Aku tak bisa menulis apapun pagi ini. Layar Laptop bahkan kubiarkan menyala hingga satu jam sejak kubuka tadi. Ide dikepalaku kosong. Satu gelas kopi telah kuhabiskan sejak setengah jam lalu, namun semuanya tak berjalan dengan baik. Padahal, sedikit lagi Aku akan mencapai tahap klimaks dalam naskahku. Semua ruang pemikiranku dipenuhi oleh punggung kecewa Risyad, yang pergi meninggalkanku tanpa menoleh kembali.
"Kita lihat saja nanti… Apa Kamu masih menutup hatimu untukku, atau sebaliknya”
Itu yang Dia katakan kemarin. Dia juga mencintaiku. Tapi, apa yang akan terjadi? apa dengan cinta yang saling bersambut, kami bisa bahagia?
“Tidak, tidak, tidak. Aku tak bisa seperti ini terus!” tanganku mengusap wajahku, dan berakhir pada mulutku. Memikirkan masalah ini tak ada habisnya. Aku mencintai Risyad, dan cukup sampai disitu saja. Nasib tak berlaku baik pada Kami, itu saja yang harus kutanamkan dalam hatiku. Semoga Dia mendengarkan kata-kataku agar tidak sering bertemu. Harapan terakhirku, Dia juga akan mengacuhkanku. Rasa pedulinya hanyalah bumerang untukku, membuatku semakin jatuh cinta padanya.
Aku juga tak bisa seperti ini terus. Tanganku harus kembali untuk menulis. Telunjukku segera menekan tombol enter pada Laptop, dan berupaya berkosentrasi pada layar dua dimensi itu. Kepalaku harus kembali menyongsong konsentrasiku untuk membentuk jalinan kalimat. Ya, harus segera kuselesaikan. Masalah hidup lain menungguku, hutang besar kami. Waktuku tak bisa kusia-siakan seperti ini.
Kususuri, kalimat sebelumnya yang telah kuselesaikan. Dan baru kuingat, dua hari yang lalu Aku masuk pada bagian rasa tak berdaya tokoh utamaku, ketika cintanya tak memiliki harapan. Entah kenapa, tanpa sadar tokoh utama wanita yang kubentuk mirip denganku. Hidupku dan hidup tokohku tak jauh berbeda. Bukan, mungkin Aku sendiri yang tak sadar menggambarkan diriku pada tokoh utamaku itu. Aku tersenyum miris, hidupku ternyata menginspirasiku membentuk perasaan Seruni, serta lingkungannya yang serba kekurangan.
Reaching for the Star.
Ini adalah judul naskah yang muncul dikepalaku tadi malam. Awal yang sulit untuk harapan yang belum tentu tercapai. Judul ini cocok untuk menggambarkan Seruni yang berjuang mengubah nasibnya. Perjuangan dan cintanya sama sulitnya denganku. Namun Aku bertekad kisah cinta Seruni harus lebih baik dari kisah cintaku.
Tanganku meraih Smartphone yang kusimpan disamping Laptopku. Kak Raya memberiku pesan What's Up. Tadi malam kami sempat mengobrol, dan membuatku ingin membuka pesannya kembali.
Kak Raya : Assalamualaikum.
Aku : Waalaikum salam.
Kau baik-baik saja? Kenapa Kau tak datang di Pertemuan Komunitas?
Aku tak membuka pesan Kak Raya sejak pagi, hingga malam. Ternyata banyak hal penting yang kulewatkan kemarin, termasuk pertemuan.
Aku : Maaf Kak, Aku tidak melihat pesan sejak pagi kemarin...
Kak Raya : Apa ada sesuatu yang mengganggumu?
Aku : Tidak. Tidak juga.. Sejak pulang ada sesuatu yang harus kutangangi.
Perasaanku...
Kak Raya : Baik.. tak apa. Nanti bila ada pertemuan lagi, akan kukabarkan lewat telpon. Kemarin hanya pertemuan kecil sebetulnya, tadinya bila Kau mau ikut Kakak mengajakmu untuk datang selepas dari menengok.
Aku : Iya, maafkan Aku juga Kak.
Kak Raya : Ohya.. apa ada sesuatu yang terjadi pada Risyad?
(Deg!) Saat membaca ini perasaanku kembali tak karuan.
Aku : Kenapa Kak?
Kak Raya : Dia tak bisa dihubungi sejak sore ini..
Aku : Kami berpisah jalan saat pulang.. jadi Aku tidak tahu.
Kak Raya : Baiklah.. selamat istirahat. Mungkin Dia sedang tak ingin dihubungi
Aku : Kakak juga. Ya... mungkin Kak.
Aku benar-benar pembohong yang baik. Kunjungan itu malah berakhir dengan pernyataan cintanya, dan pertengkaran. Sungguh, Aku tak menyangka. Sama sekali tak menyangka bahwa Risyad selama ini punya perasaan kepadaku, si menyedihkan Yura. Dan, sekali lagi kuingatkan pada diriku untuk tidak membahasnya di depan Kak Raya.
Ciiiit!
Suara mobil tiba-tiba berdecit, berhenti didepan rumahku. Aku berdiri dan berbalik untuk mencari tahu siapa yang datang. Dengan segera, kupakai kerudung yang kutaruh disofa sejak subuh tadi dan berjalan menuju jendela. Dari balik layar putih jendela, kusaksikan ada mobil hitam besar yang berhenti didepanku. Rasanya baru kemarin kualami hal yang sama, ketika sebuah mobil berhenti disampingku dengan sosok yang mengagetkanku.
Mungkinkah, itu Risyad?
Tidak. Bukan. Mobil itu berwarna hitam besar, dan itu bukan mobil Risyad. Ditambah lagi, satu orang Pria yang sepertinya Bodyguard keluar dari belakang, dan depan mobil. Perasaanku tak enak. Ini seperti pertanda buruk. Seorang Pria tinggi tua setengah baya berperawakan Bos muncul dari bagian belakang mobil yang berlawanan arah dengan pintu masukku. Aku bisa tahu karena salah satu Bodyguad itu menunduk segan padanya.
Ada lima orang tepatnya, ketika sosok terakhir yang keluar dari pintu sebelah kiri sana adalah sosok Wanita berambut pirang. Wanita itu lagi! Firasatku benar, Mereka adalah penagih hutang. Sepertinya kata-kataku tak mereka dengar. Permintaanku untuk melunasi dalam waktu enam bulan juga tampaknya tak mereka indahkan.
Wanita itu kemudian berjalan memimpin bersama seorang Pria tinggi kurus itu. Tiga orang lainnya menyusul dibelakang Mereka, dengan perawakan yang jelas adalah Bodyguard. Daguku pelu. Entah apa yang akan terjadi, tapi Aku tak bisa hanya berdiam saja menunggu mereka menyakitiku.
Ah, tidak. Zidan…
Relungku mengerut mengingat Zidan juga ada disini. Tak ada tempat untuk meminta tolong. Bagaimana ini? Apa Aku telpon Polisi saja? Smartphone diatas meja menarik perhatianku, dan segera kuambil. Aku harus menelpon polisi. Ya, Polisi.
Tapi….