Aku telah sampai pada pintu masuk Toko Rayariva dan berhenti sebentar. Sebelum masuk Aku harus menyiapkan diri, menarik napas dan membuangnya lambat-lambat. Aku malu, sebetulnya. Namun kutahu, apapun yang terjadi didalam sana nanti, mereka pasti mendukungku. "Fuh…" mengeluarkan napas saja terasa gugup. Aku tetap harus bergegas untuk masuk. Baiklah, mari masuk.
“Assalamualikum”
Awalnya, tak ada yang menyadari penampilanku, sampai Aku bertemu dengan Karno. " Wa…..alaikum…. salam….Kak Yura?" Pagi yang segar untuk pertanyaan pertama atas perubahanku. Karno tercengang, meskipun Aku jarang mengobrol dengan Karno, Dia selalu baik dan menyapaku dengan ramah.
"Ya, Aku " jawabku, sedikit tersipu.
Tuk, tuk, tuk, tuk, tuk! bunyi suara sepatu berlari. Silmi sampai dengan mulut membuka terperangah, Dia menatapku dari atas hingga bawah, berkali - kali. “Kamu…, Yura?” tanyanya, yang juga tak percaya. “Ya” jawabku. Inilah reaksi yang pasti terjadi, "Kamu pakai kerudung?" lagi, Dia masih tak percaya. Aku mengangguk.
"Alhamdulillahhhhh!" ucapnya menyungkupkan kedua tangannya pada pada mulut dan hidungnya. Dia kemudian memelukku, sang pembuat kehebohan pagi.
“Kamu cantik sekaliii!” Seru Silmi segera. Yang lainnya juga mengacungkan jempol, sementara Karno tersenyum sumringah.
Dari sudut empat puluh lima derajat sisi kiriku, mataku menemukan sosok Kak Raya yang datang dari ruangannya. Tatapan matanya sama tercengangnya dengan Karno. Segera setelah Dia sadar, Dia berjalan menghampiriku yang dikerumuni dua orang itu. Memang, baru beberapa hari lalu Aku bertanya tentang niat ini. Namun, hal ini tak juga kusangka, keputusanku mantap ini untuk lebih cepat menyambutku, dari yang kuduga.
Wajah Kak Raya merekah, penuh haru. Persis seperti bayanganku, Dia menyukai keputusanku. “Selamat datang, Yura!” Sahutannya teramat bersemangat, dan kembali menciptakan aroma optimis yang membentangkan harapanku seluas langit untuk perubahan yang baik lagi. Bagiku, Dia terkadang seperti Ibu, namun Dia adalah seorang Kakak.
“Banyak hal yang baik yang akan terjadi” Ucapnya. Dan Aku selalu percaya kata-katanya yang menenteramkan. “Karena niat yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik” ujarnya lagi.
“Itu yang selalu Kak Raya bilang“ timpal Silmi yang ada disampingku.
“Dan Kamu mengakuinya kan?” singgung Kak Raya, Kami tahu Dia hanya bercanda. “Kebaikan itu untuk disebarkan” jelas Kak Raya lagi, untuk pertama kalinya terlihat tak mau kalah. Kami semua tersenyum menyerigai bersama.
Trinng..trinng. Smartphone Kak Raya berbunyi.
“Oh, Sepupuku” ujarnya.
Deg! Degub jantungku seperti baru saja bergelombang longitudinal, menggempakan damainya hatiku yang beberapa detik lalu baru kunikmati. Kata Sepupu itu benar-benar mengganggu stabilitas jantungku. “Kalian boleh bersiap” ujar Kak Raya lagi sambil mengangkat Smartphonenya. “Ya, sebaiknya kita bersiap” ucapku juga pada Teman-teman. "Ayo" tukas Silmi sambil merangkulku, sementara oleh Karno yang bergerak kearah Readpoint. Hatiku lagi-lagi tak kuijinkan terjebak dalam detakan yang tak seharusnya. Aku bukan siapa-siapa untuk berpikir, bahwa Aku bebas mencintai Pria yang akan menjadi milik Orang lain itu.
Sepertinya, Kak Raya juga telah selesai menelpon, cepat sekali. Anehnya, Dia melihat kearahku. Beberapa detik setelah itu Smartphoneku berbunyi dan bergetar dalam tas sampingku. Kubuka dan segera kuambil. Nama Risyad tertera sebagai nama pemanggil. “Angkatlah, baru saja Dia menanyakanmu” suruh Kak Raya, yang membuatku kembali menoleh padanya.
Menanyakanku?
Baik, baiklah. Tak ada yang salah, hanya dengan mengangkat telponnya. Tut. Setelah menekan jawab, benda itu langsung kupasang pada telingaku. “Ha, halo..Assalamulaikum” jawabku, mencoba normal.
“Waalaikum salam...…., Yura.., ada hal yang ingin kusampaikan," jelas suara Risyad di telpon.
"Ya, silahkan…"
"Yoana sakit. Saat ini Aku harus memimpin rapat penting di Amadeus, jadi Aku tak sempat ke Rayariva untuk memberitahumu,… Dia sedang dirawat”
“Yoana sakit?” Ya, kemarin memang Dia terlihat pucat.
“Sekretarisku baru saja memberikan info itu” Ujarnya.
“Dia sakit apa?” tanyaku lagi, kemarin wajahnya memang terlihat pucat.
“Dia tak bilang. Siapa tahu Kau ingin datang mengunjunginya” Jelasnya pelan. “Entahlah.. Aku…" Bukannya tak mau, tapi Aku tidak punya kepercayaan diri setelah bertengkar dengannya.
Tapi… Kenapa Risyad? Apa Dia sengaja mengajakku karena permasalahan beberapa hari yang lalu?
"Kurasa kali ini Kau perlu melihatnya, sebagai Teman" benar. Dia sengaja ingin mempertemukan kami.
“Kita bisa pergi bersama-sama. Aku bisa menjemputmu dirumah, Kak Raya juga mungkin mau, Dia sudah kenal, saat kemarin ke Rayariva” Ucapnya.
Bersama-sama?
"Kenapa Kau tidak sendiri saja”
"Aku ini bukan Muhrimnya, kenapa Aku harus menjenguknya sendiri?" ada nada tak suka dari suaranya.
Ya, Risyad bukan tipe pria yang seperti itu, Dia pasti sangat menjaga nama baik dan hubungan mereka di mata publik. Tatapanku spontan tertuju pada Kak Raya, dan alhasil tatapan penasaran lah kudapatkan darinya. “Ada apa?” tanyanya. Aku menggeleng, tak ada yang perlu Dia jawab. Sebetulnya Aku ingin menolak. Alasannya adalah, ini akan menjadi ajang keakraban calon keluarga. Sebagai orang luar seharusnya Aku tidak ikut.
Aku kembali menoleh pada Kak Raya. “Apa Kak Raya setuju?” tanyaku padanya.
“Setuju?” tanya Kak Raya. “Tentang apa?”
Pertanyaanku-yang tak memakai judul-itu tentu membuatnya bingung. “Yura?” Suara Risyad di telpon mengingatkanku. “Ya, oh...Aku akan ikut Kak Raya saja” ujarku, terpaksa. Sangat-sangat terpaksa harus setuju.
“Oke, besok tanggal merah, kudengar Kau libur”