Cham isanghae bunmyeong na neoreul neomu saranghaetneunde (saranghaetneunde)
Mwodeun neoege matchugo neol wihae salgo shipeotneunde
Geureolsurok nae mamsoge pokpungeul gamdanghal su eopge dwae
Utgo issneun gamgyeonsogui jinjja nae moseubeul da deureonae
...
Lelaki itu berdiri membelakangiku. Sedari tadi atau bisa di sebut lima belas menit lebih, kedua mulut terbungkam. Tak ada satupun yang berniat membuka topik. Aku sendiri tidak tau, apa yang harus ku ucapkan, atau sekedar bertanya, kenapa aku di bawa pergi dari Hana.
"Apa hubunganmu dengan Leo?" tanya Seojin setelah diam beberapa menit.
Seojin membalikkan tubuhnya, kali ini aku berhadapan dengan Seojin.
"Teman" jawabku singkat.
"Teman? Kau bilang teman?"
"Ya"
Seojin tertawa hambar mendengar ucapan singkatku.
"Kenapa? Kau cemburu?" tanya ku.
Seojin menatap mataku lekat-lekat. Aku bisa melihat sebuah kesedihan di dalam matanya kala aku balik menatapnya.
Kedua tangannya terangkat, dan tiba-tiba mendarat di kedua pundakku.
"Yoonji"
"Jika ingin bicara, bicara saja, aku telah kehabisan banyak waktu karena menunggumu" kataku sambil menyingkirkan tangan itu dari ku.
Seojin masih terdiam menatapku.
"Kau juga mencintaiku bukan? Dari sejak lama, tapi aku tidak pernah sadar dengan perasanmu" lelaki itu mulai berbicara lagi.
"Lalu?" kataku.
"Kau mau mendengarkanku Yoonji?" Seojin memastikan sebelum melanjutkan penjelasannya yang tadi sengaj ku potong.
"Lima belas menit" kataku tanpa senyum manis seperti biasanya.
Tanpa berkomentar apapun lagi, Seojin menjelaskan semuanya padaku, kenapa dia tiba-tiba pergi ke Amerika, siapa Luna yang waktu itu mengangkat telponku. Semuanya di jelaskan padaku, sampai aku lupa dengan lima belas menit itu.
...
"Aku menyesal karena terus menganggapmu sebagai adikku, maka dari itu aku pergi ke Amerika" sebagian kalimat panjang nya kembali melintas.
Ku hempaskan tubuh ku ke kasur, menarik nafas panjang, lalu menghembuskan nya dengan kasar.
"Luna, dia temanku di Amerika, dan hanya dia yang bisa mengerti dengan ku"
"Dia yang menolongku di Amerika, aku yang tidak punya apa-apa, aku yang kesepian, dan aku yang bodoh, pergi jauh darimu hanya karena menyesal"
"Aku selalu menunggu telpon darimu, atau setidaknya kau memberiku pesan singkat. Tapi, ternyata aku tak pernah mendapatkannya"
"Ayah, Minhyun, Jaeyun hyeong, bahkan Leo pernah menelponku, dan menyuruhku pulang karena perubahan buruk pada diriku. Tapi, aku tidak mendengarkan mereka, aku hanya ingin Kim Yoonji yang menyuruhku pulang"
Air mata itu siap turun, dan tanpa ku perintah pun mereka turun dengan sendirinya. Lagi-lagi mataku berlinang dengan air mata. Tak bisakah aku bahagia sekali saja? Aku juga ingin bahagia seperti yang lainnya, tapi, kenapa lelaki itu selalu datang, dan membuatku berurai air mata.
...
Sudah dua minggu kedatangan Seojin kembali. Aku lebih sering menangis daripada mengurusi pola makan, aku yakin pasti Hana akan bicara panjang lebar saat melihat penampilanku yang berantakan. Soal trainee aku lebih sering di marahi oleh pelatih, Younha, Hyun Woo, Ayden, MU, Jeff, Wish, Keum, A-Min, dan Yewang menasihatiku bergantian, bahkan Ayden memintaku untuk menceritakan masalah ku saat ini, tentu saja aku menolak, karena siapa Ayden? Dia hanya teman baruku, dan kenapa dia juga harus peduli padaku.
"Apalagi yang kau pikirkan?" tanya Hyun Woo yang mendapatiku sedang melamun di ruang latihan, lelaki itu memberiku sebotol minum.
"Sejauh ini, apa kau tidak akan memberi tau masalahmu?" tanya Hyun Woo lagi.
Aku hanya diam, dan menatap diriku yang berantakan di kaca ruang latihan.
"Kau juga menolak bercerita pada Ayden?" lanjutnya.
"..." aku hanya menoleh tanpa bersuara.
"Oh, ayolah Yoonji, aku ini sahabat kecilmu juga kan?" Hyun Woo masih berusaha membuatku bersuara, lelaki itu menselonjorkan kakinya.
"Baiklah, aku tak akan memaksa mu untuk menceritakan masalah mu. Tapi, apa kau tau? Aku siap mendengarkan mu kapan saja" katanya.
Tak lama Ayden, dan Wish datang.
"Dia masih tak mau membuka mulut?" tanya Wish memastikan pada Hyun Woo.
"Begitulah"
Aku menyambar tas yang selalu ku bawa, dan merogoh ponsel yang baru saja berdering.
