Reaching For The Star

Dian hastarina
Chapter #24

Aku ingin menjadi Penulis #24

Setelah Kak Raya pergi, ruangan ini menjadi kosong. Kosong, sekosong-kosongnya hingga rasanya membosankan sekali. Aku tak tahan untuk berdiam diri dan hanya menunggu. Sudah dua jam Zidan dibawa Risyad. Aku ingin bertemu mereka berdua, memastikan keadaan Mereka, apakah keadaan mereka baik baik saja. Sudah sampai satu jam. Apa yang membuat mereka lama berada diluar? Aku tak tahan hingga beberapa kali mendecak. Semoga Alina bertemu dengannya diluar, dan meminta mereka untuk datang.

Kepalaku sudah tak sepening tadi. Mungkin berjalan sedikit akan membuatku nyaman. Ya, baiklah. Aku akan turun. berjalan-jalan sedikit mungkin bisa menghilangkan penat, dan melupakan diri sebagai pasen,walau hanya sebentar saja. Setidaknya Aku ingin duduk disofa atau melihat keluar.

Kakiku mulai kupijakkan dengan pelan ke lantai porcelain kamar ini. Baru kusadari, ini pasti kamar VIP yang sesungguhnya bukan standarku. Dan lagi, dari desain ruangannya, kamar ini ternyata tak jauh berbeda dengan desain ruang rawat milik Yoana. Benar, sangat mirip. “Apa kami.. berada di rumah sakit yang sama?” tanyaku lagi pada diri sendiri.

Tanganku meraih botol infus, mengambilnya dari tiang panjang tempatnya digantung. Kakiku juga segera mengenakan sendal tipis pasen yang sudah tersedia dibawah tempat tidur ini. Berjalan sambil membawa botol infus ditangan kiriku, kusadari ada samar-samar percakapan yang terdengar dari luar kamar rawatku. Semakin melangkah, Aku tahu, dua suara itu adalah milik dua orang yang sangat kukenal.

Rasa ingin tahuku membuatku dengan cepat mencapai pintu, memastikan melalui kaca tengahnya, bahwa kedua orang itu adalah Risyad dan Yoana. Benar, kedua sosok itu adalah Mereka. Aku segera memindahkan badanku pada tembok pintu, sebelum salah satu dari mereka menyadari kehadiranku.

“Kau.. benar - benar menolakku?” tanya suara Wanita yang adalah milik Yoana itu.

“Maaf..” Balas Risyad. Telingaku semakin ingin kutempelkan pada dinding. Setelah mendengar kata menolak itu.

“Kamu bersungguh-sungguh...?” Tanya Yoana.

“Maaf…” jawab Risyad, terdengar bijak.

“Jadi waktu itu.. Kamu sudah menduga Yura hadir di Reuni?” pertanyaan itu sontak membuatku kaget. Satu tanganku spontan menutup mulutku. Tak mungkin. Apa yang mereka bicarakan? Jelas-jelas, Risyad pura-pura tak mengenalku, dan hanya mengandalkan gelang tangan yang kupakai.

“Apa itu penting? Meskipun benar… itu bukan hal yang harus dibahas lagi” Balas Risyad pada Yoana.

“Hhhh! Jadi itu benar…, apa yang Kau sukai dari Yura? Kau tahu bukan, saat itu Dia berubah menjadi Wanita yang penuh dendam, Dia bahkan tak segan-segan untuk menilaimu sebagai orang yang buruk!”

“… Dia mau berubah. Itu lebih baik daripada tidak”

"Lalu… Apa artiku dimatamu?" Kutahu, Yoana mengatakannya dengan hati yang berat. “Kau… Kau tidak pernah melihatku bukan? bahkan setelah semua hal yang pernah kusampaikan padamu…, semuanya…., kurasa Kau juga tahu perasaanku padamu… Aku juga mencintaimu, Risyad. Aku datang ke Bandung bukan hanya untuk bertemu, tapi Aku juga ingin ..” Yoana terdengar emosional, Bisa kurasakan Dia mengerahkan segenap hatinya untuk mengungkap perasaannya. Aku tersentuh. Wanita itu juga berjuang untuk mendapatkan hati Risyad.

