“Aira” panggilan itu membangunkan Aira dari mimpi indahnya di pagi hari.
“WAAA!! Real kau membuatku kaget! Menjauh!” teriak Aira begitu membuka mata dan mendapati sosok tembus pandang tersebut berada di dekatnya.
Real yang berada di sebelah Aira pun sedikit menjauh. Aira bangun dengan kepala yang pusing, namun segera masuk ke kamar mandi bersiap berangkat ke sekolah. Pagi hari ini sama seperti sebelumnya, Aira sarapan sendirian. Real menatap Aira yang sedang makan tapi gadis itu tidak mempedulikan tatapannya, dengan cepat Aira menghabiskan sarapan dan pergi ke sekolah.
Hari kedua di sekolah tidak banyak yang berubah, teman-teman Aira hanya bergabung dengan teman satu SMP mereka dulu, sedangkan Aira tidak memiliki teman satu SMP di SMA-nya saat ini. Aira pulang dengan lesu, Real sudah menunggu Aira dengan wajah tanpa ekspresi. Aira hanya melirik Real lalu mengambil laptopnya.
Hari kedua sekolah, aku tetap diam. Maksudku, aku memang selalu diam kan? Aku terlalu malu dan juga bingung, aku juga takut keadaanku sama seperti aku SMP. Aku takut mereka membenciku seperti teman-teman SMP-ku, rasanya aku tak bisa berhadapan dengan laki-laki, sedikit menakutkan. Tapi ada satu laki-laki yang sedang di dekatku dan menatapku saat ini. Namanya REAL.
“Aira sedang apa?” tanya Real sambil melirik tulisan Aira yang diketik di laptop, namun tentu saja seperti biasa, sang pemilik laptop tak akan membiarkannya untuk melihat tulisan itu dengan sukarela meskipun sedikit.
Si gadis hanya meliriknya sebentar, menutup laptop dan berjalan keluar kamar untuk makan malam. Setelah makan, Aira kembali ke kamar dengan diikuti Real, ia membuka buku untuk mengerjakan tugas. Real memandangi Aira yang sedang menulis.
“Aira sedang apa?” pertanyaan yang sama dari Real hingga membuat Aira menoleh, ia mengangkat pulpennya menunjukannya pada Real. Real hanya kebingungan.
“Kamu tidak tahu apa ini?" tanya Aira yang dijawab dengan gelengan oleh Real. Aira menunjukan buku dan alat tulis lainnya, Real hanya menatap kebingungan. Aira menyimpulkan jika Real tidak tahu apapun, dengan perlahan ia menjelaskan kegunaan benda yang ada di kamarnya.
Keesokan harinya, Aira bangun dan melihat Real yang sedang membulak balik lembaran buku.
“Selamat pagi, Aira.” Sapa Real dengan ceria.
“Kupikir kamu tidak bisa menyentuh benda.” Ujar Aira sambil mendekati Real, Real hanya tersenyum. Aira sempat membeku melihat Real tersenyum untuk pertama kalinya, tak ada tatapan dingin. Hanya ada Real yang polos dihadapan Aira.
“Sudah jam berapa ini? Aku harus segera mandi.” Yang dijawab Real dengan menunjukkan ke enam jari tangannya.
Di sekolah Aira belum juga bisa mendapatkan seorang teman. Aira pulang dengan wajah yang muram, Real sudah menyambut Aira dengan senyuman. Aira hanya melirik Real sekilas dan segera merebahkan diri di ranjangnya
“Aira tidak makan dulu?” kalimat Real membuat Aira menoleh, ia hanya menggeleng.
“Tapi Aira harus makan, nanti Aira sakit.” Real mengingatkan yang akhirnya diikuti Aira dan pergi ke meja makan.
“Terkadang aku ingin ada orang yang membuatkanku makanan ketika aku merasa tidak baik.” kata Aira pada dirinya sendiri sambil memasak nasi goreng. Real menemani Aira di dapur.
“Mau kubantu?” tawar Real, Aira menggeleng lagi.
Sesudah makan, Aira kembali ke kamar lalu membuka laptopnya.
Aku masih tidak punya teman, aku masih tidak punya keberanian. Rasanya sedikit menyedihkan. Tapi aku punya satu orang yang bisa diajak bicara, laki-laki yang menatapku saat ini.
Real mendekati Aira untuk kembali mencoba melihat apa yang sebenarnya dituliskan oleh remaja perempuan tersebut. Dan bagaikan terpicu oleh radar, Aira segera menutup laptopnya lalu menyuruh Real menjauh. Real mencebikkan bibir namun tetap menurut dan beranjak ke dekat jendela, Real menatap langit yang gelap.
Real, umurnya sekitar tujuhbelas tahun. Selalu memakai sweater putih lengan panjang dan celana jeans hitam, kulitnya putih dan dia cukup tinggi. Tapi, ada yang membuatku bingung.
“Real, sebenarnya kamu itu apa?” tanya Aira tiba-tiba.
Real yang ditanya hanya menatap Aira kosong. Aira pun terdiam karena sedikit takut melihat Real yang memberikan respon tak terduga, ia kembali membuka laptop untuk menghindari tatapan Real.
Dia tak menjawab pertanyaanku, wajahnya membuatku sedikit takut. Mungkin kedepannya aku akan mengetik khusus tentang Real. Semua tentangnya.
Aira mematikan laptopnya lalu tertidur.
…
Sebulan berlalu Aira belum juga dapat berbaur tapi Aira sedikit senang karena di rumah dirinya tidak lagi sendirian, kehadiran Real mampu menghibur Aira.
“Apa kamu mau ikut pergi ke sekolah besok?” tawar Aira yang sedang berada di ruang keluarga bersama Real. Tak ada sahutan, Real tetap fokus pada televisi yang menyala. Aira terdiam menunggu jawaban, tetapi sepertinya lelaki ini tidak mendengar pertanyaannya tadi.
“Aku ingin memiliki teman bicara seperti ini juga di sekolah tapi aku tidak berani mengajak bicara duluan.” jelas Aira untuk melihat tanggapan Real. Aira memperhatikan Real yang sedang fokus menonton televisi padahal yang ditontonnya hanya iklan. Aira terus memperhatikan Real.
‘Andai saja Real bisa menemaniku tidak hanya di rumah tapi di tempat lain juga. Aku pasti tidak akan kesepian’ batin Aira. Real menoleh kepada Aira lalu tersenyum.