Buket bunga seruni kembali tergeletak di depan rumahku untuk kedua kalinya. Ini membuatku benar-benar tercengang. Telah dua hari berturut-turut, bunga jenis ini dikirim, bahkan kali ini posisinya telah berada diatas meja terasku. Bunga itu kuambil, dan kembali kuputar-putar. Mungkin hari kedua ini, pengirim akan memberi tahu identitas, atau petunjuk kenapa bunga Seruni ini masih terkirim. Namun nihil. Lagi-lagi pengirim tak kembali memberi tahu identitasnya.
Subuh tadi ketika Aku keluar untuk menghirup udara pagi, namun tak ada tanda-tanda kehadiran bunga ini. Mungkin bunga ini sengaja dikirim tanpa sepetahuan kami. mungkin. paru-paruku mendesah dalam, sedalam misteri yang tersimpan dibalik siapa pemberi buket ini. Bunga putih ini sama cantiknya dengan bunga seruni kemarin.
Ini bukan kondisi yang disebut salah kirim, ketika bunga dengan jenis yang sama terkirim dua kali. Apa yang bisa kukatakan? Aku bahkan tak bisa menebak siapa yang mengirim bunga "pemberi semangat" ini.
Kata-kata Silmi tiba-tiba terlintas dalam benakku, membuatku ingin mencari tahu sesuatu. Kutaruh bunga itu kembali, karena tanganku hendak mengambil Smartphone yang berada dikantung sakuku. Sebelum menghitung jumlahnya, Aku harus tahu arti dari jumlah tangkainya.
Tring! Ada bunyi pemberitahuan What's AP. Dan sekilas nama kontak itu adalah Kak Raya. Karena lebih penasaran dengan seruni, Aku menyeret- mengabaikan- WA Kak Raya. Jari jemariku dengan cepat melakukan pencarian di internet. Info yang kucari langsung kudapat. Kulihat lagi bunga itu, mungkin jumlah sekitar belasan.
Belasan….
Hmm..
Dua belas berarti seseorang sedang mengungkapkan cintanya padamu...
Tiga belas berarti Kamu... memiliki Penggemar rahasia.
Bunga itu kuambil kembali, dan kuhitung. Aku tercengang ketika hitungan terakhirku berakhir pada angka 13. “Tak mungkin…. Penggemar rahasia..?” Mataku mengerjap. Spontan kembali kuedarkan pandanganku kesekeliling depanku. Siapa tahu ada tetangga yang sedang menyaksikanku menggenggam bunga -yang mungkin saja- milik Mereka ini. Namun lagi-lagi nihil. Kutengok juga rumah sebelahku, tempat Shanti kemarin berdiri, namun Dia pun tak ada. Satu-satunya tempatku bertanya mungkin adalah Adikku. Betul, Alina. “Alina…..” Panggilku. Dia ada didalam rumah, karena ini hari libur kerjanya. “Ya Kak...” jawabnya. Langkah Alina yang mendekati pintu membuatku berbalik. “Ada apa?” tanyanya, ketika sampai didepan pintu. “Apa Kau tahu tentang ini?” tanyaku sembari menyodorkan buket bunga ditanganku ini.
“Oh, bunga Seruni lagi?" Dia tak terkejut.
“Kau juga tahu?”
“Tentu, bunga seperti ini ada sejak Aku pulang, kukira bunga itu milik Kakak “jawabnya, sembari tercengang, melihatku dari atas sampai bawah, "Tapi tunggu, kenapa Kakak berpenampilan seperti ini?"
Oh, ya. Adikku belum kuberitahu. Dia bahkan tak bertemu denganku saat Aku mulai menggunakan kerudung. "Mulai berangkat kerja kemarin Kakak sudah menggunakan Kerudung" jelasku, menggaruk-garuk alis. Aku malu, namun itulah kenyataannya, Aku memang berniat berubah. "Woow, benar-benar.. Kakakku sudah berubah menjadi Wanita yang baik" Dia menatapku penuh haru. Tangannya kemudian merangkul bahuku dengan lembut. "Selamat Kak... Selamat menjadi Kak Yura yang kembali normal..."
Aku mendeham, tersenyum dibalik bahunya. Betul, cukup lama rasanya Dia menyaksikanku terpuruk sebagai Yura yang tak normal. "Kakak masih berjuang untuk bisa normal seutuhnya"
"Aku mendukungmu.. sungguh. Aku menyukai Kak Yura yang seperti ini. Aku juga akan berkerja keras bahkan mendapatkan uang lebih banyak!" Alina terlihat bersemangat dan menggenggam lengan kecilku.
"Yayaya.. Kakak juga akan berjuang menu-" Astaga. Mulutku terkadang tak bisa kuatur. Aku melepas pelukannya, dan kemudian menatapnya. "Kita harus mencari uang yang banyak" sahutku. "Ya, ayo kalahkan Rentenir dan Wanita pirang itu" Tukas Alina cukup bersemangat. Matanya lalu menatap bunga ditanganku itu. "Lalu.. bagaimana dengan bunga ini?"
"Oh iya... Aku sampai lupa. Kamu yakin tidak ada yang menanyakan bunga ini kemarin?" tanyaku juga.