“Kau juga tahu, dari awal yang kutawarkan adalah pertemanan....” Itu yang dikatakan Risyad. ”…Kamu Wanita yang baik, pekerja keras… Kamu yang mencintai pekerjaanmu, adalah sisi yang paling baik darimu..,” jawab Risyad, menurun suaranya.

“Tapi Aku gagal mendapatkan cintamu…!” Suara Yoana terdengar semakin berat. Sepertinya Dia menangis.

Hingga beberapa detik berlalu, tak ada yang satupun dari mereka yang meneruskan percakapan. Aku bisa merasakan apa yang Yoana rasakan. Tanganku ikut mengerut pada ujung baju yang kupegang, ketika membayangkan bagaimana sakitnya perasaan temanku dihadapan Risyad. Cinta yang tak bersambut itu, menyakitkan. Beberapa hari yang lalu hal itu juga kualami.

Dan, apa yang kulakukan saat ini juga tak benar. Tidak seharusnya Aku mendengar percakapan mereka. Sebaiknya Aku segera kembali saja ke tempat tidur. “Baik,… Baik. Jadi itu jawabanmu…” Kata – kata Yoana menghentikanku, sebelum melangkah. Rasa ingin tahuku mengalahkan perintah nuraniku untuk pergi dari balik dinding percakapan itu. “Yoana…” Dari caranya memanggil Yoana, bisa kurasakan, ada rasa bersalah saat memanggil namanya. Yoana tak memberi jawaban. Namun beberapa detik kemudian, hanya terdengar langkah sepatu wanita yang menghentak diatas lantai berbahan porcelain ini.

Pelan-pelan langkahnya menjauh, hingga akhirnya tak terdengar. Kurasa Yoana tak ingin mendengar apapun lagi, dan memilih meninggalkan Risyad. Aku, ikut sedih untuknya, sungguh. Tapi Aku juga tak bisa ikut campur dengan urusan mereka. Sebelumnya, Akulah yang mengalami patah hati. Namun kini setelah mengetahui isi hati Risyad, Aku bahkan tak tahu bagaimana harus menemuinya setelah ini.

Langkah sepatu kembali kudengar, mendekati ruanganku. Astaga! Aku lupa! Risyad pasti hendak masuk ruangan ini. Aku SEGERA berjalan cepat, namun sendal yang kupakai tak mengindahkan aksiku, sehingga badanku tak seimbang dan oleng oleh gravitasi.

Bruak!

Ya, Aku jatuh terduduk. Bahuku ikut gemetar karena sakit saat menghentak lantai. Rasa sakit dan tiba-tiba pusing membuatku tak bisa berdiri. Cklek. Pintu itu terbuka, tanpa memberiku kesempatan untuk bangun. Langkah pertama, Pria itu belum menyadariku. Langkah kedua, Dia berhenti, ”Yuraa…?!” Dan tersadar. Aku yang berada dilantai hanya bisa mengernyitkan mata sekuat-kuatnya, menyesali apa yang telah kulakukan.

“Kenapa Kau ada dilantai?” dalam sekejap mata, Dia sudah terjongkok di sampingku dengan mata yang memintaku untuk menjawab. “Eumh…” Mulutku terkunci, terlalu malu untuk berkata jujur. Dia melihat sekeliling ruangan, “Tak ada orang. Kenapa Kau tidak minta tolong Perawat?” tanyanya lagi, masih dalam posisi berjongkok. Aku baru saja berbuat curang dengan menguping jadi tidak mungkin meminta tolong Perawat ( tapi kalimat itu tak mungkin keluar dari mulutku).

“Tidak apa-apa… Aku ingin berjalan sedikit” itu saja, agar Dia tak bertanya banyak.

