Jeogi meolliseo badaga deullyeo
Kkumeul geonneoseo supul neomeoro
Seonmyeong haejineun geugoseuroga
Take my hands now
You are the cause of my euphoria
Aku asyik bersenandung mengikuti irama musik yang ada, ku sandarkan punggungku di kursi, ku tarik napasku, lalu ku hembuskan napas itu dengan berat.
Semester satu telah berlalu, dan di semester ini kami lebih di sibukkan ternyata, jadi jarang bertemu dengan teman-teman, sekalipun itu tetanggaku.
Aku hanya lebih sering bertemu Jihyo, tidak heran karena kami satu tempat tinggal, dan dia juga lebih baik di rumah daripada menghabiskan waktu di luar, dan ini semua terjadi setelah Jihyo di kabarkan menjadi korban ghosting.
Hansungan sarajin neo, sa sarajin
Huimihan yuryeongcheoreom sa sarajin
Heogonge mutgon hae
Nan neohante mwogillae (mwogillae)
Sudah seminggu semenjak kepergian Seung Cheol dari hidup Jihyo, gadis itu memang tidak terlihat sedih, tapi tetap saja aku bisa melihat dari matanya yang cantik itu.
"Ya?" sahutku sambil membuka pintu.
"Seojin?"
Lelaki itu terlihat lebih rapih dari biasanya.
"Ada apa?" tanyaku.
"Aku pamit" katanya yang sungguh singkat.
"Pamit?"
Senyum istimewanya semakin tampak dengan jelas.
"Aku ada urusan di Amerika. Jadi, aku harus pergi" jelasnya yang masih tak bisa ku mengerti.
"Maksudmu apa? Aku tidak mengerti" kataku.
"Kenapa nada bicaramu tiba-tiba berubah seperti itu? Apa kau tak mau aku pergi?" katanya yang berhasil membuatku tersipu.
"T... tidak kok, pergi saja sana, lagipula kau ini orang asing, jadi untuk apa kau berpamitan padaku" kataku cepat, dan langsung menutup pintu.
Di balik pintu aku mengelus dadaku pelan, jangan sampai terlihat.
"Baiklah, aku pamit pergi, ketika aku sudah sampai disana, aku akan menghubungimu. Sampai jumpa Yoonji" pamitnya.
Setelah itu tak ada lagi suara yang ku dengar. Aku mengintip dari balik jendela.
Seojin pergi.
...
Napasku tersengal, aku berlari sejauh beebrapa meter untuk sampai di bandara, setelah naik taksi yang tiba-tiba mati di tengah jalan.
"Hhhh... taksi itu menyebalkan sekali" umpatku kesal di tengah lalu lalang para warga lokal, dan turis asing.
Mataku mencoba bergerak cepat mencari sosok Seojin. Kakiku membawaku kesini. Untuk apa? Biar saja dia pergi, sejauh mungkin, karena sulit untukku melupakan lelaki itu, jika dia ada dalam keberadaanku.Hati memang tidak bisa berbohong, hati selalu jujur terhadap apapun, termasuk perasaan.
Percuma saja aku datang kesini jika dia sudah pergi menyebrangi laut Mediterania.
"Sebaiknya aku kembali" kataku yang langsung berbalik.
"Sedang apa kau disini?" tanya Jaeyun mengagetkanku.
"Kau sedang apa?" aku membalikkan pertanyaan itu.
"Mengantar Seojin, kau sendiri?"
Aku terpaku, apa yang harus ku katakan? Apakah sebaiknya aku berkata jujur, kalau sebenarnya aku mengejar Seojin? Tapi, tidak-tidak aku harus cari alasan.
"Yoonji?"
"Y... ya?"
"Kau ini, ayo pulang" ajaknya yang membuatku lega, dan bisa bernapas dengan baik lagi.
"Ya, ayo" kataku.
Jaeyun menuntun ku ke arah mobilnya.
"Masih siang, kau ingin pergi ke suatu tempat?" tanya Jaeyun di tengah perjalanan.
"Tidak ada" kataku
"Mau langsung pulang?"
"Ya"
"Baiklah sayang, kita akan kembali" katanya sambil tersenyum manis.
Oh Tuhan, kenapa Kau harus mengirimkan seorang kakak yang begitu tampan padaku?
"Apa yang kau lihat?" tanya Jaeyun yang menyadari tatapanku mengarah padanya.
"Wajahmu" kataku cepat tanpa berpikir.
"Hah?"
"Ah, tidak-tidak, maksudku jalan, ya, jalan, hehe" aku kembali beralasan sambil menggaruk belakang kepalaku yang sama sekali tidak gatal.
"Kau pandai berbohong" katanya.
"He? Siapa bilang? Aku hanya beralasan" kataku yang bodohnya mengaku.
Jaeyun tertawa penuh kemenangan. Setelah itu, tak lagi berbicara, mulutku juga terdiam sekarang karena menahan malu.
...
"Nih" Jaeyun menyerahkan ku se-cone es krim rasa vanila.
Jaeyun membawaku ke tempat yang menampilkan laut lepas di depan sana.
"Terima kasih" kataku sambil menghias wajah dengan senyum.
Jaeyun duduk di sampingku.
"Kau tidak membeli es krim?" tanya ku yang memang tidak melihat es krim di tangannya.
"Aku tidak tertarik dengan es krim, aku hanya minum soda" katanya sambil menunjukkan sebuah kaleng soda padaku.
"Cukup satu" kataku yang langsung mengembalikkan pandangan ke laut.
"Itu permintaanmu? Baiklah, aku akan menyimpan yang lainnya" katanya yang ternyata membawa lebih dari satu kaleng soda.
Aku menoleh, dan langsung membelalak kaget.
"Kau benar-benar gila?"
"Aku berniat membaginya denganmu" katanya.
"Membaginya denganku? Tidak-tidak, terima kasih, aku masih memiliki susu vanila di rumah" kataku menolak mentah-mentah jawaban nya itu.
Jaeyun mencubit pipiku gemas.
"Dasar anak kecil"
Aku memanyunkan bibir, dan semakin mengundang tawa Jaeyun.
...
"Aku pulang" kataku sambil membuka pintu.
Di dalam aku di buat terkejut oleh botol-botol yang berserakan di atas meja.
"Jihyo?" aku memanggilnya.
Gadis itu tertidur dengan lelap dengan pipinya yang memerah.
"Jihyo! Jihyo! Y!" aku mengomel sambil menampar-nampar pipinya pelan agar mau bangun.
"Yoonji-aa..." panggilan melarat seorang pemabuk Jihyo terdengar.
"Apa eoh?"
"Seung Cheol" nama lelaki itu yang pernah singgah di hidupnya terdengar olehku.
"Untuk apa kau memanggil namanya? Kau merindukan nya?" aku memastikan dengan nada kesal.
Jihyo terduduk, dan menarikku untuk duduk di sampingnya.
"Seung Cheol" terus saja dia memanggil nama itu.
Tiba-tiba Jihyo memelukku.
"Ya! Jangan memelukku, kau bau alkohol tau!" ku singkirkan tangan itu, dan kembali membuatnya tertidur di sofa.
Aku berdiri.
"Oppa! Bawa dia ke kamar, aku akan membersihkan tempat ini dulu" perintahku yang mulai mengumpulkan lima botol yang ada.
Padahal Jihyo belum sepenuhnya bisa bebas minum begitu saja, tapi kenapa dia berani sekali minum lima botol ini? Aku bergidik.
Jaeyun datang, dan langsung membawa Jihyo ke kamar. Setelah itu Jaeyun kembali ke kamarku, dan menutup pintunya.