'Seojin'
Nama itu tertera di layar ponsel, Seojin menelponku, untuk apa.
Ku matikan, dan ku tolak telpon darinya.
"Siapa?" tanya Ayden.
"Tidak penting" kataku yang baru angkat bicara.
"Apa itu Seojin?" tebak Hyun Woo.
Aku menoleh padanya, dan Hyun Woo bisa mendapat jawabannya hanya dengan isyarat mata yang menatap nya tanpa ekspresi. Aku kembali menyimpan ponsel itu, tapi sebelumnya ku atur ponsel itu agar tidak mengganggu.
"Lima menit lagi" kata Wish yang baru saja melirikkan matanya ke arah jam tangannya.
"Ayo kita berlatih lagi" ucap Ayden bersemangat.
"Ayo" Wish mulai mengikuti nya berdiri.
Ntah keberapa kalinya lagu itu di putar hari ini.
Lockdown.
Aku memperhatikan setiap gerakan mereka, tapi kenapa pikiran ku terbang pada seorang Seojin? Kenapa harus Kim Seojin? Tidak adakah lelakilain yang datang ke dalam pikiranku? Leo mungkin, atau Hyun Woo? Seung Cheol mantan Jihyo? Cha Eun Woo? Choi Yeonjun? Na Jaemin? Lee Jeno? Zhong Chenle? Mark? Songkang? Kim Seokjin? Kim Soo Hyun? Byun Baekhyun? Haruto? Asahi? Yoshi? Atau sipapun selain Kim Seojin yang telah membuatku sakit berkali-kali.
Aku benci hidupku yang sekarang.
"Yoonji?" panggilan itu membuyarkan ketidak fokusanku.
Aku menengadah, dan ku dapati Kim Yerim dengan senyum cantiknya seperti biasa.
"Ya?" sahutku sambil berangsur berdiri.
"Kita bisa bicara?"
"Tentu saja" aku mencoba menyunggingkan senyum ku yang tertutup kesedihan yang terus menghantui ku sampai sekarang.
Yerim pun menyuruhku mengikutinya, aku hanya menurut, dan Hyun Woo yang sadar dengan kepergianku menoleh, dan menghentikan gerakannya.
"Aku tau apa masalah mu saat ini" batin Hyun Woo.
...
Untuk satu bulan ke depan aku tidak di perkenankan datang ke C9 entertainment karena alasan aku yang saat ini sedang banyak masalah. Cinta. Ya, siapa kalau bukan Seojin penyebabnya.
Minji datang ke apartemen ku, gadis itu terus mendesakku untuk membagi semuanya.
"Kau tidak ingin membaginya dengan ku? Kenapa? Kita ini sahabat, aku bisa membantumu jika kau mau, aku akan berusaha membantu menangani semua ini" ucapnya saat susu stroberi kesukaannya mendarat di hadapan Minji.
"Aku tidak bisa" kataku.
"Ku minum" katanya yang langsung menyeruput susu stroberi itu.
Hana yang sudah lelah membujukku hanya terdiam menonton tv.
Dering telpon Minji terdengar.
"Sebentar, aku angkat telpon dari kekasihku" katanya berbangga.
Aku hanya melirikkan mata, lalu mengalihkan kembali, kali ini aku menopang dagu dengan kedua tanganku, sesekali melihat Minji yang asyik berbincang dengan kekasihnya abadinya itu. Tak lama dari itu, bel terdengar.
"Biar aku yang buka" kata Hana yang langsung beranjak dari tempat duduknya.
"Seojin?" kata Hana saat mendapati sosok itu.
"Ya, ini aku. Apa Yoonji ada di dalam?" tanyanya.
"Dia..."
"Hana! Siapa yang datang?" teriak Minji yang masih menelpon Junghoon.
"Aku ingin bertemudengan nya" katanya.
"Tapi..."
Aku datang, dan melihat nya tanpa ekspresi. Tapi, kesedihan ku masih menghantui ku.
"Yoonji, bisa kita bicara?" tanyanya.
"Hana, masuklah" pintaku.
Tanpa di perintah dua kali, gadis itu langsung meninggalkanku.
"Ada apa lagi? Kau masih ingin menjelaskan? Tidak cukupkah kau membuatku berantakan seperti ini? Bahkan pekerjaan yang baru ku dapatkan pun di ambang kehancuran. Kau menginginkan lebih? Kalau begitu bunuh saja aku" ucapku panjang lebar dengan hati yang terus bergejolak merasakan sakit dari luka yang membekas.
Lelaki itu tak berkata, dia hanya menatapku sendu. Aku bisa menemukan rasa sedih dari matanya. Tapi aku pura-pura tidak peduli dengan semua itu.
"Yoonji! Aku..." suara itu terhenti saat mengetahui keberadaan Seojin.
Dengan isyarat mata, akuk menyuruh Leo masuk lebih dulu.
"Sebaiknya kau pulang, aku tidak ada waktu lagi untuk berbicara dengan mu" kataku yang langsung menutup pintu.
Sekali lagi aku merasakan hatiku tergores. Kenapa semua nya jadi seprti ini? Seojin tak sepenuhnya bersalah. Ini juga salahku karena tidak mengungkapkannya lebih awal. Jika saja waktu bisa ku putar kembali, aku tidak akan membiarkan semua ini terjadi.