Aku berharap Kak Raya tidak berlama-lama diluar, karena kedatangan Risyad yang hanya seorang diri, membuatku tak bisa berekspresi lega, ataupun tenang. Degup jantungku bahkan, membuat tanganku gemetar saat merapihkan kerudung dan baju pasenku. “Aku hanya, bosan…” jawabku, tak berani berani menatapnya.

“Ayo.. kubantu” Dia mengulurkan tangannya padaku.

“Pang-panggil Suster saja!”

“Ini darurat, lihat selang infusmu? Darahnya bahkan sudah naik sepuluh sentimeter” tukasnya, membuat mataku spontan langsung melihat infusku. “Ahh..” pekikku, kaget. Ya, Aku tak punya pilihan, selain menerima uluran tangan Risyad karena ini darurat.

Darurat.

Risyad membantuku berdiri, dan memegang lenganku untuk berjalan. Keadaan terlalu sunyi, dan membuatku panas dingin. Ini aneh, seperti ada sesuatu yang kurang. Ada sesuatu yang kulupakan. Ya! Baru kuingat Risyad tak membawa Zidan, “Mana Zidan? Bukankah Kamu bersamanya?” tanyaku, menatapnya dari samping. Risyad belum menjawab, karena ternyata Kami sudah sampai ditempat tidurku. Dia membantuku duduk dulu, kemudian menatap mata ingin tahuku. “Kami berpaspasan dengan Adikmu, jadi Zidan dibawa olehnya, katanya Mereka akan pergi kekantin sebentar, lalu kembali” jawab Risyad, yang kemudian memencet bel pasen untuk memanggil Perawat.

“Padahal, Aku ingin sekali bertemu Zidan..” jawabku, kecewa.

“Sebentar lagi Dia juga akan kembali” jawabnya tenang, sembari meletakkan botol infusku pada tiangnya kembali. Setelah itu, Dia menatapku dengan seksama, “Katakan.. apa yang sebetulnya terjadi hingga Kau jatuh ke lantai?” Risyad ternyata cukup peka, dengan apa yang terjadi. “Sudah kubilang Aku hanya terjatuh” Jawabku, berbohong. Aku tidak ingin Dia bertanya jauh. Bila Dia tahu Aku mendengar percakapannya dengan Yoana, Aku pasti akan menjadi bulan-bulanannya.

 “Kau-“

Tok, tok.

Seorang Perawat baru saja masuk, “Ada yang bisa Saya bantu Nyonya?” tanya Perawat Wanita itu sembari berjalan kearahku, Dia juga menatap Risyad yang masih berdiri disampingku. “Infusku bermasalah..” jawabku seraya memperlihatkan darah yang sudah naik. “Permisi Tuan, Saya mau lihat infus Nyonya dulu..” Ujar Perawat itu. Nyonya? sepertinya Perawat itu telah salah paham. Dia menyangka Risyad suamiku.

Aku tak bisa mengklarifikasinya disini. Tak bisa. Dan kusadari Perawat telah memegang selang infusku. “Saya akan menyiapkan alat untuk membenarkan infusnya, aksesnya macet” tukas sang Perawat, yang kemudian pergi meninggalkan kami, mungkin untuk mengambil peralatannya. “Ah” Dia kemudian berbalik kembali. “Tuan, mungkin Dokter yang menangani Nyonya akan berkunjung sore ini, jadi bila sempat Anda harus tinggal sampai beliau datang untuk menjelaskan kondisi Istri anda” jelas sang Perawat. Keningku makin berkernyit.

“Tunggu? Kami bukan pasangan, Anda salah paham” jelasku, karena salah paham ini tak bisa dibiarkan.

“Oh” Perawat itu terkejut. “Tapi…emmh” Dia seperti hendak menjelaskan sesuatu namun segera terdiam lagi.

“Tak apa. Saya memang bukan suaminya, tapi Saya tetap akan menunggu penjelasan Dokter” jelas Risyad, hanya Dia yang terlihat santai dalam situasi ini.

Lihat selengkapnya