "Tentu!" Segera, Dia berjalan cepat untuk mengambil sesuatu. Pasti buku karangan Yoana.
“Kenapa….. Kamu ada disini?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Aku tahu ini jam istirahatmu. Ikutlah denganku, ada yang ingin kubicarakan. Disini terlalu terbuka...” pintanya, sambil memandang sekeliling dengan kacamatanya. Aku mendegus, sedikit sebal. Apa yang kuhindari hari ini malah harus kuhadapi.“Oke, tunggu sepuluh menit lagi..., sampai Aku keluar istirahat.” tukasku. “Baik.., kutunggu. Mobilku berwarna merah terparkir didepan” ujarnya, dan kujawab sekali mengangguk.
Silmi kembali dan telah menyiapkan buku Motivasi yang ditulis Yoana ditangannya. Buku itu berjudul Berjuang untuk tetap berjuang dan menyerahkannya pada Yoana. “Ini” ucapnya. “Oke…” Sambil membubuhkan tanda-tangannya Yoana berkata, “Untuk siapa buku ini?”