"Tidak" Alina menggeleng ringan.
“Kakak sengaja menaruhnya didepan meja ini agar orang yang salah kirim mengambilnya” jawabku.
“Tak ada yang mengambilnya, jadi kukira bunga milik Kakak"
”Dimana Kau menaruhnya? Aku tak melihatnya?”
“Aku meyimpannya dekat lemari bofet yang kuberi vas berair” ujar Alina.
“Vas air? Ya, ampun. Bunga itu bukan punya Kakak. Kita tak tahu bunga ini kiriman siapa? Jangan langsung menaruhnya didalam rumah” Tukasku, sedikit tak tenang.
“Ya...itu.. kukira itu punya Kakak. Kupikir itu dari Penggemar”
“Tidak. Mana mungkin” bantahku. Namun, Aku tersadar. Alina mengutarakan apa yang baru saja kucari tahu. “Kau …. Kenapa tahu, bunga ini dari Penggemar?”
“Siapa yang tak tahu, jumlah bunga seruni itu memiliki arti Kak..” Jelas Alina, terkesan mengajariku. “Bila ini pengirim yang sama, seharusnya ada tiga belas tangkai.., kemarikan!” Tukasnya merebut bunga itu ditanganku-sebelum berkata, sementara Aku hanya terpaku melihatnya menghitung kembali jumlah bunga itu.
“Tiga belas tangkai lagi, seperti kemarin..” jelas Alina. “Ini sih sudah jelas dari Penggemar rahasia”
“Rasanya terlalu aneh, bila salah kirim dua kali” tambahku, tak habis pikir.
“Apa… Kakak yakin, akhir-akhir ini tak ada Pria yang....?
“Tak ada” tegasku. Kalaupun ada, bukan dari orang itu, bukan. “Tak ada satupun dari kita yang menjalin cinta bukan?” tanyaku lagi. “Ah...., betul sih. Kita memang Wanita yang tak beruntung dalam masalah cinta… Mau bagaimana lagi” ujar Alina yang tiba-tiba tertunduk merenung. “Sudah, kita simpan disini saja” ujarku, tak mau meneruskan pernyataan Alina. Hal ini bisa membuatnya kembali menyalahkan dirinya.
"Kita harus membiarkannya disini" Ujarku. Pembiaran ini harus kami lakukan, agar pengirimnya sadar, tak ada respon dari orang yang Dia tuju. "Ya.." jawab Alina. "Ayo kita masuk, mudah-mudahan nanti ada yang mengambil bunga ini" sahutku. "Ya.. " jawab Alina, Dia lebih dulu masuk kedalam rumah, sementara Aku masih terdiam menatap bunga itu. Bunga yang malang. Siapapun orang itu, semoga Dia menyadari bahwa bunga kirimannya telah salah alamat.
***
Janji telah kuucapkan, dan harus kutepati. Zidan akhirnya kubawa bersamaku. Anak kecil ini sebetulnya tak ingin kubawa, namun kurasa Dia akan senang dengan kehadiran Risyad (sosok Paman baik yang menerimanya apa adanya. Selain itu, Anakku itu juga bisa membuatku sibuk. Licik? memang. Tapi inilah caraku mengatasi rasa tak berdaya akan serangan kebahagiaan orang lain dihadapanku nanti.
Berjalan meninggalkan rumah, Aku dan Zidan kembali menjadi pemandangan tak biasa oleh sebagian Tetanggaku. Sebenarnya Aku sudah tak peduli dengan tatapan-tatapan -yang nyaris- tak bersahabat itu. Namun kurasa, momen mungkin ini bisa meyakinkan mereka kembali bahwa Aku telah berubah. Aku adalah Yura baru... yang ingin berjuang mempertahankan hidup. Dan Aku harus meyakinkan mereka lewat sikap dan cara berpakaianku.
“Zidan..” panggilku. Zidan hampir saja berlari, ketika Kami akhirnya berada diluar komplek. Dia pasti terpancing oleh apa yang Dia lihat didepan. Jalanan yang terbentang luas yang akan mengasah aksi petualangannya. "Na..,naaa!" Kesana. Itulah maksudnya. Karena tangannya menunjuk ketengah jalan. "Disana penuh, disini saja!" sahutku, menatap jam tangan yang menunjukkan pukul sepuluh pagi hari. Kami berjalan dengan tujuan menuju halte taman yang sedikit lagi akan sampai.
Tiiinn!
“Astaga!” Pekikku, ketika bunyi klakson berbunyi diikuti mobil yang berhenti tepat disampingku. Kepala seorang Pria terlihat mendonggak dari dalam mobilnya. “Risyad..?” panggilku, masih kaget. “Maaf mengagetkanmu. Aku datang menjemput, karena Kak Raya sedang ada perlu.. ”Jawabnya. Zidan ditanganku terlihat bereaksi senang akan kehadirannya, membuatnya menghentak tanganku, karena gerakan spontannya. "Zidan!" panggilku spontan.
“Ayo masuklah..” sahut Risyad.
"Tunggu, mana Kak Raya?" tanyaku. Baru kusadari juga tak ada sosok Kak Raya.